We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Friday, July 20, 2012

Angkatan 2012 - 2013

Memulai tahun ajaran baru 2012 - 2013; ada 145 orang anak mulai dari kelas VII s/d kelas XII yang belajar di Seminari Tuka.
Tanggal 14 Juli 2012, anak-anak kelas VII yang baru mulai menapaki kehidupan berasrama dan belajar di Seminari, mengikuti misa Minggu perdana mereka bersama dengan kakak-kakak yang siap membimbing adik-adik baru dalam kasih.
Selamat! Semoga banyak yang sungguh-sungguh terpilih.

(foto-foto lain dapat dilihat di album seminari baik di facebook page: http://www.facebook.com/seminarituka maupun https://plus.google.com/photos/100177836355640883889/albums/5767174263666372433 )















Mari Dukung terus GOTAUS (Gerakan Orang Tua Asuh - Seminari Tuka)







melalui:
BANK CENTRAL ASIA (BCA)
Account Name: Seminari Menengah Roh Kudus
Account No.: 049-589 9999

Hubungi kami melalui email: seminaritukabali@gmail.com, jika masih memerlukan informasi tambahan.


Tuesday, June 19, 2012

Dia Tersenyum

Perempuan itu berjilbab, menawarkan tiga tangkai mawar dibungkus plastik seharga tiga pound. Wajahnya mengingatkanku pada seseorang di suatu masa di negeriku. Wajah yang sendu, dengan garis resah di dahi. Ini jam sebelas malam. Betapa tak adilnya nasib menelantarkan seorang immigrant Eropah Timur seperti ini dengan bayi dalam selendang di emperan sebuah bar. 
Bibirku tergetar dingin, agak sedikit perih karena pecah. Aku ingat Rosie, wanita 93 tahun yang selalu membuatkan roti katul yang padat untuk makan siangku. Dia suka mawar. Ada banyak mawar dengan aneka warna yang selalu diletakkannya di gelas dekat mesin cuci. Tiap kali dengan jemarinya yang bergetar dia akan menyambut mawarku, dan sambil merekahkan senyum memintaku menyanyikan Ave Maria Lourdes kesukaannya. “You are dead boy, you are dead boy!” sanjungan Irish yang paling sering diucapkannya.

So, kali ini aku memilihkan setangkai warna kuning untuknya seharga dua pound. Perempuan berselendang itu menggumamkan kata-kata yang tidak kumengerti. Berkali-kali diulangnya kata-kata itu. Dan aku hanya mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih. 
Kusentuh pipi bayi dalam gendongannya yang tertidur pulas dalam dingin yang menekan. Mungkin perempuan itu memanjatkan limpah terima kasih bahwa ada seorang dungu yang berkeliaran di malam dingin dan membeli setangkai mawar kuningnya dengan harga segelas Guinness. Atau mungkin dia melafalkan doa enteng jodoh seperti yang biasa kudengar di pasar-pasar tradisional di Jawa karena laiknya seorang muda dengan setangkai bunga pastilah untuk seorang kembang hatinya. Entahlah aku tak pasti.

Gerimis mulai turun saat bis terakhir tiba. Kuletakkan badanku di sudut kursi bagian belakang. Seorang gadis dengan model baju masa kini mengintip lalu menunduk. Ada bagian pusarnya yang terlihat dengan lipatan-lipatan lemak. Dia seperti kura-kura yang terpekur dalam tempurungnya. Tapi ada sekilas wajahnya yang lugu terlihat. Dan ingin rasanya aku pergi ke tempatnya duduk, menyorongkan mawar kuning di tanganku untuknya. 
Bus meluncur dalam gerimis, dengan lampu terang benderang. Di ujung sana seorang gadis Chinese sedang terpekur di sebelah jendela. Aku hanya melihat pundaknya yang putih dan seonggok rambutnya yang dipangkas pendek. Tapi wajahnya yang terpantul di kaca seperti menerawang dalam kegelapan di luar sana. Mungkin ia sedang mengkhayalkan sebuah tongkang tradisional di negerinya yang berlayar di tengah sungai dalam gulita..

Tak banyak penumpang sehingga bus meluncur lebih cepat. Air hujan meniti di kaca jendela. Dan tiba-tiba si kura-kura menyembul. Pertama-tama pundaknya tegak, lalu kepalanya dinaikkan, dan terakhir wajahnya menoleh. Bibirnya ditarik memanjang, lalu memamerkan sederatan giginya. Ia tersenyum kepadaku satu-satunya orang di barisan belakang, membuatku seperti tersedak. Itulah senyuman yang buatku berharap bisa bertemu lagi dengannya di suatu ketika. Sebab sesudah senyumnya, ia bangkit dari duduknya, memencet bel, dan memastikan diri untuk segera turun.

Ia larut dalam gelap dan gerimis, membiarkanku dalam kebingungan. Aku lupa membalas senyumnya, atau sekedar melambaikan tanganku, apalagi menyodorkan setangkai mawar kuningku. Pernah saking curious-nya aku mereka-reka umurnya, memberinya nama, dan mencantumkannya dalam daftar relasiku. Suatu saat kunamai dia Rosie karena mawar itu, atau Jolie karena yellow, Rany karena rain, Bussie karena bus, Melly karena smile. Tapi akhirnya kutetapkan untuk menghapus dan melupakannya.
Aku tak pernah mengerti arti senyumnya, dan mengapa ia tersenyum. Setiap kali pulang di malam larut, dalam rute bus yang sama, aku selalu teringat padanya. Kadang kupikir betapa aneh hidup ini. Di malam larut dalam rute bus yang sama sering orang merasa senasib satu sama lain. Orang bisa membagikan senyum satu sama lain tanpa perlu memberi alasan yang jelas. Mungkin hanya ungkapan perasaan bahwa kita sama-sama penumpang dalam bus yang sama, dalam jalur yang sama, engkau atau aku yang turun lebih dulu hanyalah soal waktu.

