We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com
Showing posts with label Contemplation. Show all posts
Showing posts with label Contemplation. Show all posts

Tuesday, June 19, 2012

Dia Tersenyum

Perempuan itu berjilbab, menawarkan tiga tangkai mawar dibungkus plastik seharga tiga pound. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang di suatu masa di negeriku. Wajah yang sendu, dengan garis resah di dahi. Ini jam sebelas malam. Betapa tak adilnya nasib menelantarkan seorang immigrant Eropah Timur seperti ini dengan bayi dalam selendang di emperan sebuah bar. 
Bibirku tergetar dingin, agak sedikit perih karena pecah. Aku ingat Rosie, wanita 93 tahun yang selalu membuatkan roti katul yang padat untuk makan siangku. Dia suka mawar. Ada banyak mawar dengan aneka warna yang selalu diletakkannya di gelas dekat mesin cuci. Tiap kali dengan jemarinya yang bergetar dia akan menyambut mawarku, dan sambil merekahkan senyum memintaku menyanyikan Ave Maria Lourdes kesukaannya. “You are dead boy, you are dead boy!” sanjungan Irish yang paling sering diucapkannya.

So, kali ini aku memilihkan setangkai warna kuning untuknya seharga dua pound. Perempuan berselendang itu menggumamkan kata-kata yang tidak kumengerti. Berkali-kali diulangnya kata-kata itu. Dan aku hanya mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih. 
Kusentuh pipi bayi dalam gendongannya yang tertidur pulas dalam dingin yang menekan. Mungkin perempuan itu memanjatkan limpah terima kasih bahwa ada seorang dungu yang berkeliaran di malam dingin dan membeli setangkai mawar kuningnya dengan harga segelas Guinness. Atau mungkin dia melafalkan doa enteng jodoh seperti yang biasa kudengar di pasar-pasar tradisional di Jawa karena laiknya seorang muda dengan setangkai bunga pastilah untuk seorang kembang hatinya. Entahlah aku tak pasti.

Gerimis mulai turun saat bis terakhir tiba. Kuletakkan badanku di sudut kursi bagian belakang. Seorang gadis dengan model baju masa kini mengintip lalu menunduk. Ada bagian pusarnya yang terlihat dengan lipatan-lipatan lemak. Dia seperti kura-kura yang terpekur dalam tempurungnya. Tapi ada sekilas wajahnya yang lugu terlihat. Dan ingin rasanya aku pergi ke tempatnya duduk, menyorongkan mawar kuning di tanganku untuknya. 
Bus meluncur dalam gerimis, dengan lampu terang benderang. Di ujung sana seorang gadis Chinese sedang terpekur di sebelah jendela. Aku hanya melihat pundaknya yang putih dan seonggok rambutnya yang dipangkas pendek. Tapi wajahnya yang terpantul di kaca seperti menerawang dalam kegelapan di luar sana. Mungkin ia sedang mengkhayalkan sebuah tongkang tradisional di negerinya yang berlayar di tengah sungai dalam gulita..

Tak banyak penumpang sehingga bus meluncur lebih cepat. Air hujan meniti di kaca jendela. Dan tiba-tiba si kura-kura menyembul. Pertama-tama pundaknya tegak, lalu kepalanya dinaikkan, dan terakhir wajahnya menoleh. Bibirnya ditarik memanjang, lalu memamerkan sederatan giginya. Ia tersenyum kepadaku satu-satunya orang di barisan belakang, membuatku seperti tersedak. Itulah senyuman yang buatku berharap bisa bertemu lagi dengannya di suatu ketika. Sebab sesudah senyumnya, ia bangkit dari duduknya, memencet bel, dan memastikan diri untuk segera turun.

Ia larut dalam gelap dan gerimis, membiarkanku dalam kebingungan. Aku lupa membalas senyumnya, atau sekedar melambaikan tanganku, apalagi menyodorkan setangkai mawar kuningku. Pernah saking curious-nya aku mereka-reka umurnya, memberinya nama, dan mencantumkannya dalam daftar relasiku. Suatu saat kunamai dia Rosie karena mawar itu, atau Jolie karena yellow, Rany karena rain, Bussie karena bus, Melly karena smile. Tapi akhirnya kutetapkan untuk menghapus dan melupakannya.
Aku tak pernah mengerti arti senyumnya, dan mengapa ia tersenyum. Setiap kali pulang di malam larut, dalam rute bus yang sama, aku selalu teringat padanya. Kadang kupikir betapa aneh hidup ini. Di malam larut dalam rute bus yang sama sering orang merasa senasib satu sama lain. Orang bisa membagikan senyum satu sama lain tanpa perlu memberi alasan yang jelas. Mungkin hanya ungkapan perasaan bahwa kita sama-sama penumpang dalam bus yang sama, dalam jalur yang sama, engkau atau aku yang turun lebih dulu hanyalah soal waktu.

***********

15 Juni 2012 lalu adalah acara perpisahan untuk 13 siswa kelas XII Seminari Tuka. Sesudah perayaan misa syukur yang dipimpin oleh Rm. Yosef Wora, SVD selaku Vikjen Keuskupan Denpasar, diadakan acara ramah-tamah dan penyerahan piagam tanda lulus dari Seminari Tuka bagi ketigabelasnya.

Angkatan mereka mulanya berjumlah 19 orang di kelas VII, lantas tersisa 6 orang ketika masuk di kelas X dan ketambahan 7 siswa dari SMP luar. Sampai dengan lulus kelas XII, jumlah mereka tetap bertahan 13 orang.  5 orang menyatakan ingin menjadi imam Keuskupan Denpasar. 2 orang ingin kuliah di Fakultas Hukum Unud, 1 orang ingin kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Unud, 1 orang ingin kuliah di Fakultas Ekonomi Unud; 1 orang ingin kuliah di Fakultas Hukum UGM; 1 orang ingin kuliah di Fakultas Ekonomi UI; 1 orang ingin kuliah di STPDN Sumedang; dan 1 orang akan kuliah di Lisabon-Portugal.

Tak banyak pembicaraan terjadi malam itu, baik di antara mereka bertiga-belas, maupun mereka dengan adik-adiknya dan para guru. Mereka menjadi lebih pendiam dan lebih banyak melemparkan senyum. Kadang senyum dapat menjadi sarana yang efektif ketika kita tidak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan isi hati.

