YANG utama dan tak pernah boleh dilupakan, bahwa panggilan hidup bakti adalah karunia Tuhan Yesus sendiri yang memanggil kita semua. Sementara semua usaha promosi panggilan hidup bakti adalah usaha manusia dalam menyuburkan tanah yang menerima karunia panggilan hidup bakti itu agar dapat tumbuh dalam hidup orang yang terpanggil.
Saya menganalisis masalah panggilan hidup bakti akhir-akhir ini, seperti Gereja Katolik Indonesia menganalisis bahwa perlunya habitus baru. Karena ada kekuasaan di balik masyarakat ini yang sungguh dengan giat dan cerdas mengolah masyarakat sehingga mereka masuk dalam suatu habitus yang disetting mereka yaitu a.l. konsumerisme. Maklumlah dunia bisnis global itu didukung oleh orang-orang pandai dan juga modal besar dan kekuasaan. Dengan sendirinya pengaruhnya luar biasa sampai terjadi suatu habitus dalam masyarakat yang kalau tidak diikuti oleh seorang, ia justru merasa terpojok sendiri (ini penciptaan trend / mode dsb lewat komunikasi iklan / propaganda).
Gereja Katolik yang merupakan kekuatan organisasi yang kuat sejak dulu kala, sudah ditiru oleh organisasi bisnis global dengan sarat kepentingan bisnis. Sementara Gereja Katolik yang sebenarnya masih punya kekuatan luar biasa, terlebih dengan dukungan dari kemajuan tehnologi, belum cukup dimanfaatkan oleh umat beriman Katolik dengan baik, bahkan juga oleh para pimpinan Gereja Katolik (maaf, ini saya ungkapkan). Bahkan para pastor, bruder, suster yang sebenarnya punya akses internet dan punya kemampuan mengoperasikan internet, tidak juga memakainya dengan maksimal untuk memberikan pewartaan Injil. Memang bukan dengan model kotbah, tapi dengan hal-hal kontekstual. Malahan kaum awam, dan boleh jadi organisasi teroris lebih memanfaatkan internet ketimbang Gereja Katolik di Indonesia. Teroris yang sudah ditangkap di Rutan Nusakambangan saja, waktu itu masih bisa berinternet untuk kontak dengan jaringannya. Untunglah ketahuan penjaga.
Dengan adanya internet, Paus JP II sudah memberikan surat di hari Komsos tahun 2002 (kalau tak salah ingat), bahwa memang ada bahayanya (a.l. godaan pronografi, dan juga propaganda yang merubah pola pikir dan ini sudah sukses di masyarakat, juga bahaya propaganda konsumerisme, hedonisme yang kiranya bahaya), tapi banyak juga manfaatnya.
Di milis formatio yang sebenarnya kita bisa sharing banyak hal untuk saling belajar, karena tugas formatio itu agak jarang, beda dengan yang menjadi guru di sekolah, ada banyak pertemuan di sekolah dalam profesi yang sama, juga ada banyak buku dan terus up date informasinya. Sementara formator yang di dalam tarekat hanya satu atau dua orang saja sehingga jarang ada pertemuan untuk pengembangan formatio (hanya punya kesempatan beberapa kali kursus dan juga rapat / pertemuan formator), entah mengapa tidak juga aktif dalam milis. Padahal kita bisa bicara dan diskusi dalam satu bidang yang sama. Mereka mungkin masih kena sindrom bahaya internet. Padahal ini bisa dipakai juga untuk kemuliaan Tuhan.
Komunikasi adalah bagian dari kekuatan untuk membangun habitus baru sesuai hidup katolik.
Sekolah-sekolah katolik giat mengajarkan komputer-internet, tapi pewartaan Injil tidak signifikan rasanya dengan semua itu. Juga sekolah-sekolah Katolik lebih mementingkan prestasi akademis, sementara komunikasi iman katolik kurang utama lagi. Sehingga anak-anak katolik setelah pandai berinternet, juga tidak ada isi iman katoliknya yang perlu disebarkan lewat internet itu. Apalagi soal panggilan hidup bakti.