***********

15 Juni 2012 lalu adalah acara perpisahan untuk 13 siswa kelas XII Seminari Tuka. Sesudah perayaan misa syukur yang dipimpin oleh Rm. Yosef Wora, SVD selaku Vikjen Keuskupan Denpasar, diadakan acara ramah-tamah dan penyerahan piagam tanda lulus dari Seminari Tuka bagi ketigabelasnya.

Angkatan mereka mulanya berjumlah 19 orang di kelas VII, lantas tersisa 6 orang ketika masuk di kelas X dan ketambahan 7 siswa dari SMP luar. Sampai dengan lulus kelas XII, jumlah mereka tetap bertahan 13 orang.  5 orang menyatakan ingin menjadi imam Keuskupan Denpasar. 2 orang ingin kuliah di Fakultas Hukum Unud, 1 orang ingin kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Unud, 1 orang ingin kuliah di Fakultas Ekonomi Unud; 1 orang ingin kuliah di Fakultas Hukum UGM; 1 orang ingin kuliah di Fakultas Ekonomi UI; 1 orang ingin kuliah di STPDN Sumedang; dan 1 orang akan kuliah di Lisabon-Portugal.

Tak banyak pembicaraan terjadi malam itu, baik di antara mereka bertiga-belas, maupun mereka dengan adik-adiknya dan para guru. Mereka menjadi lebih pendiam dan lebih banyak melemparkan senyum. Kadang senyum dapat menjadi sarana yang efektif ketika kita tidak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan isi hati.

Selamat atas kelulusan ini. Kini kalian tiba di terminal akhir, saatnya memulai perjalanan yang baru dengan bis serta jurusan yang baru pula. Selamat berjuang untuk mengejar impian dan cita-cita kalian. You are so special in the eyes of God. So proud of you. Faith is what makes us move on! Sebuah senyuman menghantarkan kepergian kalian. (SW)

Thursday, May 31, 2012

Bermati Raga, Semaikan Kerukunan

Proficiat untuk Seminari Menengah Mertoyudan.