Selamat atas kelulusan ini. Kini kalian tiba di terminal akhir, saatnya memulai perjalanan yang baru dengan bis serta jurusan yang baru pula. Selamat berjuang untuk mengejar impian dan cita-cita kalian. You are so special in the eyes of God. So proud of you. Faith is what makes us move on! Sebuah senyuman menghantarkan kepergian kalian. (SW)

Wednesday, December 21, 2011

Masa Depan Bernama Indonesia

Sejarah tidak pernah beringsut secara linier. Evolusi senantiasa disertai oleh involusi. Ada kemajuan sekaligus kemunduran. Tidak terkecuali Indonesia. Sejak Reformasi 1998, sudah banyak kemajuan yang dicatat republik ini. Demokratisasi menjanjikan kebebasan sipil dan politik yang merupakan barang langka sebelumnya.
Ekonomi mencatat pertumbuhan yang cukup konsisten. Pemberantasan korupsi berjalan cukup lumayan. Pendeknya, segenap indikator makro mewartakan kabar gembira.
Namun, di balik gempita kemajuan makro, selalu terselip berbagai kisah orang kecil dan kalah. Indikator makro tidak dapat menjelaskan mengapa nelayan di sentra produksi ikan nasional, seperti di Bagansiapi-api, tetap miskin. Indikator kemajuan demokrasi tidak dapat menjelaskan mengapa orang sulit sekali mendirikan tempat ibadah. Diskursus pembangunan senantiasa berfokus pada pencapaian-pencapaian raksasa dan gagal memeriksa nasib mereka yang paling tidak beruntung.
Diktum pertumbuhan
Pertumbuhan, apa pun kata sifat yang disandangnya, mengandaikan sejarah yang berlangsung linier. Masa depan bukan rahasia, melainkan angka, peringkat, atau rating. Masa depan bukan negativitas yang membikin kita berfokus pada ketidakmungkinan. Dia adalah kemungkinan yang dijemput dengan strategi, langkah, atau rencana. Dengan kata lain, diktum pertumbuhan melihat masa depan sebagai realisasi atau misrealisasi dari rencana.
Republik pun jadi kumpulan rencana demi memenuhi indikator kinerja kunci. Sejarah adalah buatan rencana kerja Presiden. Sementara rencana kerja Presiden bertumpu pada diktum pertumbuhan. Tengok saja pidato Presiden di DPR setiap tanggal 16 Agustus. Presiden senantiasa menyampaikan apa saja yang sudah dicapai berdasarkan diktum pertumbuhan. Patokan kemajuan yang paling sering disebut pertumbuhan ekonomi. Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi stabil (6,5 persen) di tengah krisis yang melanda Eropa dan Amerika.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pasar domestik yang cukup besar dengan kelas menengah yang terus bertambah. Singkat kata, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Konsumsi membutuhkan pasokan, dari mana pun datangnya.
Sebab itu, Indonesia membuka diri seluas-luasnya bagi modal asing. Modal asing membuka lapangan pekerjaan, yang artinya daya beli. Buat apa menolong nelayan lokal apabila industri pengalengan ikan dapat bernapas melalui impor ikan.
Pertumbuhan hanya berfokus pada kenaikan konsumsi serta bagaimana menjaga agar pasokan stabil dan daya beli kuat. Indonesia saat ini sedang harap-harap cemas agar dapat memperoleh peringkat investment grade di 2012. Peringkat itu bakal membuat Indonesia kian kinclong di mata investor asing. Peringkat tersebut menjanjikan peluang besar bagi Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Masa depan Indonesia tidak lebih dari kumpulan angka dan peringkat. Namun, angka dan peringkat itu bukan masa depan mereka yang miskin. Nasib orang miskin hanya tergantung pada efek berantai dari naiknya jumlah investasi asing.
Angka dan peringkat adalah masa depan bagi mereka yang berkocek tebal sehingga mampu membeli surat berharga. Angka dan peringkat adalah masa depan para pemodal asing yang berniat menanamkan duitnya di republik ini.
Masa depan tanpa masa depan
Sejarah yang dipersepsi sebagai yang bergerak maju memiliki masalah. Kita pun tersedot perhatiannya pada segala sesuatu yang positif dan terukur. Sementara gerak sejarah tak hanya menghasilkan kemajuan positif, tetapi juga jejak-jejak negatif.
Sejarah sebagai dialektika positif membuat kita lalai memeriksa negativitas. Negativitas bukan isyarat perbaikan. Dia bukan got mampat dan banjir yang dapat diperbaiki secara struktural. Negativitas adalah lonceng abadi yang menyabot perhatian kita bahwa masa depan adalah ketidakmungkinan bagi sebagian orang.
Pertumbuhan senantiasa menyoroti pencapaian positif di masa depan. Sementara negativitas bersembunyi di dalam kekinian yang buram. Dia bersemayam di dalam kisah orang-orang yang berkesusahan.
Nelayan Bagansiapi-api adalah negativitas itu. Bayangkan! Setelah 12 jam melaut, nelayan di sana hanya mampu memperoleh ikan senangin sekitar 15 kilogram dengan harga jual Rp 320.000. Dengan penghasilan tersebut, keuntungan yang diperoleh hanya Rp 120.000. Setiap nelayan pun memperoleh Rp 40.000. Uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tabungan tidak ada dan masa depan pun menjadi deus absconditas bagi para nelayan tersebut.
Pertumbuhan senantiasa menyoroti pentingnya pasokan. Saat nelayan Bagansiapi-api dan juga sebagian besar nelayan lainnya gagal memasok industri pengalengan ikan, impor ikan pun dibuka lebar. Semua itu dilakukan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi.
Kita tidak pernah berpikir tentang masa depan nelayan yang hidupnya ”senin-kamis”. Masa depan adalah pidato Presiden di depan DPR yang membeberkan berbagai capaian ekonomi makro. Kita berharap kenaikan produksi tembakau di sentra tembakau seperti di Jawa Timur. Namun, kita tidak peduli nilai tukar petani tembakau yang ditekan para tengkulak. Kenaikan produksi tembakau adalah masa depan tengkulak, bukan petaninya.
Saya memang sinis dengan upaya mengukur masa depan. Bulat lonjong republik ini di tahun 2012 tidak dapat diserahkan kepada indikator-indikator makro dalam diktum pertumbuhan. Namun, tidak berarti masa depan sama sekali tanpa ukuran. Bagi saya, masa depan bukan angka dan peringkat. Masa depan diukur berdasarkan perubahan radikal koordinat ketidakmungkinan mereka yang tidak beruntung. Perubahan radikal ini tidak teraba di dalam indikator-indikator makro. Dia hanya teraba di dalam militansi politik yang berpihak kepada mereka yang tidak bermasa depan.
Kemajuan republik ini tidak disandarkan pada jumlah modal asing yang masuk atau peringkat utang. Dia diukur berdasarkan sejauh mana nelayan Bagansiapi-api dapat menabung sehingga memiliki masa depan. Sejauh mana jaminan sosial membikin orang miskin penderita penyakit kronis tetap memiliki harapan. Indonesia, singkat kata, adalah masa depan bagi semua, bukan segelintir orang. Indonesia adalah masa depan bagi dia yang tidak bermasa depan.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik UI

Monday, September 5, 2011

Merenungi Kematian

When you are sorrowful look again in your heart, and you shall see that in truth you are weeping for that which has been your delight ~ Kahlil Gibran
(in memoriam - MRT 04 September 2011)

Semua manusia mati. Sokrates manusia. Sokrates mati.
Itulah contoh dari guru logika untuk menjelaskan silogisme, yakni hukum penalaran yang menetapkan bahwa yang partikular selalu mengikuti yang universal.