Padahal saya usul, kalau dari Komisi Seminari dan juga Koptari bisa menyebarkan virus ide panggilan hidup bakti kepada umat katolik dan masyarakat sehingga mereka selalu berkepentingan dengan panggilan hidup bakti, membicarakan di lingkungan-lingkungan, di dewan paroki, di rapat dewan pastoral, di tempat-tempat kerja, di sekolah-sekolah, bahkan di pasar para ibu bicara soal panggilan imam, bruder, suster anak-anak mereka atau anak di lingkungannya agar bisa tetap setia, wah ini komunikasi intensif.
Hidup bakti menjadi salah satu pusat perhatian umat katolik di manapun. Seperti cerdasnya para pebisnis dalam menjadikan masyarakat selalu mempunyai pusat perhatian untuk belanja, baik dengan daya tarik plaza/mall/ pusat perbelanjaan dsb. Meski mereka tidak dalam satu organisasi, karena ada banyak perusahaan, tetapi satu kepentingan menjadikan mereka bersinergi dengan segala simbol-simbolnya yang begitu kuat. Kalau anak-anak bisa pergi ke mall, tentu ia merasa lebih bangga ketimbang yang hanya pergi ke pasar tradisional. Bahkan ada anak remaja, yang pingsan kalau diajak ibunya ke pasar tradisional. Ini penolakan yang sudah psikosomatik. Begitu kuatnya semua strategi itu, dan itu jelas ada banyak dukungan para pakar untuk menjadikan semua itu.
Memang semua itu tak bisa dilawan, tapi yang perlu rasanya diusahakan, bahwa hidup bakti menjadi salah satu pusat perhatian dari umat Katolik dan menjadikan mereka tergerak seperti mereka tergerak untuk belanja dan belanja lagi.
Para Imam, bruder, suster, banyak diberi pendidikan rohani, tetapi bidang lain agak jarang. Maksudnya prosentasi mereka hanya sedikit yang mendalami pembentuk wajah masyarakat. Saya merasa diri saya seperti itu selama 35 tahun masuk kongregasi, tapi selama ini saya mencoba belajar sendiri, meski tak sampai mendalam, bahwa ada banyak hal yang ternyata diperlukan. Dan Gereja Katolik sebenarnya banyak punya umat yang pakar-pakar. Tetapi mereka juga dipakai oleh "tangan tersembunyi" yang terus melancarkan strategi dengan kepentingannya. Sementara kepentingan Gereja Katolik semakin tidak diperhatikan. Sampai ada umat yang bilang: Caleg katolik itu kebetulan beragama katolik, tapi itu bukan hasil kaderan Gereja Katolik. Makanya, caleg itu juga tak respek dengan Gereja dan kepentingannya. Semoga ada ahli-ahli yang kiranya dibutuhkan dapat memakai keahliannya untuk kepentingan pengembangan panggilan hidup bakti di Gereja Indonesia ini.Untuk usaha membincang dan mencari langkah bersama dalam menumbuhkan panggilan hidup bakti, kiranya diperlukan masukan dari :
1). Ahli marketing, tapi yang dapat diaplikasikan dalam urusan menumbuhkan panggilan itu. Ahli pemasaran adalah selalu menjadikan apa saja menarik dan laku dijual. Trik-triknya perlu menjadi bekal bagi promotor / komisi panggilan Indonesia.
2). Ahli sosiologi-komunikasi-budaya, karena pemahaman seputar ini akan membuka wawasan permasalahan seputar kaum muda dalam Gereja di indonesia. Trend adalah bagian yang mempengaruhi hidup juga. Trend yang sedang berlangsung perlu dipahami. Bahasa gaulnya: wah, trendy nih. Atau nggak trendy tuh, kuno.
3). Ahli teologi spiritual yg kontekstual, karena spiritualitas hidup bakti itu sungguh kosok bali dengan arus sekularisasi di masyarakat.
4). Ahli pendidikan iman katolik, karena dapat memberikan masukan bagaimana mendidik anak-anak mengikuti Yesus kepada guru agama katolik seluruh Indonesia.