Tulisan ini dikutip dari: dikutip dari Kompas, 01 Juni 2012

AB Kurniawan
Tanggal 30 Mei 2012, lembaga pendidikan calon imam Seminari Menengah Mertoyudan di Magelang, Jawa Tengah, memasuki usia 100 tahun. Di usianya yang seabad, seminari menengah itu tetap setia pada tradisi. Pendidikan khas yang ditekankan adalah kebiasaan bermati raga.
Di zaman yang serba instan saat ini, bermati raga, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti 'memperteguh hati dengan menolak segala macam kesenangan diri' adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Kebiasaan untuk memperoleh sesuatu dengan mudah dan cepat, sambil meniadakan proses, menggejala di segala kalangan.
Persoalan ini menjadi perhatian pengelola Seminari Menengah Mertoyudan sejak awal lembaga pendidikan calon imam ini didirikan. Ribuan alumnusnya tidak pernah lupa, setiap hari mereka harus makan sayur sawi dengan lauk tempe atau tahu. Hidup jauh dari keluarga dan mengasingkan diri di sebuah asrama yang homogen.
Donum Theo, alumnus Seminari Menengah Mertoyudan, yang kini menjadi pegawai negeri sipil di sebuah kementerian, mengaku berat saat pertama kali masuk sekolah itu. Selepas lulus SMP, anak bungsu asal Yogyakarta itu harus berpisah dengan orangtuanya. "Saya biasa dimanja. Tantangan terberat di seminari waktu itu adalah bangun pukul 04.30 dengan bel keras, lalu bekerja mengepel atau menguras kamar mandi. Saat di rumah, saya masih tidur saat diantar bapak ke sekolah dan baru membuka mata sesampainya di depan sekolah," ucapnya.
Bagi Donum, pengalaman hidup di seminari seperti memakan sayur pare (peria). Saat dimakan, rasa pertama yang ada adalah pahit, tetapi setelah memakan, tak ada rasa jera. Ia justru ingin merasakannya lagi.
"Kepahitan yang dahulu saya rasakan ketika masih remaja menjadi batu tumpuan pengembangan mental dan idealisme di kemudian hari. Saya percaya semua orang yang pernah berada di seminari merasakan hal itu," ungkap Donum.
Selama tinggal di asrama, komunikasi para seminaris (panggilan siswa seminari) dengan orangtua, teman, atau siapa pun di luar sangat dibatasi. Sewaktu kebiasaan surat-menyurat masih ramai, setiap surat yang masuk ke seminari selalu disensor oleh Romo Rektor (pemimpin seminari). Kebijakan ini tak dimaknai sebagai pengebirian hak pribadi, tetapi pembelajaran untuk membangun keterbukaan antara seminaris dan formator. Saat ini sensor surat tak ada lagi karena tradisi surat-menyurat telah digantikan oleh telepon seluler yang bisa mengirimkan pesan suara atau tulisan. Siswa seminari pun dilarang membawa telepon seluler.
"Sebelum masuk seminari, mereka tidak asing lagi dengan telepon seluler. Tetapi, di seminari ada baiknya mereka dilatih untuk pernah mengambil jarak dengan teknologi," kata Rektor Seminari Menengah Mertoyudan Romo Ignatius Sumaryo SJ.
Menurut Sumaryo, seminari tidak mengajarkan siswanya untuk anti terhadap teknologi. Namun, mereka bisa memperlakukan teknologi sebagai sarana dan bukan kebutuhan utama sehingga tahu kapan seyogianya dipakai atau tidak. Mentalitas bermati raga kian dipertajam.
"Anak-anak kita telah menjadi korban dari teknologi. Generasi mereka adalah korban dari bisnis. Di seminari, setidaknya mereka pernah menjalani pengalaman mengambil jarak terhadap teknologi," ungkap Sumaryo.
Pekerjaan kecil
Setelah masuk seminari, setiap seminaris yang biasa dilayani di rumah harus menata hidup sendiri. Setiap hari mereka diajak untuk setia melakukan pekerjaan kecil, seperti mencuci, menyapu, mengepel, menyetrika, dan bercocok tanam. Dengan pekerjaan kecil itu, kelak ketika menjadi pastor atau pemimpin awam, diharapkan mereka juga bisa menghargai pekerjaan orang kecil.
Tri Edi Warsono Pr, pastor diosesan lulusan Seminari Menengah Mertoyudan yang kini studi di Roma, mengaku tak bisa mencuci sama sekali saat pertama kali masuk seminari. Namun, lambat laun ia justru menjadi seminaris yang paling rajin dan rapi menyetrika.
Setiap hari, kesederhanaan hidup menjadi napas seminaris. Sejak dahulu, semua seminaris selalu dibiasakan tidur di atas papan kayu tanpa kasur dan hanya beralaskan tikar atau matras tipis. Meski banyak donatur yang menawarkan bantuan kasur, pimpinan seminari menolak. Kondisi itu adalah bagian dari pembelajaran.
Dengan bermati raga dan peduli pada hal-hal yang kecil, seminaris pun tak hanya tumbuh intelektualitasnya. Mereka juga mampu berempati dengan sesamanya sehingga tak ada keraguan untuk berelasi dengan warga sekitar dari berbagai kelompok, golongan, atau agama. Mereka tumbuh dengan menghargai keberagaman dan kerukunan dengan sesama.
Pengasuh Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, KH Muhammad Yusuf Chudlori atau biasa disebut Gus Yusuf, merasakan pula "buah" dari model pendidikan di Seminari Menengah Mertoyudan itu. "Seminari punya perhatian yang kuat untuk mengenalkan sejak dini kerukunan hidup bersama dan saling menghormati. Pengenalan berelasi dengan umat beragama lain penting karena saat ini kerukunan beragama baru tampak di permukaan. Pimpinan agama berangkulan, sementara umatnya berkelahi," paparnya.
Bagi Gus Yusuf, seminari memiliki dampak positif terhadap masyarakat Magelang dan sekitarnya. Mereka menjadi contoh nyata tentang kemanusiaan dan relasi antarsesama umat beragama. "Saya berharap, lulusan seminari bisa menularkan virus perdamaian ini kepada seluruh bangsa," ungkapnya.
Seminari Menengah Mertoyudan pun diharapkan tetap setia dengan cara pendidikannya itu di usianya yang 100 tahun.


Foto Kenangan Seminari Roh Kudus Tuka
dalam Temu Seminaris se-Jawa - Bali 2011
di Mertoyudan

Sunday, May 13, 2012

Surat kepada Keluarga Kristiani

Masa lalu adalah jejak untuk hari ini
Hari ini adalah rangkaian cerita  hari kemarin
Dan masa depan kita adalah panenan
Dari kebijaksanaan kita saat ini