Pernyataan ”semua manusia mati” merupakan premis pertama, sebagai kenyataan universal yang diandaikan atau diterima umum. Sifatnya pasti.
Pernyataan kedua, ”Sokrates manusia” merupakan premis tengah, sebagai kenyataan baru, yakni ada seseorang (manusia) bernama Sokrates.
Pernyataan ketiga, ”Sokrates mati” merupakan kesimpulan yang ditarik dari logika bahwa Sokrates sebagai bagian dari manusia juga mengalami kematian.

Semua dokter yang merawat orang sakit mengenal logika ini. Meski demikian, mereka berusaha agar kematian bisa dicegah atau ditunda sejauh mungkin, dengan cara apa pun.

Namun, yang lebih menarik dari logika kematian Sokrates adalah moral kematian Sokrates. Sokrates mati bukan karena sakit atau karena dibunuh penguasa, seperti terjadi pada diri orang-orang yang baik, yang memperjuangkan hak asasi, tetapi karena minum racun. Dia minum racun bukan karena ”bunuh diri”, sebagaimana dikenal dalam banyak kasus sosial, misalnya karena putus asa, stres, bosan hidup, atau takut menghadapi masa depan.

Menurut keputusan pengadilan yang terdiri dari para hakim yang iri pada pengaruhnya, Sokrates didakwa merusak anak-anak muda dan dijatuhi hukuman mati karena mengajarkan cara berpikir yang kritis.
Dengan tenang ia menenggak racun, sebagai cara eksekusinya, dan sadar pada kewajibannya untuk taat pada negara. Ia tidak minta grasi untuk memperpanjang hidupnya. Ia melarang sobat-sobatnya mengumpulkan uang untuk menyogok hakim guna pembebasannya. Sokrates menerima dan mencintai nasib (amor fati), dan kelak diwarisi kaum Stoa.


Mitos kematian
Dalam buku Necrocultura (Castelvecchi, 1998). Fabio Giovannini melukiskan sikap orang zaman ini berhadapan dengan kematian. Dari kebudayaan yang dikembangkan orang zaman sekarang, misalnya dalam lirik musik, fotografi, film, lukisan, atau upacara-upacara kematian dan penguburan, tampak bahwa orang tidak lagi takut pada kematian. Mereka tidak mau memitoskan kematian sebagaimana agama-agama di masa lalu, dengan upacara-upacara yang mengelabui, menghias si mati seolah mau bepergian sebentar, membayangkan janji mengenai kehidupan di akhirat dan sebagainya.

Sebaliknya, kini budaya kematian mau memasuki realitas apa adanya, dengan seluruh tragikanya, misalnya dengan memperlihatkan darah, badan membusuk, daging yang lemah, dan sebagainya.

Analisa Giovannini tampaknya berlaku untuk dunia Barat, dengan budaya pos-religius atau poskristianismenya. Necrocultura sepertinya menawarkan penyelesaian pragmatis, di mana kematian bisa dipesan di rumah sakit melalui eutanasi, atau dalam kasus kriminal melalui pembunuhan, ditangani secara bisnis dengan kemasan peti mati, kereta pengantar jenazah, upacara penguburan yang luks dan obituari di media. Tak ada yang perlu ditakutkan, semua berjalan lancar. Tidak ada setan atau roh gentayangan sebab dunia orang mati tidak terpisahkan dari dunia orang hidup. Tidak ada lagi batas misteri antara kematian dan kehidupan.

Lain lagi gambaran kematian dalam Village of the Watermills. Dalam salah satu bagian dari delapan episode film Dreams (1990) ini, sutradara Jepang—Akira Kurosawa—melukiskan mimpinya tentang sebuah desa Kincir Air yang masyarakatnya dekat dengan alam. Mereka tidak takut pada kematian, bahkan menyambutnya dengan gembira.
Seorang petualang yang datang ke sana bertanya kepada seorang kakek tua dan mendapat keterangan, ”yang penting bekerja keras, berusaha hidup panjang. Setelah itu disyukuri.” Lalu petualang itu menyaksikan penguburan seorang nenek yang meninggal pada usia 99 tahun.
Peristiwa itu dirayakan masyarakat dengan musik dan nyanyian. Anak-anak menari dengan gembira sambil menaburkan bunga di depan arak-arakan. Jauh berbeda dari upacara penguburan militer zaman ini, yang begitu serius dan berat. Namun, ada hubungan mendalam yang perlu dipikirkan saat kakek tua dari Village of the Watermills itu mengatakan, ”yang penting bekerja keras” dan ”hidup panjang” dengan kata-kata ”disyukuri”.

Disyukuri
Orang perlu merenung untuk bisa sampai pada pengertian kata ”disyukuri” (be thanked). Apanya yang disyukuri? Hidupnya atau matinya? Lebih-lebih karena ia menambahkan kata-kata, ”kami tak mempunyai kuil, atau imam.” Namun, upacara penguburan itu justru indah dan membahagiakan (a nice happy funeral).

Sama-sama menafikan agama, yang mungkin mereka anggap sebagai lembaga yang menabukan kematian, Akira Kurosawa dan Giovannini mempunyai pandangan berbeda. Sementara Giovannini melukiskan Necrocultura sebagai kenyataan masyarakat sekuler dewasa ini, dengan kebudayaan pragmatisnya dalam segala segi kehidupan, termasuk kematian, Akira Kurosawa melukiskan kematian dengan begitu akrab, sebagai bagian proses alam yang wajar.
Namun, lebih dari itu, kata ”disyukuri” dalam film Kurosawa mempunyai bobot penilaian yang tidak bisa ditawar. 

Secara moral, tampaknya tidak semua kematian bisa disyukuri. Ada orang yang diperpendek hidupnya dengan paksa melalui pembunuhan, sebaliknya ada orang yang mampu memperpanjang hidupnya karena kemajuan teknologi dan tawaran bisnis medis yang luar biasa.
Namun, keduanya membuat kematian dijauhkan dari proses alami yang wajar. Film Kurosawa seperti memberi inspirasi, agar orang mau bekerja keras bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk mengabdi. Sesudah itu, kematian menjadi akrab, bisa diterima dengan ceria dan disyukuri.

