We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Wednesday, December 21, 2011

Masa Depan Bernama Indonesia

Sejarah tidak pernah beringsut secara linier. Evolusi senantiasa disertai oleh involusi. Ada kemajuan sekaligus kemunduran. Tidak terkecuali Indonesia. Sejak Reformasi 1998, sudah banyak kemajuan yang dicatat republik ini. Demokratisasi menjanjikan kebebasan sipil dan politik yang merupakan barang langka sebelumnya.
Ekonomi mencatat pertumbuhan yang cukup konsisten. Pemberantasan korupsi berjalan cukup lumayan. Pendeknya, segenap indikator makro mewartakan kabar gembira.
Namun, di balik gempita kemajuan makro, selalu terselip berbagai kisah orang kecil dan kalah. Indikator makro tidak dapat menjelaskan mengapa nelayan di sentra produksi ikan nasional, seperti di Bagansiapi-api, tetap miskin. Indikator kemajuan demokrasi tidak dapat menjelaskan mengapa orang sulit sekali mendirikan tempat ibadah. Diskursus pembangunan senantiasa berfokus pada pencapaian-pencapaian raksasa dan gagal memeriksa nasib mereka yang paling tidak beruntung.
Diktum pertumbuhan
Pertumbuhan, apa pun kata sifat yang disandangnya, mengandaikan sejarah yang berlangsung linier. Masa depan bukan rahasia, melainkan angka, peringkat, atau rating. Masa depan bukan negativitas yang membikin kita berfokus pada ketidakmungkinan. Dia adalah kemungkinan yang dijemput dengan strategi, langkah, atau rencana. Dengan kata lain, diktum pertumbuhan melihat masa depan sebagai realisasi atau misrealisasi dari rencana.
Republik pun jadi kumpulan rencana demi memenuhi indikator kinerja kunci. Sejarah adalah buatan rencana kerja Presiden. Sementara rencana kerja Presiden bertumpu pada diktum pertumbuhan. Tengok saja pidato Presiden di DPR setiap tanggal 16 Agustus. Presiden senantiasa menyampaikan apa saja yang sudah dicapai berdasarkan diktum pertumbuhan. Patokan kemajuan yang paling sering disebut pertumbuhan ekonomi. Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi stabil (6,5 persen) di tengah krisis yang melanda Eropa dan Amerika.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh pasar domestik yang cukup besar dengan kelas menengah yang terus bertambah. Singkat kata, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Konsumsi membutuhkan pasokan, dari mana pun datangnya.
Sebab itu, Indonesia membuka diri seluas-luasnya bagi modal asing. Modal asing membuka lapangan pekerjaan, yang artinya daya beli. Buat apa menolong nelayan lokal apabila industri pengalengan ikan dapat bernapas melalui impor ikan.
Pertumbuhan hanya berfokus pada kenaikan konsumsi serta bagaimana menjaga agar pasokan stabil dan daya beli kuat. Indonesia saat ini sedang harap-harap cemas agar dapat memperoleh peringkat investment grade di 2012. Peringkat itu bakal membuat Indonesia kian kinclong di mata investor asing. Peringkat tersebut menjanjikan peluang besar bagi Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Masa depan Indonesia tidak lebih dari kumpulan angka dan peringkat. Namun, angka dan peringkat itu bukan masa depan mereka yang miskin. Nasib orang miskin hanya tergantung pada efek berantai dari naiknya jumlah investasi asing.
Angka dan peringkat adalah masa depan bagi mereka yang berkocek tebal sehingga mampu membeli surat berharga. Angka dan peringkat adalah masa depan para pemodal asing yang berniat menanamkan duitnya di republik ini.
Masa depan tanpa masa depan
Sejarah yang dipersepsi sebagai yang bergerak maju memiliki masalah. Kita pun tersedot perhatiannya pada segala sesuatu yang positif dan terukur. Sementara gerak sejarah tak hanya menghasilkan kemajuan positif, tetapi juga jejak-jejak negatif.
Sejarah sebagai dialektika positif membuat kita lalai memeriksa negativitas. Negativitas bukan isyarat perbaikan. Dia bukan got mampat dan banjir yang dapat diperbaiki secara struktural. Negativitas adalah lonceng abadi yang menyabot perhatian kita bahwa masa depan adalah ketidakmungkinan bagi sebagian orang.
Pertumbuhan senantiasa menyoroti pencapaian positif di masa depan. Sementara negativitas bersembunyi di dalam kekinian yang buram. Dia bersemayam di dalam kisah orang-orang yang berkesusahan.
Nelayan Bagansiapi-api adalah negativitas itu. Bayangkan! Setelah 12 jam melaut, nelayan di sana hanya mampu memperoleh ikan senangin sekitar 15 kilogram dengan harga jual Rp 320.000. Dengan penghasilan tersebut, keuntungan yang diperoleh hanya Rp 120.000. Setiap nelayan pun memperoleh Rp 40.000. Uang sebesar itu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tabungan tidak ada dan masa depan pun menjadi deus absconditas bagi para nelayan tersebut.
Pertumbuhan senantiasa menyoroti pentingnya pasokan. Saat nelayan Bagansiapi-api dan juga sebagian besar nelayan lainnya gagal memasok industri pengalengan ikan, impor ikan pun dibuka lebar. Semua itu dilakukan demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi.
Kita tidak pernah berpikir tentang masa depan nelayan yang hidupnya ”senin-kamis”. Masa depan adalah pidato Presiden di depan DPR yang membeberkan berbagai capaian ekonomi makro. Kita berharap kenaikan produksi tembakau di sentra tembakau seperti di Jawa Timur. Namun, kita tidak peduli nilai tukar petani tembakau yang ditekan para tengkulak. Kenaikan produksi tembakau adalah masa depan tengkulak, bukan petaninya.
Saya memang sinis dengan upaya mengukur masa depan. Bulat lonjong republik ini di tahun 2012 tidak dapat diserahkan kepada indikator-indikator makro dalam diktum pertumbuhan. Namun, tidak berarti masa depan sama sekali tanpa ukuran. Bagi saya, masa depan bukan angka dan peringkat. Masa depan diukur berdasarkan perubahan radikal koordinat ketidakmungkinan mereka yang tidak beruntung. Perubahan radikal ini tidak teraba di dalam indikator-indikator makro. Dia hanya teraba di dalam militansi politik yang berpihak kepada mereka yang tidak bermasa depan.
Kemajuan republik ini tidak disandarkan pada jumlah modal asing yang masuk atau peringkat utang. Dia diukur berdasarkan sejauh mana nelayan Bagansiapi-api dapat menabung sehingga memiliki masa depan. Sejauh mana jaminan sosial membikin orang miskin penderita penyakit kronis tetap memiliki harapan. Indonesia, singkat kata, adalah masa depan bagi semua, bukan segelintir orang. Indonesia adalah masa depan bagi dia yang tidak bermasa depan.
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Politik UI