Keluarga-keluarga yang terkasih,
Melihat perubahan masa sekarang ini, kadang hati kita bisa menjadi gamang dan kuatir. Perubahan zaman membawa kemudahan dan gengsi; perubahan itu membawa semangat berkompetisi dan semangat untuk menang. Semua orang diajak untuk berlomba-lomba memenangkan hidup yang makmur, peringkat pertama, atau terkenal. Perubahan  itu entah membawa kita ke mana. Kadang kita merasa menikmatinya, kadang bingung mengamati akibatnya bagi generasi muda dan keluarga  kita.
Ada begitu banyak keterbukaan dan kebebasan yang kita nikmati. Ekspresi pribadi menjadi bagian yang kita nikmati dengan bebas. Dan semua berjalan semakin apa adanya. Anak- anak boleh menolak kebijaksanaan orang tuanya. Dan orang tua tidak bisa lagi sewenang-wenang memberikan aturan yang tidak masuk akal sehat anak-anaknya. Akan tetapi, apakah kebebasan seperti itu saja cukup untuk mengarahkan anak-anak kepada nilai hidup yang Kristiani? Barangkali, untuk mengatasi kebingungan, sekolah dijadikan jalan pintas dan andalan untuk membentuk kepribadian, pendidikan nilai dan membatasi kebiasaan buruk dan kenakalan.
Di luar tembok sekolah, kehidupan kadang tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Membaca hasil beberapa survai atau berita, baik yang dapat dipercaya  atau tidak, kadang kita kembali dihantui rasa takut karena ternyata anak-anak kita tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri saja. Cerita kecurangan dalam ujian, pertengkaran, pencurian, terlibat narkoba, sampai kenakalan anak muda yang melakukan seks bebas barangkali bukan sesuatu yang mengada-ada.
Ke mana anak-anak kita akan berkembang? Apakah kita sungguh yakin bahwa mereka berada dalam lingkungan yang baik, yang mendukung mereka untuk hidup dengan pikiran-pikiran yang baik, mengerti nilai-nilai hidup yang baik, dan belajar untuk beriman dengan baik juga? Apakah mereka sungguh mengenali budaya hidup yang arif, yang Kristiani dan bermoral Kristiani ?
Generasi muda selalu dikelilingi oleh nilai-nilai dan budaya yang selalu berkembang dan berubah. Dalam ketersembunyian, mereka dibentuk oleh tangan-tangan yang membawa mereka menjadi generasi yang berbeda dengan zaman orang tuanya. Apakah nilai-nilai luhur dapat dipelajari dan diterima dari kehidupan di dalam rumah mereka sendiri? Tugas kita sebagai orang tua untuk menanggulanginya.
Keluarga-keluarga Katolik yang terkasih, nilai-nilai hidup yang sesuai dengan ajaran Kristus dan Gereja perlu diajarkan pada anak-anak dan seluruh anggota keluarga kita. Mereka semua perlu mendapat pengertian dan bimbingan agar sampai pada penerimaan bahwa suatu nilai itu berharga dan perlu diperjuangkan berhadapan dengan banyaknya informasi dan ajaran-ajaran yang bertubi-tubi masuk dalam pikiran dan gaya hidup kita semua, khususnya anak-anak itu.
Jika dibiarkan, anak-anak dan generasi muda kita akan kehilangan jati dirinya sebagai orang Kristiani dan manusia bermoral baik. Mereka membutuhkan masukan dan pendidikan dari orang tua dan seluruh anggota keluarganya. Dalam keluarga, kita bersama-sama membiasakan diri mengembangkan nilai-nilai hidup yang baik dan benar.
Mulailah dari disiplin diri, membiasakan melakukan hal yang benar dan mulai Mengembangkan habitus baru untuk mendalami imannya, mengembangkan persaudaraan sejati dan membudayakan kasih, supaya  kita semakin yakin akan suatu masa depan yang lebih baik, bukan hanya berhasil dalam karier, tetapi semakin menjadi manusia yang dicintai Allah dan sesama.  Mulai dari, misalnya, kebiasaan mengucapkan terima kasih, menghormati pembantu rumah tangga, atau menghargai pendapat anak-anak sambil mengajarkan kejujuran dan tanggung jawab atas perbuatannya.
Sekolah saja tidak mencukupi untuk suatu pendidikan yang baik bagi anak-anak kita. Mereka perlu kepastian dari orang tua serta seluruh isi rumahnya bahwa cinta kasih, kejujuran, kesetiakawanan, tanggung jawab, iman, kerendahan hati, hormat pada orang tua, kesetiaan, kemurnian, dll. adalah nilai-nilai yang akan terus berlaku, meskipun banyak tawaran menipu datang sebagai nilai baru yang bisa merusak kehidupan bersama kita.
Marilah dengan tekun kita dampingi putera-puteri kita. Kita jadikan setiap hari sebagai hari penuh persahabatan dan pendidikan nilai untuk mereka. Jangan biarkan generasi muda kita kehilangan arah karena tekanan hidup yang kompetitif melulu. Bmbinglah supaya perubahan zaman dan modernisasi tidak membuat mereka bingung melangkah karena sekadar ikut-ikutan dengan budaya dan trend yang belum tentu membawa keselamatan dan masa depan yang lebih baik.
Saya percaya, dengan pendekatan personal, persahabatan, kasih, dan teladan yang baik dari orang tuanya, pendidikan nilai akan lebih mudah dilaksanakan dan berhasil membawa generasi muda ke arah Kristus, ke arah pembentukan pribadi yang utuh untuk keselamatan sejati yang membuat kita bersyukur dan bangga akan mereka .
Bersama Bunda Maria, kita berdoa untuk keselamatan seluruh keluarga kita. Kita ingin membangun keluarga seperti keluarga kudus-Nya yang mampu menjadi teladan dan terang bagi banyak orang. Semoga Pentakosta mempersiapkan anak-anak kita dibimbing oleh Roh Kudus untuk membawa mereka kepada Yesus dan memuliakan Bapa yang menyertai anak-anak-Nya setiap saat.
Tuhan memberkati keluarga kita semua. Amin.
Salam Keluarga Kudus,
Rm. Alexander Erwin MSF
Komisi Keluarga Keuskupan Agung Jakarta 

Sunday, May 6, 2012

Vinsensius Loki - Membawa Kopi Ngada Mendunia

Menemani artikel 'Kejayaan dari Timur' tulisan Radhar Panca Dahana yang dikutipkan dari harian Kompas bertanggal 7 Mei 2012, di bawah ini dikutipkan juga mengenai usaha luarbiasa seorang Vinsensius Loki membawa Kopi Ngada menjadi kopi berkelas dunia.