Secara praktis, kalau dimungkinkan umat Katolik di manapun dan kapanpun mau bicara di antara umat tentang panggilan hidup bakti itu. Sebuah habitus baru dalam Gereja Indonesia. Ini tentu perlu diaktifkan dengan program-program keuskupan yang kontinyu memungkinkan itu, baik contoh-contoh kotbah setiap sebulan sekali yang menghidupkan umat tentang hal panggilan hidup bakti. Juga adanya bahan-bahan sarasehan di antara umat sendiri tentang hidup bakti dengan aneka dimensinya, seperti dimensi kerelaan keluarga, mendidik dan membangun semangat anak untuk hidup bakti.
Kalau imam, bruder, suster terus-menerus promosi panggilan, akan banyak waktu dihabiskan untuk itu, sementara pelayanan mereka dalam hidup bakti yang dilakukan dengan baik, itulah yang bisa menjadi daya tarik sehari-hari bagi umat yang dilayani. Dan kalau ide tentang pentingnya hidup bakti dalam gereja Katolik sudah menyebar di antara umat dan menggerakkan hati dan prilaku umat, ini yang rasanya sudah terjadi di gereja Eropa pada abad lalu dan saya rasa masih sebagian di NTT, tentu akan terus hidup. Ini akan sangat efisien dan efektif. Umat Katolik berpromosi panggilan semuanya. Dalam hal ini keteladanan, bersemangat sungguh-sungguh menghayati panggilan menjadi penting bagi para imam, bruder, suster, frater. Keraguan dan tidak komitmen pada panggilan memang menjadi masalah. Keikhlasan dan kebanggan keluarga / lingkungan / warga paroki bila ada anak-anak yang masuk seminari / kongregasi, perlu dikondisikan. Dan anak-anak juga bangga dengan cita-citanya untuk hidup bakti. Seperti waktu 40 - 50 tahun lalu, anak bisa berbangga karena cita-citanya jadi pastor, dan merasa lebih bangga dibandingkan bila jadi dokter saat itu. Untuk semua itu, tentu para ahli dapat membantu. Selain itu memang masukan praktis dari berbagai fihak.
Br. Yoanes FC
Kamis, 5 Maret 2009
Sumber: http://www.seminarikwi.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=40
Saya menganalisis masalah panggilan hidup bakti akhir-akhir ini, seperti Gereja Katolik Indonesia menganalisis bahwa perlunya habitus baru. Karena ada kekuasaan di balik masyarakat ini yang sungguh dengan giat dan cerdas mengolah masyarakat sehingga mereka masuk dalam suatu habitus yang disetting mereka yaitu a.l. konsumerisme. Maklumlah dunia bisnis global itu didukung oleh orang-orang pandai dan juga modal besar dan kekuasaan. Dengan sendirinya pengaruhnya luar biasa sampai terjadi suatu habitus dalam masyarakat yang kalau tidak diikuti oleh seorang, ia justru merasa terpojok sendiri (ini penciptaan trend / mode dsb lewat komunikasi iklan / propaganda).
Gereja Katolik yang merupakan kekuatan organisasi yang kuat sejak dulu kala, sudah ditiru oleh organisasi bisnis global dengan sarat kepentingan bisnis. Sementara Gereja Katolik yang sebenarnya masih punya kekuatan luar biasa, terlebih dengan dukungan dari kemajuan tehnologi, belum cukup dimanfaatkan oleh umat beriman Katolik dengan baik, bahkan juga oleh para pimpinan Gereja Katolik (maaf, ini saya ungkapkan). Bahkan para pastor, bruder, suster yang sebenarnya punya akses internet dan punya kemampuan mengoperasikan internet, tidak juga memakainya dengan maksimal untuk memberikan pewartaan Injil. Memang bukan dengan model kotbah, tapi dengan hal-hal kontekstual. Malahan kaum awam, dan boleh jadi organisasi teroris lebih memanfaatkan internet ketimbang Gereja Katolik di Indonesia. Teroris yang sudah ditangkap di Rutan Nusakambangan saja, waktu itu masih bisa berinternet untuk kontak dengan jaringannya. Untunglah ketahuan penjaga.
