We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Thursday, May 31, 2012

Bermati Raga, Semaikan Kerukunan

Proficiat untuk Seminari Menengah Mertoyudan.

Tulisan ini dikutip dari: dikutip dari Kompas, 01 Juni 2012

AB Kurniawan
Tanggal 30 Mei 2012, lembaga pendidikan calon imam Seminari Menengah Mertoyudan di Magelang, Jawa Tengah, memasuki usia 100 tahun. Di usianya yang seabad, seminari menengah itu tetap setia pada tradisi. Pendidikan khas yang ditekankan adalah kebiasaan bermati raga.
Di zaman yang serba instan saat ini, bermati raga, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti 'memperteguh hati dengan menolak segala macam kesenangan diri' adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Kebiasaan untuk memperoleh sesuatu dengan mudah dan cepat, sambil meniadakan proses, menggejala di segala kalangan.
Persoalan ini menjadi perhatian pengelola Seminari Menengah Mertoyudan sejak awal lembaga pendidikan calon imam ini didirikan. Ribuan alumnusnya tidak pernah lupa, setiap hari mereka harus makan sayur sawi dengan lauk tempe atau tahu. Hidup jauh dari keluarga dan mengasingkan diri di sebuah asrama yang homogen.
Donum Theo, alumnus Seminari Menengah Mertoyudan, yang kini menjadi pegawai negeri sipil di sebuah kementerian, mengaku berat saat pertama kali masuk sekolah itu. Selepas lulus SMP, anak bungsu asal Yogyakarta itu harus berpisah dengan orangtuanya. "Saya biasa dimanja. Tantangan terberat di seminari waktu itu adalah bangun pukul 04.30 dengan bel keras, lalu bekerja mengepel atau menguras kamar mandi. Saat di rumah, saya masih tidur saat diantar bapak ke sekolah dan baru membuka mata sesampainya di depan sekolah," ucapnya.
Bagi Donum, pengalaman hidup di seminari seperti memakan sayur pare (peria). Saat dimakan, rasa pertama yang ada adalah pahit, tetapi setelah memakan, tak ada rasa jera. Ia justru ingin merasakannya lagi.
"Kepahitan yang dahulu saya rasakan ketika masih remaja menjadi batu tumpuan pengembangan mental dan idealisme di kemudian hari. Saya percaya semua orang yang pernah berada di seminari merasakan hal itu," ungkap Donum.
Selama tinggal di asrama, komunikasi para seminaris (panggilan siswa seminari) dengan orangtua, teman, atau siapa pun di luar sangat dibatasi. Sewaktu kebiasaan surat-menyurat masih ramai, setiap surat yang masuk ke seminari selalu disensor oleh Romo Rektor (pemimpin seminari). Kebijakan ini tak dimaknai sebagai pengebirian hak pribadi, tetapi pembelajaran untuk membangun keterbukaan antara seminaris dan formator. Saat ini sensor surat tak ada lagi karena tradisi surat-menyurat telah digantikan oleh telepon seluler yang bisa mengirimkan pesan suara atau tulisan. Siswa seminari pun dilarang membawa telepon seluler.
"Sebelum masuk seminari, mereka tidak asing lagi dengan telepon seluler. Tetapi, di seminari ada baiknya mereka dilatih untuk pernah mengambil jarak dengan teknologi," kata Rektor Seminari Menengah Mertoyudan Romo Ignatius Sumaryo SJ.
Menurut Sumaryo, seminari tidak mengajarkan siswanya untuk anti terhadap teknologi. Namun, mereka bisa memperlakukan teknologi sebagai sarana dan bukan kebutuhan utama sehingga tahu kapan seyogianya dipakai atau tidak. Mentalitas bermati raga kian dipertajam.
"Anak-anak kita telah menjadi korban dari teknologi. Generasi mereka adalah korban dari bisnis. Di seminari, setidaknya mereka pernah menjalani pengalaman mengambil jarak terhadap teknologi," ungkap Sumaryo.
Pekerjaan kecil
Setelah masuk seminari, setiap seminaris yang biasa dilayani di rumah harus menata hidup sendiri. Setiap hari mereka diajak untuk setia melakukan pekerjaan kecil, seperti mencuci, menyapu, mengepel, menyetrika, dan bercocok tanam. Dengan pekerjaan kecil itu, kelak ketika menjadi pastor atau pemimpin awam, diharapkan mereka juga bisa menghargai pekerjaan orang kecil.
Tri Edi Warsono Pr, pastor diosesan lulusan Seminari Menengah Mertoyudan yang kini studi di Roma, mengaku tak bisa mencuci sama sekali saat pertama kali masuk seminari. Namun, lambat laun ia justru menjadi seminaris yang paling rajin dan rapi menyetrika.
Setiap hari, kesederhanaan hidup menjadi napas seminaris. Sejak dahulu, semua seminaris selalu dibiasakan tidur di atas papan kayu tanpa kasur dan hanya beralaskan tikar atau matras tipis. Meski banyak donatur yang menawarkan bantuan kasur, pimpinan seminari menolak. Kondisi itu adalah bagian dari pembelajaran.
Dengan bermati raga dan peduli pada hal-hal yang kecil, seminaris pun tak hanya tumbuh intelektualitasnya. Mereka juga mampu berempati dengan sesamanya sehingga tak ada keraguan untuk berelasi dengan warga sekitar dari berbagai kelompok, golongan, atau agama. Mereka tumbuh dengan menghargai keberagaman dan kerukunan dengan sesama.
Pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori atau biasa disebut Gus Yusuf, merasakan pula "buah" dari model pendidikan di Seminari Menengah Mertoyudan itu. "Seminari punya perhatian yang kuat untuk mengenalkan sejak dini kerukunan hidup bersama dan saling menghormati. Pengenalan berelasi dengan umat beragama lain penting karena saat ini kerukunan beragama baru tampak di permukaan. Pimpinan agama berangkulan, sementara umatnya berkelahi," paparnya.
Bagi Gus Yusuf, seminari memiliki dampak positif terhadap masyarakat Magelang dan sekitarnya. Mereka menjadi contoh nyata tentang kemanusiaan dan relasi antarsesama umat beragama. "Saya berharap, lulusan seminari bisa menularkan virus perdamaian ini kepada seluruh bangsa," ungkapnya.
Seminari Menengah Mertoyudan pun diharapkan tetap setia dengan cara pendidikannya itu di usianya yang 100 tahun.


Foto Kenangan Seminari Roh Kudus Tuka
dalam Temu Seminaris se-Jawa - Bali 2011
di Mertoyudan

No comments:

Post a Comment