Dalam novel Yasunari Kawabata, The Old Capital (1962), ada episode yang menarik, yakni saat Hideo memberi alasan mengapa ia melukis bunga tulip dalam kimono yang dihadiahkan kepada Chieko, gadis pujaannya. ”Bunga tulip itu hidup,” katanya kepada Takichiro, ayah Chieko.
Bunga tulip hanya hidup sesaat tetapi memberi keindahan penuh. Dan hidup yang diwarnai cinta seperti tulip, tak perlu berlama-lama. Sesudah menyatakan diri, dengan rona keindahan dan aroma, bunga itu mengakhiri hidupnya. Perpanjangan hidup hanya akan menjadi waktu yang sia-sia.

sw-sept'2011

Tuesday, August 9, 2011

Be A Cheerful Giver


10 Agustus adalah Pesta St. Lauresius, seorang Diakon yang gagah berani dan dekat dengan para miskin. Bacaan misa hari ini diambil dari 2 Kor 9:6-10: "…Each one should give what he has decided in his own mind, not grudgingly or because he is made to, FOR GOD LOVES A CHEERFUL GIVER. And there is no limit to the blessings which God can send you— he will make sure that you will always have you need for yourselves…" Kata-kata itu begitu kuat dan secara kebetulan saya mendapat kiriman tulisan dari Rm. Markus Marlon MSC tentang MEMBERI. Sesuatu yang mengingatkan saya dengan semangat BERBAGI  yang didengungkan akhir-akhir ini. Betapa indahnya "memberi dan berbagi." Berikut tulisan Rm. Marlon yang merupakan permenungannya untuk memperkaya kita semua.

charles dickens
Charles Dickens (1812 – 1870) novelis Inggris dalam Great Expectations,  menceriterakan Pip kecil yang memberi roti yang sedang kelaparan kepada tawanan, yaitu Magwitch  yang divonis hukuman mati. Namun dalam perjalanan hidup selanjutnya, Pip bertumbuh dewasa dan mendapatkan  bantuan dari  donatur yang tidak dikenal. Berkat dana yang jumlahnya tidak kecil itu, Pip akhirnya menjadi orang yang sukses dan hidup dalam level papan atas. Menjelang akhir hayatnya, Magwitch mengaku bahwa dialah orang yang  memberi dana kepada Pip, karena ketika dirinya susah, hanya Pip lah yang mau menolongnya, meskipun hanya memberikan sepotong roti saja. Pemberian – meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menunda sama dengan memberi dua kali. Bukan hanya yang menerima yang bahagia dengan pemberian itu, tetapi juga yang memberi juga mengalami kebahagiaan, karena bisa berbagi rezeki dengan yang lain. 




Mother Teresa with armless kid
Teresa dari Kalkuta (1910 – 1997)  adalah pribadi yang suka memberi. Sewaktu kecil, ia “belajar memberi”  dari ibunya yang bernama Dranafile yang dalam bahasa Albania berarti bunga mawar. Dwiyani Christy dalam Mother Teresa: Melayani Yang Termiskin  Dari Yang Miskin, melukiskan bahwa keluarga Bojaxhiu kerap mengundang orang-orang yang miskin, terlantar dan kekurangan. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi Teresa kecil untuk berkarya di kemudian hari. Mother Teresa pernah berkata, “Saya amat terharu dengan orang-orang miskin di Kalkuta. Ketika saya memberikan 1 kg beras kepada orang muslim, tidak lama kemudian orang itu pergi ke tetangganya dan memberikan 1Ž2 kg berasnya kepada orang Hindhu.” Pengalaman Mother Teresa ini tentu saja bisa membuat bibir kita berdecak kagum.

Kebanyakan orang enggan berbagi sesuatu kepada orang lain, karena kepemilikannya pun  akan berkurang. Tetapi lain dengan berbagi kebahagiaan, maka kebahagiaan itu akan berlipat ganda. Hati yang bahagia karena sedang mujur, sukses atau mendapatkan rezeki, perlu kita bagikan kepada orang lain. Setiap budaya mengenal yang namanya upacara syukuran. Bersyukur atas kebaikan Tuhan atas rezeki dan keselamatan keluarga. Pengalaman itulah yang dalam upacara Budaya Minahasa terkenal dengan pengucapan. Orang  mengadakan pengucapan karena telah diberi banyak berkat dari Tuhan dan dari sana pula berkat itu pun dibagi-bagikan. Yesus mengajar kita untuk berbagi berkat,

“Yesus menengadah  ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikanya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak” (Mat 14: 19). Kisah nabi Elia tentang si janda di Sarfat yang hanya memiliki segenggam tepung  untuk dirinya sendiri dan anaknya – karena musim kering. Pada awalnya, ketika si janda diminta untuk memberikan sebagian makanannya, tetapi ada keraguan dalam dirinya. Nabi Elia berkata, “Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi  hujan ke atas muka bumi” (1 Raj. 17: 14).

Cami Walker dalam Keajaiban Memberi menerangkan bahwa dengan memberi sesuatu kepada orang lain, ternyata akan memberikan pula kesehatan sang pemberi. Memberi serupa dengan tindakan positif yang akan berdampak pada energi kehidupan.  Orang China mengenal istilah  cincai. Orang yang mudah memberi itu  tidak terlalu perhitungan. Anehnya dan memang nyata,  orang-orang yang mudah memberi juga mudah mendapat. Dari sudut pandang Firman Tuhan ini disebut hukum tabur tuai.

“Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19: 29).



William James Sidis
Sebaliknya orang yang pelit dan terlalu banyak perhitungan baik dengan Tuhan maupun sesama, maka berkat juga sulit turun untuk orang-orang seperti ini.  William James Sidis adalah seorang genius Amerika.  Ia memiliki IQ tertinggi, melebihi Leonardo da Vinci (1454 – 1519) dan  John Suart Mill (1806 – 1873). Pada usia 16 tahun dia sudah menjadi guru besar. Tetapi dia memiliki kehidupan yang tragis. Pada usia muda ia meninggal dunia dan namanya hilang seturut berjalannya waktu. Daya intelektualnya yang tinggi tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.ia pelit mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya. Sebaliknya, para contributor pengetahuan kepada banyak orang akan menemukan hidup yang penuh (fully human, fully alive), karena hidup mereka berguna bagi banyak orang. Tetapi tidak jarang kita menemui orang yang  pelit dan “penuh perhitungan”. Segala sesuatunya diperhitungan dengan uang. Di sanalah muncul ungkapan, “mata duitan.” Orang tersebut diminta untuk melayat tetangganya, tetapi jawabnya adalah rugi waktu. Diminta untuk mengangkat barang temannya tetapi dia berkata, “rugi tenaga”. Di Gereja harus mengeluarkan uang untuk kolekte, dia berkata, “rugi uang.” Orang semacam ini memiliki mental miskin. Meskipun dari segi materi, dirinya kecukupan, namun tetap merasa kurang dan kurang. Lebih lagi, dia menerapkan prinsip, do ut des yang artinya memberi supaya mendapatkan atau memberi dengan pamrih. 