Dengan adanya internet, Paus JP II sudah memberikan surat di hari Komsos tahun 2002 (kalau tak salah ingat), bahwa memang ada bahayanya (a.l. godaan pronografi, dan juga propaganda yang merubah pola pikir dan ini sudah sukses di masyarakat, juga bahaya propaganda konsumerisme, hedonisme yang kiranya bahaya), tapi banyak juga manfaatnya.
Di milis formatio yang sebenarnya kita bisa sharing banyak hal untuk saling belajar, karena tugas formatio itu agak jarang, beda dengan yang menjadi guru di sekolah, ada banyak pertemuan di sekolah dalam profesi yang sama, juga ada banyak buku dan terus up date informasinya. Sementara formator yang di dalam tarekat hanya satu atau dua orang saja sehingga jarang ada pertemuan untuk pengembangan formatio (hanya punya kesempatan beberapa kali kursus dan juga rapat / pertemuan formator), entah mengapa tidak juga aktif dalam milis. Padahal kita bisa bicara dan diskusi dalam satu bidang yang sama. Mereka mungkin masih kena sindrom bahaya internet. Padahal ini bisa dipakai juga untuk kemuliaan Tuhan.
Komunikasi adalah bagian dari kekuatan untuk membangun habitus baru sesuai hidup katolik.
Sekolah-sekolah katolik giat mengajarkan komputer-internet, tapi pewartaan Injil tidak signifikan rasanya dengan semua itu. Juga sekolah-sekolah Katolik lebih mementingkan prestasi akademis, sementara komunikasi iman katolik kurang utama lagi. Sehingga anak-anak katolik setelah pandai berinternet, juga tidak ada isi iman katoliknya yang perlu disebarkan lewat internet itu. Apalagi soal panggilan hidup bakti.
Padahal saya usul, kalau dari Komisi Seminari dan juga Koptari bisa menyebarkan virus ide panggilan hidup bakti kepada umat katolik dan masyarakat sehingga mereka selalu berkepentingan dengan panggilan hidup bakti, membicarakan di lingkungan-lingkungan, di dewan paroki, di rapat dewan pastoral, di tempat-tempat kerja, di sekolah-sekolah, bahkan di pasar para ibu bicara soal panggilan imam, bruder, suster anak-anak mereka atau anak di lingkungannya agar bisa tetap setia, wah ini komunikasi intensif.
Hidup bakti menjadi salah satu pusat perhatian umat katolik di manapun. Seperti cerdasnya para pebisnis dalam menjadikan masyarakat selalu mempunyai pusat perhatian untuk belanja, baik dengan daya tarik plaza/mall/ pusat perbelanjaan dsb. Meski mereka tidak dalam satu organisasi, karena ada banyak perusahaan, tetapi satu kepentingan menjadikan mereka bersinergi dengan segala simbol-simbolnya yang begitu kuat. Kalau anak-anak bisa pergi ke mall, tentu ia merasa lebih bangga ketimbang yang hanya pergi ke pasar tradisional. Bahkan ada anak remaja, yang pingsan kalau diajak ibunya ke pasar tradisional. Ini penolakan yang sudah psikosomatik. Begitu kuatnya semua strategi itu, dan itu jelas ada banyak dukungan para pakar untuk menjadikan semua itu.
Memang semua itu tak bisa dilawan, tapi yang perlu rasanya diusahakan, bahwa hidup bakti menjadi salah satu pusat perhatian dari umat Katolik dan menjadikan mereka tergerak seperti mereka tergerak untuk belanja dan belanja lagi.
