"Integrity is telling myself the truth. And honesty is telling the truth to other people.” – Spencer Johnson
Melihat makin surutnya integritas dan kejujuran dalam tatanan kehidupan bangsa ini, membuat hati menjadi miris. Terlalu banyak contoh kemerosotan untuk dua hal tersebut yang dipertontonkan akhir-akhir ini. Salah satu contoh besar adalah system Ujian Nasional yang baru saja berakhir, sebuah system yang menyisakan kebobrokan luar biasa untuk kelanjutan moralitas bangsa ini. Bagaimana tidak? Anak-anak polos yang seharusnya dibimbing untuk memelihara jendela hatinya yang bersih, dirusak dengan prinsip-prinsip persaingan kotor oleh orang-orang yang semestinya menjadi panutan untuk menerapkan integritas dan kejujuran, demi sebuah kebanggaan semu yang dinamai “kelulusan 100%.”
Sebagai sosok yang dididik untuk menjunjung integritas serta kejujuran, dengan mudah saya menjadi kagum oleh mereka-mereka yang memiliki prinsip yang sama. Salah satu sosok yang saya ‘temukan’ terakhir adalah Rm. Th. S. Sarjumunarsa, SJ melalui bukunya yang berjudul “Merenangi & Merenungi Hidup, Arus Dasar dan Arus Deras Perjalanan Hidupku”, sebuah buku kenang-kenangan untuk Pesta Ulang Tahun-nya yang ke-65.
Dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1944, dalam kondisi terbungkus ari-ari dan sungsang, perjalanan kerohanian Rm. Sarju terbentuk dari hasil tempaan berbagai peristiwa, termasuk di dalamnya perpindahan agama dalam rangka pencarian agama baru yang lebih ramah dari pada apa yang dianut sebelumnya.
Dalam kesederhanaan dan apa adanya beliau menceritakan dengan jujur sisi ‘kemanusiaan’ kalau mau disebut demikian yang beliau miliki sebagai seorang manusia ‘biasa’. Acapkali seorang imam dianggap ‘bukan manusia biasa’ karena darinya dituntut suatu ukuran ‘kesempurnaan’ sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh umatnya.
***
Selain kecerdasan yang diwariskan oleh Bapak dan Ibu, warisan orang miskin yang diturunkan kepadaku dari orang tua adalah sikap jujur. Sejak kecil aku punya kecenderungan untuk berbohong. (hal. 61)
Romo Sarju menceritakan dalam bagian “Disiram Teh Panas” dalam bukunya itu, bagaimana ia melakukan kebohongan pada masa kecilnya. Ia berbohong ketika ditanyai oleh kakaknya mengenai celana pendek yang hilang. Ia mencuri celana pendek tersebut tetapi tidak mengakuinya. Dalam bagian itu juga ia menceritakan ia berbohong ketika sudah diwanti-wanti oleh ayahnya untuk tidak menerima uang dari sepasang suami istri ke mana ia diminta untuk mengirimkan sekeranjang mangga. Hukuman disiram teh panas akibat berbohong menerima uang tetapi tidak mengakuinya itu menjadi semacam rem untuk dirinya ketika ia cenderung untuk melakukan kebohongan lagi.
“Jangan lagi berbohong! Jujurlah!” Pesan etika itulah warisan dari Bapak yang aku terima dan aku pelihara sampai sekarang, kendati dalam prakteknya amat sulit aku laksanakan dengan teguh.
Pengalaman berbohong di masa kecil dulu ini rupanya tidak hilang begitu saja, setelah aku menjadi Katolik, bahkan menjadi Yesuit, dan kini menjadi imam dan dosen. Secara tidak sadar aku terbentuk dalam sikap tidak percaya kepada orang lain, seakan-akan ada suatu kecurigaan yang menempel dalam kalbu, bahwa orang lain yang menjadi teman sekerja dan sepelayanan tidak bisa dipercaya begitu saja. Dalam kenyataannya memang aku akui bahwa kecenderungan berbohong itu menjalar tidak hanya pada orang yang berada dalam keadaan terpojok dan termarjinalisasi. Tendensi dan potensi berbohong ternyata terjadi juga pada orang-orang yang kuhormati. (hal. 63 – 64)
***
Sepenggal kisah dalam buku tersebut yang diberi sub judul Nyanyian “Ndherek Dewi Marijah” yang Romantis, menunjukkan sisi kejujuran lain dari Romo Sarju. Saya berpendapat kalau hal ini tidak berpengaruh banyak dalam hidupnya, tentu tidak akan dimasukkannya ke dalam kisah hidup beliau. Cerita yang saya maksudkan adalah kisah ketertarikannya pada seorang anak putri ketika mengikuti pelajaran agama Katolik (katekumenat).
Waktu mengikuti pelajaran agama itu, aku hanya berdua saja dengan seorang anak putri. Aku sebut saja Kristiana (bukan nama sebenarnya). Setelah dibaptis aku tetap memanggil dia Kristiana. Karena selalu berduaan saat pelajaran agama, kami jadi saling menaruh simpati dan lama-kelamaan merasa saling jatuh cinta juga. (hal. 75)
Meski aku sendiri tak menikah karena memilih jalan imamat sebagai selabiter, namun rasa kehilangan seorang sahabat yang dekat, erat dan memikat tetap saja bisa kurasakan dan mudah kuingat kembali dengan segar. Rasa kehilangan semacam ini merupakan kepedihan emosional yang tak dapat digantikan dengan barang berharga lain apapun yang bisa melampui nilai perasahabatan itu sendiri. (hal. 77)
***
Dari ke dua kutipan tersebut saya belajar, bahwa kejujuran dan kesederhanaan untuk menuliskan apa yang menjadi kelemahan beliau dan apa yang beliau rasakan (peristiwa romantisme yang saya yakin dianggap aneh jika terjadi pada orang yang memilih hidup selibat) tidaklah menjadikan ke-imam-an beliau turun nilainya. Saya justru mengagumi beliau, karena kejujuran tersebut.
Banyak cerita menarik lain dalam buku setebal 152 halaman tersebut sebetulnya, tetapi saya memilih dua kutipan di atas karena saya sedang prihatin dengan degradasi level integritas dan kejujuran dalam masyarakat saat ini.
fz-280611
We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.
FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012
Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.
Selamat akhir pekan.
Terima kasih
Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.
Happy weekend.
Thank you
Search This Blog
Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment