VOYEURISME adalah keingintahuan yang telah melorot menjadi obsesi ngintip dan nggosip, pada lingkup personal maupun sosial. Biasanya ini adalah asal-muasal sekaligus hasil kultus selebriti yang dirayakan massal. Voyeurisme itu konsumerisme visual. Selebriti adalah obyeknya. Media massa adalah pelatuknya.
Jajak pendapat Kompas (25/8/03) yang menyatakan 77 persen pemirsa menganggap televisi menekankan komersialisme, konsumerisme, kekerasan, dan eksploitasi erotisme, sekadar menegaskan keluasan voyeurisme yang dilecut media televisi kita. Seperti biasa, muncul kontroversi tentang statistik. Padahal, masalahnya bukan kausalitas statistik, tetapi psikoanalitik. Statistik tentu jendela kecil untuk mengenali gejala.
Keluasan gejala
Suatu hari, 14 Mei 2003, saya menyimak acara kuis di salah satu saluran televisi. Begini isinya. Pembawa acara bertanya kepada beberapa kelompok perempuan, "Rano Karno adalah mak comblang pasangan Lydia Kandau dan Jamal Mirdad, gosip atau fakta?" Lalu pembawa acara mendatangkan seorang bintang sinetron. Para pengikut kuis ditanya: "dia menikah di bawah usia 21 tahun, gosip atau fakta?" Kemudian, "sebelum terjun ke sinetron, artis ini adalah seorang model, gosip atau fakta?" Dan seterusnya.
Silakan kenali saluran televisi kita, akan ditemui kian banyak acara seperti itu. Gabunglah dengan riuh-rendah acara gosip lain, klenik, celebrity shows, dangdut pada prime time, kita akan dapati apa yang disebut Neil Postman Amusing Ourselves to Death (1985). Namun, lebih jauh, amusement itu telah melorot menjadi voyeurism, bukan lagi hiburan tetapi pengintipan. Mungkin kita menyusun statistik tentang gejala itu, tetapi masih perlu menjawab pertanyaan "mengapa". Soalnya bukan statistik, tetapi psikoanalitik.
Apa yang terjadi pada media televisi kita rupanya sejalan dengan ledakan gejala semacam pada media cetak. Sosoknya tampil dalam berbagai majalah, tabloid, dan koran hiburan. Wajahnya genit, isinya gosip. Seperti apa yang memberondong layar televisi, sekurangnya ada tiga unsur yang menandai voyeurisme massal ini.
Pertama, ia berisi kultus selebriti. Sosoknya disulap genit, kisahnya dibuat bagai dongeng. Isinya wajah-wajah yang sering muncul di sinetron atau panggung nyanyi. Kita merasa ekstase menonton atau dekat dengan mereka, juga bila hanya di lembar majalah atau layar kaca. Kita meniru cara dandan, cat rambut, gaya bicara, memburu gambar dan omongan mereka dari hari ke hari.
Kedua, klise massal itu berisi kultus gaya-hidup. Sosoknya dipasang sebagai ukuran prestise dan status. Kita bagai kawanan yang karena tidak sempat diam, dengan mudah digiring untuk memburunya. Itulah klise massal yang dipicu media pesolek, propaganda keyakinan bahwa hidup merupakan salinan iklan. Biasanya kultus gaya hidup ini terbentuk berkombinasi dengan kultus selebriti.
Ketiga, klise massal itu menyangkut pengeboran basic instinct hasrat dan sensualitas. Jutaan gambar, gosip, dan simulacra yang terpajang terlihat atau terdengar sebagai informasi. Namun, lebih mungkin sebagai informasi bagi voyeurisme. Atau, voyeurisme itu sendiri. Ia sebentuk narcisisme dengan gerak-gerik selebriti sebagai cermin mengaca.
Ada perbedaan antara hiburan dan voyeurisme, juga bila tidak mudah menetapkan pembatasnya. Melewati batas itu, media akan terpelanting, bukan lagi media hiburan, tetapi voyeurisme. Lewat proses ini biasanya media perlahan mundur dari misinya memberi informasi, mendidik, dan menghibur karena kemudian bergeser menjadi medium voyeurisme. Apa yang disebut Jay Rosen (1999) sebagai civic journalism perlahan pudar. Yang berkibar voyeuristic journalism.
Yang terbentuk dari gabungan ketiga klise massal itu adalah apa yang disebut Václav Havel the aesthetics of banality (estetika kedangkalan). Lagi, bisa saja kita kumpulkan statistik tentang gejala itu, tetapi kita masih perlu menembus pertanyaan "mengapa". Dan soalnya bukan statistik, melainkan psikoanalitik.
Kapan gejala itu akan mencapai titik jenuh? Bahkan, dari perhitungan optimistis, proses itu tidak akan mengalami titik jenuh. Mengapa? Di sinilah kita sampai pada soal yang jarang tersentuh dalam jajak pendapat, yaitu psikoanalisa dan ekonomi-politik.
Ekonomi-politik libido
Seperti sering ditunjuk, sistem rating menjadi kunci memahami duduk perkaranya. Tetapi, statistik rating akhirnya sekadar jendela bagi kita untuk menebak isi gejala. Karena itu, yang dibutuhkan adalah melewati angka dan menembus isi gejala.
Mulailah dari pertanyaan berikut, "mengapa program voyeuristik itu amat laku?" Alkisah, jawaban mainstream akan bilang, "Karena itulah permintaan (demand) khalayak!" Lalu tanyakan lebih lanjut, "Dari mana muasal permintaan itu?" Para penjual program mungkin akan bilang, "Dari selera pemirsa!" Mereka yang sedikit skeptik akan mengajukan pertanyaan mengejar, "Apakah selera pemirsa terbentuk dengan sendirinya?" Pada titik inilah persimpangan jawaban semakin tajam.