Kopi arabika Flores Bajawa dari Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, telah menjadi kopi kelas dunia. Sebelum itu, perjuangan harus dilalui petani untuk mengangkat kualitas kopi Ngada hingga tingkat dunia. Upaya itu tak lepas dari sosok Vinsensius Loki.
Tahun 1999 Vinsensius nekat mengembangkan kopi meski saat itu apa yang dia lakukan ibarat menantang badai. Pasalnya, saat itu adalah masa keemasan vanili di Ngada hingga tahun 2003. Petani meraih keuntungan karena tingginya harga vanili.
”Banyak warga menolak ajakan saya mengembangkan kopi sebab harga biji vanili basah saja Rp 300.000 per kilogram (kg) dan biji vanili kering Rp 1,5 juta per kg. Bahkan, ada petani yang bisa membeli mobil baru dari hasil menjual vanili. Sedangkan harga kopi gelondong merah waktu itu rata-rata dibeli tengkulak Rp 600 per kg dan kopi biji kering Rp 8.000 per kg,” katanya.
Namun, ia berkeyakinan komoditas kopi, khususnya kopi arabika, lebih cocok dikembangkan di kampung halamannya, Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, dibandingkan dengan vanili.
Desa Beiwali berada di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini cocok untuk pengembangan kopi arabika yang bisa tumbuh di daerah ketinggian 900 meter-1.600 meter di atas permukaan laut.
Apalagi, warga setempat juga banyak yang memiliki tanaman kopi meski tak dirawat dengan sistem budidaya yang baik sehingga tingkat produksi dan mutunya rendah. Harga kopi pun mudah dipermainkan tengkulak karena petani belum punya kelembagaan yang kuat.
Vinsensius lalu melakukan pendekatan kepada sejumlah warga hingga terkumpul 25 orang yang mau bergabung dengannya. Mereka membentuk Kelompok Tani Penghijauan dan Rehabilitasi Lahan dengan program kerja lima tahun. Dalam kelompok itu dia menjadi ketuanya.
Program awal mereka membudidayakan 1.000 pohon kopi per anggota yang dilakukan secara swadaya. Mereka juga mengembangkan pakan ternak seluas 1.000 meter persegi per anggota, dan menanam tanaman kayu lokal.
Mereka bertekad mengembangkan kopi organik sehingga anggota didorong memelihara ternak, seperti sapi, agar kotorannya bisa menjadi pupuk untuk tanaman kopi. Selain ternak itu pun dapat dijadikan alternatif ekonomi petani dalam kondisi sulit.
Pengurus kelompok tani itu enam orang, yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, seksi peternakan, seksi perkebunan, dan seksi kehutanan. Total lahan kopi yang dimiliki kelompok ini tahun 1999 sekitar 40 hektar.
”Pertimbangan dibentuknya kelompok ini karena kami ingin mendapat bimbingan dan bantuan pemerintah daerah. Ini penting agar petani kopi bisa maju. Waktu itu syaratnya harus ada kelompok tani secara kelembagaan, program kerja, rapat bulanan, dan evaluasi tahunan,” katanya.
Berbuah dan ekspor
Tahun 2002 atau tiga tahun kemudian, pohon kopi mereka mulai berbuah. Ketika itu, harga vanili mulai turun, bahkan pada 2003 harga vanili di Ngada terpuruk. Harga biji vanili kering Rp 4.500 per kg, sedangkan biji vanili basah Rp 2.500 per kg.
Tahun 2002 Vinsensius mengajukan proposal pemberdayaan kelompok kepada DPRD setempat. Proposal mereka disetujui, dan pengurus kelompok ini pun mendapat pendidikan dan pelatihan dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Ngada. Mereka antara lain belajar tentang kepemimpinan sampai manajemen keuangan.
Tahun 2003 mereka dikukuhkan menjadi kelompok tani produktif. Pada tahun 2004 Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Timur bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) memberikan pelatihan dan pendampingan. Tujuannya, agar kelompok ini dapat meningkatkan produksi dan mengolah kopi bermutu yang berorientasi pasar nasional maupun internasional.
Tahun 2005, untuk pertama kali di Ngada dibentuk Unit Pengolahan Hasil (UPH) kopi bernama UPH Kopi Arabika Flores Bajawa (AFB) Fa Masa. Di sini Vinsensius pun menjadi ketua.
PPKKI lalu melakukan uji laboratorium. Hasilnya, mutu fisik kopi UPH AFB Fa Masa berkategori mutu 1 dan diminati pembeli dari Amerika Serikat (AS). Jadilah tujuh ton kopi UPH AFB Fa Masa diekspor ke AS.
Jumlah ekspor itu masih jauh dari permintaan AS sebanyak 1.000 ton per tahun. PPKKI lalu merekomendasikan dibentuknya lebih banyak UPH. Maka, tahun 2011 terbentuk 14 UPH kopi. Sampai tahun 2011, ekspor kopi ke AS rata-rata baru terpenuhi sekitar 300 ton per tahun.
Geografis menunjang
Dari sembilan kecamatan di Ngada, hanya dua yang menghasilkan kopi AFB karena faktor geografisnya menunjang, yakni Kecamatan Bajawa dan Kecamatan Golewa. Harga kopi arabika di Ngada pun meningkat dan menguntungkan petani.
Tahun 2011 harga gelondong merah (buah kopi masak dipetik dari pohon) yang dijual petani ke UPH sekitar Rp 6.000 per kg, dan kopi biji kering yang dijual ke eksportir Rp 51.000 per kg.
”Dalam satu musim, petani bisa berpenghasilan Rp 20 juta,” kata Vinsensius, yang anggota kelompoknya kini 151 orang. Areal kebun di Beiwali pun menjadi 167 hektar.
UPH AFB Fa Masa pun berkembang. Tahun 2007 dibentuk Koperasi Serba Usaha Fa Masa. Dalam lima tahun, aset koperasi itu sekitar Rp 2 miliar.
Ia terus berinovasi. Gelondong kopi sortiran yang tak memenuhi standar kualitas eksportir diolah menjadi kopi bubuk. Kopi ini lalu dipasarkan ke luar Nusa Tenggara Timur, bahkan sampai Filipina.
Selain itu, sejak tahun 2002, kelompoknya juga mempersiapkan lahan seluas sembilan hektar untuk mengembangkan kakao.
”Penanaman kakao dimaksudkan sebagai alternatif pendapatan sebab masa panen dan pengolahan kopi itu antara Mei dan Oktober. Di luar masa itu, kakao diharapkan dapat memberi penghasilan bagi petani. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia juga menjamin akan menyerap produksi kakao kami,” tutur Vinsensius yang memiliki 500 pohon kakao.