Jansen Sinamo


Jansen Sinamo dalam Korupsi  dan Keluhuran memberikan ilustrasi bahwa alam semesta itu memberikan kepada manusia sesuatu yang seimbang. Alam tidak pernah korupsi. Ekektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck (Kompas, 4 Juni 2011). Alam bekerja dengan prinsip “secukupnya”, tidak berlebihan dan tidak berkekurangan. Mahatma Gandhi ( 1869 – 1948), pernah mengatakan bahwa dunia ini memberikan rezeki yang berlebihan kepada semua umat manusia yang bersyukur, namun tidak cukup bagi satu orang yang serakah. Beberapa abad  sebelum Mahatma Gandhi lahir, Horatius (,,,,,) pernah berkata, “Semper avarus eget” yang artinya orang yang serakah  selalu menuntut. Alam semesta memberikan yang terbaik kepada umat manusia. Tetapi eksploitasi alam semesta pada akhirnya mencelakakan penghuni planet itu sendiri. Banjir dan  global warming  serta penggundulan hutan adalah beberapa kejadian dari keserakahan umat manusia. Pengalaman memberi memang sungguh indah. Belum lama ini saya berjalan-jalan di Pantai Kalasey dengan seorang tamu dari luar kota. Sore hari itu saya mengajak tamuku untuk melihat sunset. Ketika detik-detik, matahari akan kembali ke peraduannya, tamu itu berkata kepada saya, “Sahabat, terima kasih atas pemandangan indah yang engkau berikan kepada saya.” Saya malu, karena tidak memberikan sesuatu pun kepada tamuku itu, tetapi serentak menyetujui bahwa saya telah “memberi sesuatu”  kepada tamuku itu. 

Menjadi imam? Atau .... ?

Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai proses mental (kognitif proses) yang dihasilkan dari pemilihan suatu tindakan di antara beberapa alternatif skenario yang ada. Setiap proses pengambilan keputusan akan menghasilkan pilihan akhir. Output-nya dapat berupa suatu tindakan atau berupa pilihan lagi.


Kemampuan manusia untuk mengambil sebuah keputusan, akhir-akhir ini menjadi sebuah subyek penelitian dari berbagai macam pendekatan. Dari perspektif psikologi, keputusan yang diambil oleh seseorang terkait dengan adanya serangkaian kebutuhan, keinginan-keinginan serta nilai-nilai apa yang sebenarnya mereka cari. Dari perspektif kognitif, proses pengambilan keputusan harus dianggap sebagai proses berkelanjutan yang terintegrasi dengan adanya interaksi dengan lingkungan. Sementara dari perspektif normatif, analisis keputusan individual berkaitan dengan logika, rasionalitas pengambilan keputusan dan kemana arah yang ingin diambil dari keputusan tersebut.


Intinya, mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah. Demikian juga halnya yang saat ini dialami oleh ke-13 orang seminaris. Mereka sedang duduk di kelas akhir dan harus membuat keputusan untuk masa depannya. Menjadi imam? Atau tidak menjadi imam?


Dua anak menyatakan pasti melanjutkan pendidikannya untuk menjadi imam. Sementara 11 orang lainnya ragu-ragu. Penyebab keragu-raguan ini bermacam-macam. Keraguan dari diri sendiri (hal yang sangat biasa terjadi) dan keragu-raguan karena sebab lain.


Dari hasil pembicaraan kami dengan mereka, ada yang menyatakan tidak mendapat dukungan dari orang tua, karena sebagai si sulung mereka diminta untuk bisa membantu membiayai adik-adik mereka ketika orang tuanya memasuki masa pensiun. Ada juga yang orang tuanya mengharapkan mereka menjadi imam, sementara mereka sendiri merasa tidak memiliki kemampuan untuk itu.


Kami harus menyatakan bahwa ke-13 anak ini adalah sekelompok anak-anak yang luarbiasa. Seperti Samuel yang kebingungan untuk memilih salah satu dari tujuh orang putra Isai, demikianlah beban berat yang kami rasakan saat ini. Masalah utama yang ada adalah, apapun keputusan yang diambil adalah merupakan kebebasan mutlak pada setiap anak untuk menjatuhkan pilihannya. Lanjut ke jenjang panggilan imamat berikutnya, ataukah berbelok mengambil jalan hidup yang lain?


Sebagai pembimbing mereka, kami hanya bisa berdoa dan terus memotivasi mereka; mengurangi berbagai macam keraguan yang ada dan memberikan cara pandang yang benar melalui berbagai macam perspektif supaya mereka terbantu untuk membuat keputusan dan tidak salah memilih jalan hidupnya.


Bagi kami sebagai pembimbing, adalah tugas kami untuk membantu melahirkan anak-anak rohani yang tangguh yang kelak diharapkan menjadi imam-imam masa depan.


Bawalah kami dan ke-13 anak-anak yang luar biasa ini dalam doa-doa Anda, sehingga mereka benar-benar tersentuh oleh tangan Tuhan untuk memenuhi panggilanNya menjadi imam-imamnya.


The Beautiful Hands of a Priest


We need them in life's early morning,
We need them again at its close;
We feel their warm clasp of true friendship,
We seek them when tasting life's woes.
At the altar each day we behold them,
And the hands of a king on his throne
Are not equal to them in their greatness;
Their dignity stands all alone;
And when we are tempted and wander,
To pathways of shame and of sin,
It's the hand of a priest that will absolve us--
Not once, but again and again.
And when we are taking life's partner,
Other hands may prepare us a feast,
But the hand that will bless and unite us--
Is the beautiful hand of a priest.
God bless them and keep them all holy,
For the Host which their fingers caress;
When can a poor sinner do better,
Than to ask Him to guide thee and bless?
When the hour of death comes upon us,
May our courage and strength be increased,
By seeing raised over us in blessing--
The beautiful hands of a priest.