Bila pertanyaan terakhir itu dijawab "ya", kita akan tertawa tergelak karena kita tahu berondongan program voyeuristik yang makin intensif itu telah menjadi pasokan yang membentuk permintaan. Maka permintaan bukan terutama dibentuk oleh otonomi selera pemirsa, tetapi oleh pasokan program yang disajikan media. Dan proses inilah yang lalu membentuk gerak spiral selera pemirsa pada voyeurisme. Apa yang ditunjuk sistem rating hanya ujung sementara pada puncak spiral itu, sekian persen pemirsa suka program voyeuristik. Tentu, spiral itu akan bergerak kian menjulang.
Ada pertanyaan yang tetap memburu, apakah benar program-program voyeuristik itu disajikan untuk menghormati selera pemirsa? Inilah soal paling krusial yang amat jarang dijawab. Rupanya jawabannya tidak terletak pada kajian media, tetapi pada kaitan antara psikoanalisa dan ekonomi-politik. Isinya menyangkut urusan praktis yang bertalian erat dengan masalah konseptual.
Pertama, urusan praktis. Pemirsa bukanlah tujuan, tetapi tambang emas bagi media massa yang sedang bergeser menjadi bisnis media. Target utamanya bukan to inform, to educate, dan to entertain seperti yang dicita-citakan, tetapi bagaimana menciptakan tambang laba dari hasrat pemirsa/pembaca. Jalan pintasnya adalah masuk memainkan kawasan basic instinct manusia yang bersifat libidinal. Seperti ditemukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Annual Report 2000-2001, itulah mengapa pada periode lima tahun terakhir makin banyak kelompok bisnis berbondong masuk ke bisnis media.
Sebagaimana kita belajar dari psikoanalisa, tidak ada batas pada libido manusia. Ia laksana sumur tanpa dasar. Inilah kawasan sensous dan desirous kita yang terus-menerus digali serta dimainkan dalam proses komersialisasi. Seperti kita tahu, tentu saja proses itu terjalin melalui perkawinan tiga unsur: tayangan prime time, voyeurisme, iklan. Yang pertama menyangkut timing, yang kedua hasrat libidinal, dan ketiga tambang laba. Lugasnya, voyeurisme media adalah sebentuk "ekonomi libido".
Kedua, masalah konseptual yang terlibat dalam gejala itu mungkin bisa dimulai dari pertanyaan ini, "gagasan apa yang memungkinkan perluasan ekonomi libido itu?" Rupanya kuncinya terletak dalam sejarah perkembangan ilmu ekonomi sendiri.
Pergeseran-entah sebagai "kemajuan" atau "kemunduran"-dari ekonomi-politik klasik (Adam Smith, David Ricardo) ke ekonomi neo-klasik (Karl Menger, Léon Walras, William Jevons) salah satunya menyangkut pergeseran konsep "nilai ekonomi" (value). Nilai ekonomi tidak lagi diletakkan pada nilai-guna material (material use value), tetapi pada antisipasi kepuasan hasrat (desire).
Dengan itu, nilai-tukar ekonomi (exchange value) juga makin dilekatkan bukan pada materialitas kerja (labour), tetapi lebih pada penciptaan nilai tukar ranah psikologis yang terkait hasrat manusia (desire). Pergeseran ini punya implikasi amat luas, termasuk mundurnya ekonomi manufaktur dan berkibarnya ekonomi virtual.
Apa yang relevan bagi kita adalah proses berikut. Kawasan yang menyangkut hasrat manusia menjadi target penciptaan nilai-tukar ekonomi. Karena sesuatu punya nilai-tukar ekonomi hanya jika tercipta kelangkaan (scarcity), ekonomi produksi berhadapan dengan dua pilihan: mengurangi atau menaikkan kadar desire. Karena mengurangi sama dengan represi, intensifikasi hasrat manusia menjadi sasaran proses ekonomi produksi. Produksi menjadi urusan penciptaan desire. Maka nilai-surplus (surplus value) perlahan-lahan juga menjadi identik dengan penciptaan surplus hasrat (surplus desire) itu sendiri.
Itulah proses yang mengantar perebakan bisnis gaya hidup, hiburan, dan voyeurisme. Itu pula proses yang kemudian makin merekatkan dua bidang yang kelihatannya berbeda: psikologi dan ekonomi. Tatkala intensitas desire menjadi target ekonomi produksi, kawasan libidinal kita tentu saja juga terperangkap dalam pusaran kinerja sistem pasar. Salah satu wajahnya adalah perebakan voyeurisme dalam bisnis media.
Apa relevansi pokok-pokok itu dengan kondisi media kita, yang salah satunya terpotret dalam jajak-pendapat Kompas? Pertama, pendangkalan masyarakat tidak hanya dipicu oleh orgi kekerasan, tetapi juga oleh orgi seduksi. Mungkin inilah pokok mendesak yang perlu diajukan kepada banyak media kita.
Kedua, pengandaian bahwa media selalu mendorong proses demokrasi tampaknya merupakan asumsi yang terlalu mulia. Jika demokrasi ala pemilu mengandaikan khalayak well- informed, padahal semakin banyak media lebih sibuk dengan informasi voyeuristik, sebaiknya kita tidak perlu heran bila Pemilu 2004 justru akan mengantar para badut, koruptor, preman, dan jagal terpilih sebagai pejabat-pejabat Republik.
B Herry-Priyono Peneliti, Staf Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta
Kompas, 1 Oktober 2003
No comments:
Post a Comment