Kejayaan itu dari Timur

Berikut ini kutipan tulisan Radar Panca Dahana yang dimuat dalam harian Kompas - 7 Mei 2012, untuk menjadi bahan renungan kita bersama.
Bagaimana saya harus mengungkapkan perasaan ini? Ketika mengunjungi beberapa anak negeri di kawasan Nusa Tenggara Timur, saya merasa seperti manusia kecil yang dapat berkah luar biasa bagi kebodohan dan kemiskinan pengetahuan saya.
Di bagian timur negeri tercinta ini hanya keindahan, kekaguman, dan rasa bahagia serta syukur tiada habis yang saya rasakan untuk apa yang saya dengar, rasakan, lihat, dan baru ketahui. Di belahan kepulauan dengan sejarahnya yang purba ini, hidup begitu indah. Semua orang menari dan menyanyi dengan rileks, ekspresif, dan berbahagia dalam keseharian mereka.
Di Larantuka, misalnya, hanya untuk persoalan berladang atau menanam padi, setiap tahun tak kurang 16 pesta adat diselenggarakan dengan meriah. Setiap bagian dari kegiatan pertanian itu dilakukan dengan tarian dan nyanyian, plus doa-doa penuh gairah dan kekhusyukan. Di Kupang, hampir semua restoran menyediakan musik hidup. Begitu pun rata-rata angkutan kota dilengkapi peralatan musik yang tidak sekadar bunyi. Hidup dengan alam dan tuntutan modern yang begitu keras mereka hadapi tanpa harus kehilangan kegembiraan, persaudaraan yang hangat, dan kesantunan yang wajar.
Apa yang lebih membahagiakan, sungguh begitu banyak bakat, potensi kuat dalam seni vokal (dengan kerongkongan yang ajaib, kata dramawan Putu Wijaya), lentur dan ekspresifnya tubuh anak-anak muda, dalam seni tradisi hingga hip hop bergaya mutakhir. Aktor-aktor teater dengan suara bulat, bening, dan artikulatif, tubuh yang ulet dan ”bicara” sebelum ia mendapatkan latihan teater yang sesungguhnya.
Di balik kerasnya sikap dan pertahanan adat mereka, kita mendapatkan kelembutan dan keramahan yang mengharukan. Ini membuat semua fenomena kekerasan belakangan ini jadi keganjilan dan kemustahilan bagi negeri dengan puluhan etnik dan 61 bahasa berbeda ini. Betapa kedegilan dan keangkaran sungguh mereka buktikan tidak lain adalah ekses dari modernitas dan tata hidup yang mengikutinya.
Di mana bangsa bermula
Tentu saja saya tak ingin mengatakan bahwa hanya di NTT, kelebihan, bakat-bakat hebat, potensi alam, serta adat yang kuat dan santun di atas dan menjadi ciri negeri ini. Saya mengerti, bahkan mungkin secara dekat, semua kondisi itu ada di banyak wilayah lain. Namun, di bagian timur Indonesia ini, termasuk di Kepulauan Maluku dan Papua, saya merasakan getar yang berbeda, unik, dan purba. Ia seolah gema yang terpantul dari kejauhan waktu, yang tak terjamah oleh kesadaran kita, intelektualitas, dan modernitas yang kita klaim dalam kemodernan ini.
Semua itu seperti berintegrasi dan bertemu titik dengan fakta-fakta (ilmiah) baru yang menyatakan bagaimana negeri bagian timur sesungguhnya adalah asal dari semua etnik dan subkultur—bahkan mungkin kebudayaan masa depan—bangsa ini. Di wilayah inilah ditemukan sisa peradaban paling purba manusia, seperti sistem perladangan, domestikasi binatang, hingga peran perempuan yang (cukup) dominan (menurut Bung Karno) dalam penciptaan kerja, pembagian tugas dengan lelaki, hingga penyusunan hukum-hukum paling awal dari kebudayaan manusia.
Lebih dari itu, di kawasan inilah kita menemukan bukti paling awal, bahkan sejak 5000 tahun SM, terjadinya pelayaran yang mengarungi samudra-samudra besar, menjadi nenek moyang—genetik, linguistik hingga kultural—dari berbagai masyarakat kuno di Kepulauan Polinesia, Mekronesia, hingga Selandia Baru, bahkan sisi timur Afrika. Bahkan, sebagian ahli meyakini, ia sudah mendahului keberadaan bangsa Dravida atau Tamil, yang dibuktikan dalam kitab-kitab kuno mereka, sebagaimana temuan lama menunjukkan hal serupa untuk mereka yang hidup di Seychelles dan Madagaskar.
Tak heran jika kemudian beberapa antropolog maritim menyatakan bahwa diaspora pertama dan terbesar di atas muka bumi ini, mencakup sekurangnya setengah dunia, dilakukan oleh mereka yang dahulu hidup dan berkembang di wilayah—terutama antara Maluku dan Papua—ini. Dalam persebaran inilah, di tingkat lokal, dalam perjumpaan yang tak terkira intensitas dan jumlahnya dengan penghuni-penghuni yang datang berikutnya, lahir keragaman luar biasa, dalam etnik/ras, adat-budaya, dan bahasa. Kenyataan ini hanya menciptakan kekaguman, rasa heran, serta ketakmengertian para ahli tentang bagaimana itu semua tercipta.
Di mana masa depan?
Hal yang ironis dari realitas di atas: ternyata bukan kaum ahli atau masyarakat ilmiah modern yang mengalami kegamangan, masyarakat asli pemilik semua sejarah dan kekayaan luar biasa itu juga mengalami kerancuan untuk memahaminya. Mengapa?
Ketika fakta sejarah, adab, dan budaya yang mengisinya kita pahami hanya dengan perangkat akal (rasional), bisa dipastikan ia akan menuju jalan buntu. Peradaban dan kebudayaan Indonesia tidaklah diciptakan melulu hanya dengan satu modus rasional misalnya. Ada keterlibatan emosional (naluri, insting) dan spiritual, di sisi keterlibatan kultur badan (fisikal) dalam proses yang integral itu. Artinya, tanpa juga melibatkan daya mental-spiritual dan fisikal, kita akan selalu gagal memahami kebudayaan dan jati diri bangsa ini.
Kebudayaan tidak bisa hanya dimengerti, tetapi juga dialami dan dilakoni. Dengannya kita akan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh hingga di tingkat transenden dan imanen. Semua yang merasa bertanggung jawab pada bangsa dan negara ini harus mampu mengintegrasikan dirinya, pengetahuan modern, hingga praksis profesionalnya dengan modus pembudayaan dan pemberadaban di atas.
Jika diperkenankan, saya anjurkan selain para elite juga masyarakat luas melakukan semacam ”penemuan ulang” dari realitas adab—yang mungkin primordial itu—mereka sebaiknya juga melangkah ke bagian timur negeri ini. Di mana, dengan modus pemberadaban di atas, keseluruhan diri kita akan mendapatkan sebuah ”pengalaman” ajaib dan mengharukan tentang apa, siapa, dan dari mana sebenarnya kita bermula.
Inilah yang juga harus menjadi ”kesadaran baru” bagi rakyat di kawasan timur Indonesia. Bahwa, kekuatan mereka sebenarnya bukanlah pada sisi material, melainkan justru pada sisi kultural. Di wilayah inilah saudara-saudara kita sesungguhnya memiliki kapasitas terbaik untuk menunjukkan kekuatan terbesar dari bangsa Indonesia: kebudayaan!
Maka, tepatlah jika pada Hari Pers Nasional beberapa waktu, Presiden SBY menyatakan respek dan dukungannya pada bagian timur ini. Ia bahkan menjanjikan dana Rp 5 triliun sebagai bantuan pembangunan. Sayang, janji yang baik itu belum dilaksanakan.
Presiden harus merealisasi janji itu segera. Bukan karena alasan nostalgis dan romantis, melainkan pada realitas mutakhir yang ada, jati diri dan identitas kita yang masih samar saat ini—kejayaan negara-bangsa berkebudayaan di masa depan—akan terbit cahayanya dari timur.
Radhar Panca Dahana Budayawan