Catatan – Jumat Pertama, 5 Agustus 2011

Monday, August 8, 2011

Melintasi Arus Kehidupan

Semingguan ini kita banyak berdialog tentang MASA DEPAN. Secara sadar kita menyiapkan sebuah masa depan. Masa depan itu kita angankan sebagai dunia yang lebih baik, lebih berkeadaban, masyarakat Tuhan (bonum commune, transformasi sosial, adil makmur). Maka kita mulai merancangnya dengan apa yang bisa kita lakukan dalam scope jangkauan kita yakni dalam pekerjaan, kehidupan sosial, terutama kehidupan keluarga kita. Masa depan “tanah terjanji” itu mungkin tak pernah akan kita masuki seperti nasib Musa, tapi bisa kita siapkan lewat anak-anak kita. Merekalah tangan-tangan kita untuk menjangkau masa depan itu. Para fighters and warriors yang kita siapkan untuk mewujudkan visi serta the promised land itu. 
Maka segala daya, tenaga, pikiran dan dana kita arahkan ke sana. We long to send them to the best schools and universities. Shortly, in our opinion, education is number one priority in other to equip them to pursue the future. Only through the best education we can shape the future.  But, education is one thing, what we are afraid of is to compete with so many waves of contemporary ideologies. The gigantic secular life with its conviction and belief that produce a Godless society. Berbagai macam paham dan keyakinan bukan lagi seputar agama-agama tetapi justru gaya hidup yang merebut pikiran dan hati anak-anak kita untuk gambaran ideal yang jauh dan bahkan bertentangan sekali dengan impian kita.
Kita mengamini yang dikatakan James Allen: “Dream! And if you can hold your dream in your heart, you can have it in your hand!" Kesempatan dan jalan akan terbuka serta dana akan datang sendirinya bagi orang yang meyakini impiannya. Karena itu kita tanamkan kepada anak-anak kita untuk terus berani bermimpi dan bercita-cita. Kami sendiri sedang sport jantung menghadapi ke-13 siswa kelas III SMA yang akan memutuskan pilihannya. Harapan kita lebih banyak yang melanjutkan menjadi imam. Seorang imam yang subur adalah imam yang melahirkan semakin banyak anak-anak rohani juga imam-imam masa depan. Kami tak ingin menjadi imam yang mandul seperti Nadab dan Abihu, kedua anak Harun yang akhirnya dibakar hangus oleh Tuhan (Im 10:1-2). Tapi masalahnya: tsunami dan badai paham-paham dunia yang menyesatkan begitu kuat membelit kita hari-hari ini. Kapitalisme yang rakus, materialism yang hedonis merampok habis segala kesenangan untuk hari ini, sekularisme yang menyingkirkan Tuhan dan hanya meyakini kekuatan diri adalah istilah lain dari egoisme dan ateisme modern. Paham itu hadir dan disebarkan bukan lewat para guru dan rahib mereka di ruang kelas, tapi lewat berbagai gaya hidup yang memikat tapi menjerumuskan. Kita tak bermaksud mengajar anak-anak untuk memusuhi dan menjauhi dunia, tapi justru untuk mengubahnya menjadi tempat yang penuh berkat serta tanda sacramental kehadiran Tuhan.
Mat 14:22-33 (Injil Minggu Biasa XIX/A)
Injil hari ini berkisah tentang Yesus yang berjalan di atas air. Apa arti "berjalan di atas air"? Dipakai kata yang harfiahnya berarti "berjalan mondar mandir", seperti sedang berjalan-jalan santai di taman. Juga ada makna serta "berinteraksi" dengan keadaan dengan tenang dan enak. Dahulu para guru Yahudi sering diceritakan mengajarkan prinsip-prinsip etika kepada para murid mereka sambil "berjalan-jalan", sering tidak dalam arti mondar mandir melangkahkan kaki, melainkan menelusuri pelbagai gagasan, teori, serta pemikiran leluhur dan para cerdik pandai. Begitulah asal usul pengajaran yang biasa dikenal sebagai "halakha", yakni penjelasan yang diturun-temurunkan mengenai hukum dan agama. Diajarkan bagaimana menelusuri perkara-perkara kehidupan dengan santai tapi waspada, tidak tegang dan terpancang pada satu hal saja. Seorang ahli dapat dengan enak meniti arus-arus pemikiran tanpa terhanyut.





Murid-murid melihat ada sosok yang menguasai gerakan-gerakan gelombang. Yesus tidak menggilasnya. Juga pada kesempatan lain ketika menghardik angin dan danau (Mat 8:26 Mrk 4:39 Luk 8:24), Ia cukup menyuruh mereka diam. Itulah tempat mereka yang sebenarnya di hadapan keilahian. Sekarang Yesus malah tidak memakai kata-kata. Ia leluasa berjalan di atas kekuatan-kekuatan itu. Kenyataan-kenyataan yang bisa mengacaukan tidak menggentarkannya. Malah mereka dijinakkan. Ini semua dilihat para murid. Namun mereka tidak serta-merta mengenali siapa Dia itu yang bertindak demikian. Sosok ini datang dari Yang Ilahi atau dari yang jahat? Begitulah cara mereka membeda-bedakan. Tak banyak menolong. Yesus menenangkan dan menyuruh mereka melihat baik-baik bahwa Dialah yang ada di situ. Tak perlu lagi risau akan kekuatan-kekuatan yang menakutkan yang sebenarnya semu dan justru akan benar-benar membahayakan bila dianggap sungguh. Yesus hendak mengajarkan kebijaksanaan yang dihayatinya sendiri. Di padang gurun ia berhasil melewati godaan Iblis dengan budi yang terang, bukan dengan balik menghantam. Pembaca yang jeli akan menghubungkan ketenanganNya itu dengan tindakanNya sebelum datang kepada murid-muridnya: Ia pergi menyendiri dan berdoa, meluruskan serta membangun hubungan dengan keilahian dalam ketenangan. Itulah sumber kebijaksanaanNya.