Para Imam, bruder, suster, banyak diberi pendidikan rohani, tetapi bidang lain agak jarang. Maksudnya prosentasi mereka hanya sedikit yang mendalami pembentuk wajah masyarakat. Saya merasa diri saya seperti itu selama 35 tahun masuk kongregasi, tapi selama ini saya mencoba belajar sendiri, meski tak sampai mendalam, bahwa ada banyak hal yang ternyata diperlukan. Dan Gereja Katolik sebenarnya banyak punya umat yang pakar-pakar. Tetapi mereka juga dipakai oleh "tangan tersembunyi" yang terus melancarkan strategi dengan kepentingannya. Sementara kepentingan Gereja Katolik semakin tidak diperhatikan. Sampai ada umat yang bilang: Caleg katolik itu kebetulan beragama katolik, tapi itu bukan hasil kaderan Gereja Katolik. Makanya, caleg itu juga tak respek dengan Gereja dan kepentingannya. Semoga ada ahli-ahli yang kiranya dibutuhkan dapat memakai keahliannya untuk kepentingan pengembangan panggilan hidup bakti di Gereja Indonesia ini.Untuk usaha membincang dan mencari langkah bersama dalam menumbuhkan panggilan hidup bakti, kiranya diperlukan masukan dari :
1). Ahli marketing, tapi yang dapat diaplikasikan dalam urusan menumbuhkan panggilan itu. Ahli pemasaran adalah selalu menjadikan apa saja menarik dan laku dijual. Trik-triknya perlu menjadi bekal bagi promotor / komisi panggilan Indonesia.
2). Ahli sosiologi-komunikasi-budaya, karena pemahaman seputar ini akan membuka wawasan permasalahan seputar kaum muda dalam Gereja di indonesia. Trend adalah bagian yang mempengaruhi hidup juga. Trend yang sedang berlangsung perlu dipahami. Bahasa gaulnya: wah, trendy nih. Atau nggak trendy tuh, kuno.
3). Ahli teologi spiritual yg kontekstual, karena spiritualitas hidup bakti itu sungguh kosok bali dengan arus sekularisasi di masyarakat.
4). Ahli pendidikan iman katolik, karena dapat memberikan masukan bagaimana mendidik anak-anak mengikuti Yesus kepada guru agama katolik seluruh Indonesia.
Secara praktis, kalau dimungkinkan umat Katolik di manapun dan kapanpun mau bicara di antara umat tentang panggilan hidup bakti itu. Sebuah habitus baru dalam Gereja Indonesia. Ini tentu perlu diaktifkan dengan program-program keuskupan yang kontinyu memungkinkan itu, baik contoh-contoh kotbah setiap sebulan sekali yang menghidupkan umat tentang hal panggilan hidup bakti. Juga adanya bahan-bahan sarasehan di antara umat sendiri tentang hidup bakti dengan aneka dimensinya, seperti dimensi kerelaan keluarga, mendidik dan membangun semangat anak untuk hidup bakti.
Kalau imam, bruder, suster terus-menerus promosi panggilan, akan banyak waktu dihabiskan untuk itu, sementara pelayanan mereka dalam hidup bakti yang dilakukan dengan baik, itulah yang bisa menjadi daya tarik sehari-hari bagi umat yang dilayani. Dan kalau ide tentang pentingnya hidup bakti dalam gereja Katolik sudah menyebar di antara umat dan menggerakkan hati dan prilaku umat, ini yang rasanya sudah terjadi di gereja Eropa pada abad lalu dan saya rasa masih sebagian di NTT, tentu akan terus hidup. Ini akan sangat efisien dan efektif. Umat Katolik berpromosi panggilan semuanya. Dalam hal ini keteladanan, bersemangat sungguh-sungguh menghayati panggilan menjadi penting bagi para imam, bruder, suster, frater. Keraguan dan tidak komitmen pada panggilan memang menjadi masalah. Keikhlasan dan kebanggan keluarga / lingkungan / warga paroki bila ada anak-anak yang masuk seminari / kongregasi, perlu dikondisikan. Dan anak-anak juga bangga dengan cita-citanya untuk hidup bakti. Seperti waktu 40 - 50 tahun lalu, anak bisa berbangga karena cita-citanya jadi pastor, dan merasa lebih bangga dibandingkan bila jadi dokter saat itu. Untuk semua itu, tentu para ahli dapat membantu. Selain itu memang masukan praktis dari berbagai fihak.
Br. Yoanes FC
Kamis, 5 Maret 2009
Sumber: http://www.seminarikwi.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=40
No comments:
Post a Comment