Friday, April 27, 2012

Devotion & Faith


DOA DARI LAPANGAN HIJAU
Oleh: Sindhunata (Kompas, Sabtu 28 April 2012)

Di mana-mana kini banyak orang, termasuk anak- anak, lebih suka menonton pertandingan sepak bola daripada pergi ke gereja pada akhir pekan. Di Jerman ada anekdot, seorang pastor bertanya kepada Peter, seorang anak, anggota jemaatnya. ”Tahukah kamu, apa yang akan terjadi pada anak laki-laki yang lebih suka bermain sepak bola pada hari Minggu daripada ke gereja?”
”Jelas. Suatu saat, anak-anak itu akan bermain di Bundesliga dan memperoleh uang miliaran,” ucap Peter tegas.
Bola dengan segala gebyarnya memang menggoda. Banyak orang lebih memilih menonton bola daripada ke gereja. Bola seakan melindas ibadat keagamaan. Namun, apakah dengan demikian Tuhan juga menghilang karena bola?

Menarik menyimak komentar Christopher Jamison OSB yang dituangkan dalam Tablet, 24 Maret 2012. Jamison adalah pastor, anggota tarekat kontemplatif Benediktin, dan seorang direktur dari salah satu kesekretariatan Konferensi Wali Gereja di Inggris dan Wales. Komentarnya itu ditulis terkait laga Piala FA, Tottenham Hotspur versus Bolton Wanderers, di Stadion White Hart Lane, London, 17 Maret 2012.
Bolton unggul lebih dahulu lewat gol Darren Pratley. Tak lama kemudian pemain Spurs, Kyle Walker, menyamakan kedudukan, 1-1. Sampai pada menit ke-41, tiba-tiba para penonton menutup mukanya, seperti orang-orang yang tiba-tiba terbenam dalam doa.
Pemandangan ini menyusul kejadian tak terduga, pemain Bolton, Fabrice Muamba, mendadak terjatuh lalu tergeletak. Dia terkena gagal jantung.
Makin para penonton di White Hart Lane tak percaya pemain berusia 23 tahun itu tergeletak tanpa alasan jelas, makin mereka khusyuk berdoa.