Ayub 9:8 menyebut Allah yang Mahakuasa "membentangkan langit", dan "berjalan melangkah di atas gelombang-gelombang laut", artinya menguasai kekuatan-kekuatan yang tak terperikan dahsyatnya. Tidak dengan meniadakannya, melainkan dengan mengendalikannya. Ia mengatur alam yang dahsyat itu dengan kebijaksanaaNya. Yesus menyelaraskan diri dengan Yang Mahakuasa yang demikian itu. Ia tetap mengarahkan diri kepadaNya. Dan menurut Matius, nanti pada akhir kisah ini, para murid mengakuinya, "Sesungguhnya Engkau itu Anak Allah." Mereka mulai paham bahwa Yesus membawa keilahian dalam dirinya.
To be the friend of Jesus
To provide the best education for our kids is A MUST. Tapi mengecilkan pengaruh gelombang paham-paham modern adalah sebuah kesembronoan yang berakibat fatal. Apakah ketakutan kita terhadapnya sesuatu yang perlu? Simak saja: Yesus sendiri berdoa bagi murid-muridNya. "Aku tidak meminta supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat" (Yoh 17:15). Yesus tahu bahwa para muridNya masih akan ada di dunia yang sarat dengan godaan yang menjerumuskan dan bakal menjauhkan kita dariNya. Kepada Petrus, Yesus bersabda: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu”  (Luk 22:31-32).  Dalam surat-suratnya Paulus banyak kali menyebutkan bahwa dia berdoa dengan sungguh-sungguh bagi umatnya, karena ada banyak ajaran dan paham yang menyesatkan. Maka tugas kita selain providing the best education, tak bioleh melupakan tugas utama yang lebih penting to bring them close to Jesus. Only with Jesus we can shape a better future, melintasi arus dan gelombang badai jaman. Hanya Dia yang bisa menaklukkan berbagai gelombang itu. Dia tidak mengajak kita untuk memusuhi dunia, tapi untuk menaklukkan dan mengendalikannya. 
Minggu 7 Agustus 2011 siang Mgr. Camilus dari Department of Evangelisation Vatican yang selama 16 tahun mengurusi wilayah Indonesia berkunjung ke Seminari Tuka. Beliau menekankan kepada para seminaris: "...our main goal is to be close to Jesus, and only then we can be friend of Jesus, and then we can live His life and mission. How to bring our kids to be closer to Jesus? We spend time with them, to teach them about Jesus, to help them to know Jesus through Bible and Sacraments, especially the Sacrament of Holy Eucharist, the meditation in front of the Blessed Sacrament!"
Jesus never promises about an easy way, but He does promise to be with us always! Be strong, courage! Man and woman of God!

Tuesday, August 2, 2011

Five Loaves and Two Fishes - United Nation calls for more funds to save lives across Horn of Africa

PBB menyerukan gerakan untuk mengumpulkan lebih banyak dana untuk mengatasi kelaparan di Semenanjung Afrika. Kelaparan yang terjadi begitu hebat dan mengenaskan, sementara di bagian lain bumi makanan begitu berlimpah.



Dalam artikel pada websitenya tertanggal 2 Agustus 2011, Unicef menyerukan untuk mengurangi biaya kargo ke Semenanjung Afrika. Biaya kargo untuk mengirimkan bahan pangan terkadang sama dengan harga bahan makanan yang dikirim, demikian Marixie Mercado - juru bicara Unicef menjelaskan dalam sebuah konferensi pers di Jenewa.


Bunda Teresa mengatakan kalau kita tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah makan satu orang dulu. Mungkin kita tidak perlu melihat jauh-jauh ke Semenanjung Afrika, jika melihat dengan seksama di sekeliling kita pun, kita bisa menemukan orang-orang yang memerlukan bantuan. Mungkin ada orang-orang di sekitar kita seperti cerita dalam klip berikut ini?






Ketika kita mensyukuri apa yang kita miliki, dan menyadari bahwa apa yang kita miliki adalah HADIAH dari Tuhan, meskipun kita mengusahakannya, maka semestinya kita tergerak untuk membagikan apa yang sebenarnya BUKAN benar-benar menjadi milik kita. Seperti halnya Yesus yang tergerak oleh rasa kasih untuk memberi makan 5.000 orang (Matius 14: 15 - 21


Perikop itu menjadi inspirasi bagi seorang Corrinne May untuk menggubah sebuah lagu indah dengan judul yang sama "Five Loaves and Two Fishes. 
Corrinne May, terlahir 19 Januari 1973 di Singapura, merupakan seorang penulis dan penyanyi yang berbakat, saat ini menetap di Los Angeles.


Belajar piano klasik sejak berusia 5 tahun, dan berlanjut hingga usianya yang ke 17. 
Dalam official websitenya (www.corrinnemay.com) ia mengakui sangat sulit untuk mempelajari musik klasik dan lebih memilih memainkan musik-musik popular daripada melatih tangga nada.
Lulus dari Berklee College of Music, ia mengambil jurusan songwriting dan film scoring.


Simaklah rekaman lagu indah Corrinne May berikut ini, dan resapi benar-benar syair lagunya. Mudah-mudahan kita semua tergerak untuk saling berbagi, meringankan beban sesama kita.

SEMOGA




Five Loaves And Two Fishes


A little boy of thirteen was on his way to school
He heard a crowd of people laughing and he went to take a look
Thousands were listening to the stories of one man
He spoke with such wisdom, even the kids could understand

The hours passed so quickly, the day turned to night
Everyone was hungry but there was no food in sight
The boy looked in his lunchbox at the little that he had
He wasn't sure what good it'd do, there were thousands to be fed

But he saw the twinkling eyes of Jesus
The kindness in His smile
And the boy cried out
With the trust of a child
he said:

"Take my five loaves and two fishes
Do with it as you will
I surrender
Take my fears and my inhibitions
All my burdens, my ambitions
You can use it all to feed them all"

I often think about that boy when I'm feeling small
And I worry that the work I do means nothing at all

But every single tear I cry is a diamond in His hands
And every door that slams in my face, I will offer up in prayer

So I'll give you every breath that I have
Oh Lord, you can work miracles
All that you need is my "Amen"

So take my five loaves and two fishes
Do with it as you will
I surrender
Take my fears and my inhibitions
All my burdens, my ambitions
You can use it all
I hope it's not too small

I trust in you
I trust in you

So take my five loaves and two fishes
Do with it as you will
I surrender
Take my fears and my inhibitions
All my burdens, my ambitions
You can use it all
No gift is too small

Monday, July 4, 2011

Titik Terendah (The Lowest Point)

The Godless life: kehidupan di mana Tuhan tiada. Kita berteriak tetapi Tuhan seperti tuli, membiarkan, dan tidak peduli. Seperti pengalaman Yesus yang merasa ditinggalkan oleh Allah yang disapaNya sebagai Abba (Daddy/Papa). Para philosopher semacam Nietzche, Feurenbach mendeklarasikan God is dead.  Hidup rohani menyebutnya pengalaman kegelapan, kekeringan (desolasi). Buku terakhir tentang Teresa of Calcutta menggambarkan pengalaman gelap Mother of the Poor itu. Pengalaman kegelapan dirasakan oleh banyak orang kudus, seperti Fransiskus Asisi: ketika komunitas yang dibangunnya mulai pecah. Teresa Avilla menulis pengalaman melampaui kegelapan itu dalam buku Interior Castle (Diterjemahkan sebagai Puri Batin). Therese Lesseux mengungkapkan: pada titik terendah Tuhan sebetulnya begitu dekat dengan kita. Namun soalnya, di situ persisnya kita ingin berhenti, putus asa, ingin lari, tidak tahan.
 
