MISIONARIS Eropah di Indonesia tinggal tersisa satu dua. Mereka digantikan oleh imam pribumi, setelah Indonesia merdeka, dan setelah tahun 1961, Hirarki Gereja Katolik Indonesia resmi diakui Takhta Suci. Di lain pihak, terjadi perubahan "gaya” hidup menggereja di Uni Eropah (EU), pasca Perang Dunia II. Di kota besar Prancis, Belanda, dan Jerman, ritual keagamaan setiap minggu ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka bekerja keras, taat pada hukum, etika, serta sigap membantu sesama yang menderita.
Dampaknya, UE kekurangan imam. Jangankan untuk dikirim ke luar UE. Kebutuhan mereka sendiri pun tak perpenuhi. Banyak biara yang ditutup dan asetnya diserahkan ke pemerintah. Kondisi kehidupan menggereja di UE sangat kontras dengan pertumbuhan Gereja di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Di sini anak-anak muda yang terpanggil menjadi imam, masih cukup baik, meski tidak sebanyak tahun 1950-an, dan 1960-an. Hingga kini kondisi panggilan untuk menjadi imam, biarawan, dan biarawati di negeri kita, masih lebih baik dibanding dengan di EU.
Perubahan dari “Gereja misi” menjadi “Gereja Indonesia” yang mandiri, tampaknya belum disertai oleh perubahan mendasar. FOKUS KARYA KERASULAN para imam, biarawan, dan biarawati Indonesia, sampai sekarang masih sama dengan para misionaris UE, yakni bidang PENDIDIKAN DAN KESEHATAN. Dalam bentuk nyata, kita bisa melihat bahwa Gereja identik dengan SEKOLAH DAN RUMAH SAKIT. Ketika datang ke Hindia Belanda, para misionaris itu memang melihat kesehatan kaum pribumi yang memprihatinkan, serta pendidikan yang sama sekali belum ada.
Kondisi Indonesia sekarang, jelas berbeda dengan dua atau tiga abad yang lalu. Sekarang rumah sakit, puskesmas, BKIA sudah dibangun pemerintah di mana-mana. Rumah sakit milik pemerintah Daerah dan swasta, termasuk Rumah Sakit Islam, juga tumbuh subur. SD Inpres, sekolah internasional, dan lembaga pendidikan alternatif saling bermunculan. Dalam keadaan seperti ini, rumah sakit dan sekolah Katolik justru berjalan di tempat, bahkan beberapa mengalami kemunduran.
Hirarki Gereja, imam, biarawan, dan biarawati memang sulit lepas dari "karya kerasulan bidang pendidikan dan kesehatan" yang pernah dilakukan para misionaris Eropah dua atau tiga abad yang lalu.
Pertama, karena aset dan kemampuan yang mereka miliki, sejak awal memang didesain untuk keperluan tersebut. Kedua, secara ideologis, para pengambil keputusan di hirarki dan tarekat di Indonesia adalah didikan para misionaris Eropah. Hingga pola pikir mereka masih sulit dibawa masuk menghadapi realitas Indonesia saat ini.
Meski sedang gamang selama masa transisi ini, GEREJA HARUS SABAR sampai lahir generasi imam, biarawan, biarawati, dan tokoh umat, yang bisa bebas dari pengaruh misionaris Eropah. Sebab, masalah utama yang dihadapi bangsa kita saat ini bukan lagi pendidikan dan kesehatan, melainkan KEMEROSOTAN MORAL, terutama berkaitan dengan KORUPSI, KETIDAKADILAN, DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN. Itu semua memerlukan sikap dan keberanian yang lain dari sikap dan keberanian para misionaris Eropah, dua atau tiga abad yang lalu.
Sumber: Greg Soetomo SJ, “Tajuk” dalam Majalah Mingguan Katolik HIDUP edisi 3 Juli 2011
No comments:
Post a Comment