Kata Pastor Jamison, ”Sebanyak 30.000 fans bola penonton pertandingan Piala FA antara Spurs dan Bolton itu secara spontan menciptakan sebuah liturgi. Begitu mereka tahu petaka itu bukanlah cedera yang umum terjadi dalam sepak bola, mereka terdiam. Kemudian, ribuan tangan dan mulut bergerak dalam doa hening. Sesudah itu, bagai terbawa daya ritual yang dahsyat, fans dari kedua belah pihak melantunkan lagu. Fa-bri-ce Mu-am-ba. Ini adalah layanan kesembuhan dari 30.000 orang yang melayangkan doanya ’ke atas’ bagi seorang yang sedang sakit.”
Memakai bahasa ritual Kristiani, Jamison menyebut kejadian itu sebagai ”liturgi Sabtu sore di White Hart Lane”.
Tak berhenti di situ. Berita utama koran The Sun, Senin, mencantumkan, ”Praying for Muamba… God is in Control”. Twitter juga penuh dengan undangan #praying for fabrice. Para pemain, fans bola, dan para selebritas juga ikut berdoa bagi kesembuhan Muamba.
Ditambah dengan ekshibisi pemain Chelsea yang, setelah menciptakan gol, menyingkapkan kostumnya. Di situ tertulis ”Pray 4 Muamba”. Bahkan, selebaran Metro dua hari kemudian keluar dengan berita utama, ”Your Prayers are Working”.
Mengapa orang tergerak berdoa bagi Muamba? Kata Jamison, itu tentu tak terlepas dari iman Muamba sendiri. Muamba dikenal sebagai ”pribadi yang sangat percaya kepada Tuhan. Dia bilang, Tuhan adalah alasan dan sebab dari segala sesuatu yang dia kerjakan dan dia raih. Orang-orang tahu tentang imannya. Karena itu, mereka ikut terbawa dan mendoakannya.
Menurut Jamison, peristiwa Muamba diam-diam menjadi fenomena yang mengingatkan bahwa di dunia yang sekuler ini ternyata masih ada iman walaupun di sana orang sinis terhadap agama. Peristiwa Muamba juga menyentakkan bahwa Tuhan pun ternyata masih ada dan diakui ada-Nya di tengah ingar-bingarnya lapangan hijau. Sekaligus peristiwa itu juga mengatakan bahwa doa adalah insting manusiawi yang ada dalam setiap orang. Sayangnya, agama tidak lagi bisa mengajarkan bagaimana berdoa sesuai dengan insting tersebut.
Singkatnya, peristiwa Muamba menyadarkan akan kebenaran kata-kata yang sering diucap- kan orang di tengah dunia sekuler ini. ”Saya ini spiritual, tetapi bukan religius.”
Maksudnya, pengalaman spiritual orang zaman sekarang tak lagi bisa ditangkap oleh wadah-wadah kereligiusan yang institusional. Sangatlah tidak bijaksana mengecap mereka tidak lagi mengenal Tuhan, melulu dari kacamata agama formal belaka. Sebaliknya, lembaga-lembaga agama mesti mencari mana cara-cara beriman yang kiranya cocok dengan situasi orang zaman sekarang.
Itulah sesungguhnya keprihatinan Thomas Merton, rahib biara Trapis, yang dikenal sebagai guru doa zaman modern. Tuhan memang transendental dan berada di luar jangkauan kita. Menurut Merton, dalam ketidakmampuan manusia untuk menjangkau Tuhan, Tuhan tetap dekat dengan kita, dan berada dalam setiap situasi hidup kita. Perjumpaan dan persatuan Tuhan dalam doa adalah mungkin. Doa bukanlah suatu yang mustahil di tengah dunia sekuler ini.
Merton mengatakan, jika kita mengalami Tuhan, kita mengalami-Nya bukan untuk kita sendiri, tapi untuk orang lain. Jadi, doa yang baik adalah doa yang mengarah pada sesama.
Jadi, orang modern ini masih bisa berdoa juga. Ternyata mereka mau diminta berdoa untuk Muamba. Namun, maukah mereka, misalnya, diminta berdoa bagi para politikus, yang berkampanye untuk memperoleh kursi kekuasaan?
Jawab Jamison, rasanya tidak. Malah mereka akan menolaknya dengan sinis. Mungkin, karena mereka tahu, doa baru bisa efektif hanya jika ditujukan bagi mereka yang mau membagi diri bagi sesamanya, bukan bagi mereka yang hanya ingat kepentingan dirinya sendiri, seperti biasa terjadi pada para politikus.



devotion [dih-voh-shuhn] [noun]:
Definition: commitment; loyalty Synonyms: adherence, adoration, affection, allegiance, ardor, attachment, consecration, constancy, dedication, deference, devotedness, devotement, devoutness, earnestness, enthusiasm, faithfulness, fealty, fervor, fidelity, fondness, intensity, love, observance, passion, piety, reverence, sanctity, service, sincerity, spirituality, worship, zeal
Antonyms: apathy, carelessness, indifference, neglect, negligence

faith [feyth] [noun]:
Definition: trust in something Synonyms: acceptance, allegiance, assent, assurance, belief, certainty, certitude, confidence, constancy, conviction, credence, credit, credulity, dependence, faithfulness, fealty, fidelity, hope, loyalty, reliance, stock, store, sureness, surety, troth, truth, truthfulness
Antonyms: disbelief, distrust, doubt, misgiving, skepticism, suspicion