Berada di titik terendah si Pemazmur berteriak: “dari jurang yang dalam aku berseru kepadaMu ya Tuhan…” Meskipun dalam dan gelap, ditinggalkan sendiri, dia tetap berteriak memanggil: “Allahku ya Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Mzm 22). Meski seruan itu seperti menyentuh ruang yang kedap, menyisakan echo semata, ia tetap berteriak. Atau mungkin di situ letak pelajaran yang ingin dibagikan? (SW)




Sunday, July 3, 2011

Menggendong


SEORANG perempuan menggendong bayi: salah satu lukisan relief di Basilica de Lourdes yang sempat kurekam. Gambar yang biasa bagi mata kebanyakan kita khususnya di masa-masa Natal. Bukan pigura bunga dan bayi-bayi bersayap itu yang mengundang perhatianku. Sebab bayi-bayi telanjang, sayap, dan awan adalah proyeksi gereja yang hidup di dunia antah berantah, mengambang di udara, dan tidak membumi. Itulah ciri khas wajah gereja Abad Pertengahan. Gereja yang kemaruk oleh kuasa dan harta benda. Gereja yang hidup dalam menara gading, berumah di angin, dan jauh dari realita orang kebanyakan.


Aku pun tak tertarik dengan gambar perempuan keibuan dengan payudara montok menyimbolkan kesuburan. Sebab perempuan dalam gambar itu lebih sebagai figur yang berperan dalam reproduksi biologis. Karena peran perempuan pada Abad Pertengahan direduksi ke wilayah domestik dan sexual reproduksi.


Aku justru terkesan dengan tindakan menggendong dalam gambar itu. Entah mengapa aku tertarik. Kukira tak ada kaitannya dengan membantu menarik dan mengangkat beberapa orang tua dalam kursi roda, saat pendakian yang licin karena hujan di City of the Poor. Namun aku ingat satu hal. Sejak pertama datang di Lourdes, aku berjumpa seorang gadis di ruang makan hotel. Senyumnya manis, dan dia terbilang muda di antara para tamu Jeanne d'Ark hotel tempatku menginap. Sebuah hotel bintang tiga yang selalu identik dengan peziarah dari Irlandia. Kami tak pernah bicara, hanya sekedar tegur sapa bila bersua di koridor atau bar hotel. Sekedar mengucapkan selamat pagi atau malam, atau berhai ria. Aku melambai padanya ketika pesawat mendarat kembali di Dublin. Pikirku, itulah lambaian terakhir untuknya.


Tanpa diduga dia muncul kembali dalam airport bus sebagai penumpang terakhir. Kembali kami saling menyapa. Dan ia duduk di sebelahku memulai percakapan. Pembicaraan yang mengesan sehingga ada janji untuk bisa bertemu kembali sekedar menikmati teh atau lunch merampungkan segala cerita yang tak sempat terucapkan. Tapi kutahu sejak itu aku selalu terbangun dengan wajahnya di kepalaku. Kutak tahu banyak siapa dia. Dan aku tak berani untuk menelponnya sekedar mendengar suaranya atau menanyakan kabarnya. Kini aku mengerti saat teringat kembali gambar perempuan menggendong bayi di salah satu dinding Basilica.


Semula Zen yang memulai kisahnya: Dua rahib beriring, tiba di tepi sungai dan menemukan jembatan telah rusak. Terpaksa mereka harus memotong arus menyeberangi sungai itu. Namun seorang perempuan cantik tengah tertahan di kaki jembatan rusak itu tak bisa menyeberang.


Rahib yang tua itu menawarkan diri menggendong perempuan cantik itu menyeberangi sungai dipunggungnya. Ia mau. Rahib muda terkejut, begitu kaget oleh ulah tindakan rahib tua. "Lhooo, kok saudara murid yang tua ini boleh menggendong seorang gadis, padahal kami ini harusnya kan musti menghindari segala keintiman dengan perempuan?" pikirnya, tapi ia tinggal diam.


Rahib tua menggendong gadis itu menyeberangi sungai dan rahib muda mengikuti dari belakang, cemberut dan kurang senang hati. Setelah menyeberang, rahib tua pun menurunkan perempuan itu dan mereka berpisah darinya. Di sepanjang jalan, selama jarak bermil-mil, rahib muda masih sangat tidak senang dengan perbuatan rahib besar itu.


Ia membuat segala macam tuduhan-tuduhan terhadap rahib tua, mengisi otaknya dengan segala khayalan. Ini membuatnya makin marah dan kian mengamuk. Tapi masih saja dia bisa berdiam menahan diri. Dan rahib tuapun juga tidak berniat menerangkan situasinya. Akhirnya, pada suatu tempat istirahat, setelah lewat berjam-jam [saling membisu], rahib muda sudah tak tahan lagi, meledaklah ia penuh amarah, mengamuk pada rahib tua itu.


"Bagaimana kau bisa menyebut dirimu seorang rahib yang taat dan saleh, kalau kau langsung manfaatkan kesempatan pertama untuk menyentuh seorang perempuan, lebih-lebih dan apalagi kalau dia begitu cantik? Segala ajaranmu kepadaku membuatmu menjadi seorang munafik besar." Rahib tua itu cuma melihat penuh pertanyaan dan terpana dan berkata, "Aku berjam-jam yang lalu sudah menurunkan perempuan cantik itu jauh di tepi sungai itu, kok kau masih menggendong dan membawanya sampai sekarang?"


Dongeng Zen Cina yang amat kuno ini masih memantulkan cara pikir banyak orang hari ini. Kita menjumpai banyak hal-hal tak menyenangkan di dalam hidup kita, semuanya mengganggu dan membuat kita marah. Terkadang, mereka amat menyakitkan, kadang-kadang membuat kita merasa pahit atau iri hati. Seperti rahib muda itu, kita tidak ingin melepaskannya pergi.


Kita tetap masih saja menggendong karung "perempuan cantik" tadi. Kita membiarkan mereka semuanya datang kembali untuk menyakiti kita, membuat kita marah, membuat kita pahit dan menyebabkan banyak sekali derita. Mengapa? Sederhana sekali, ya karena kita sendiri yang tak mau menurunkan dan membiarkan pergi beban karung "perempuan cantik" itu.


Kita harus langsung menurunkan perempuan cantik itu, membiarkannya pergi segera setelah kita sudah menyeberangi sungai itu, langsung segera setelah hal yang tak menyenangkan terjadi. Inipun akan segera menghilangkan segala rasa derita sakit. Sudah tidak perlu untuk terus merasa sakit oleh peristiwa tak menyenangkan yang sudah terjadi. “Datang padaKu kalian semua yang letih lesu dan berbeban berat karena aku akan memberikan kepadamu kelegaan. Belajarlah daripadaKu, sebab aku lemah lembut dan bebanKu pun ringan!” (SW)