Tuesday, November 29, 2011

The Postman

The call 
Conall Ó Cuinn SJ sees in the film "The Postman" a parable of vocation, a way God can call us to our destiny, just as he called St Ignatius to be the founder of the Jesuits, a band of men with a new way of serving God.               
The film star Kevin Costner (Dances with Wolves, Thirteen Days, JFK) plays the role of a wandering loner in the film, The Postman. He's at rock bottom. It is the end of the line in many ways, not just for himself, but also for the US which is coming out of a seventeen-year environmental disaster following a devastating war. He himself has lost everything and has chosen 'to become a solitary witness to the chaos that reigned'. His motto, AVOID CIVILIZATION, reflects his cynicism about all relationships, both with others and with his country.

Taken prisoner, he manages to escape, but finds himself alone and lost on a cold, wet, hungry night. Losing his footing, he slides down a sharp incline and crashes into a wrecked US Postal Service van. The driver, now a skeleton, stares at him from the driving seat where he had died long ago. A bleak picture.



For Costner, the postal van means one thing: shelter. He manages to crawl in. In the skeleton's pocket he finds a lighter and a hip flask of whiskey. Jokingly, he toasts the dead postman and he warms himself by making a fire out of some letters. Things are looking up.

Now comfortable, he passes the time by reading the remaining letters aloud to the skeleton in a mocking voice. One letter, however, from a little boy moves him. The boy has lost his first tooth and he is writing to his grandfather to tell him.
 
Costner finds the little tooth in the envelope and examines it. The background music changes, signalling that something deep is happening in him. We. don't know what it is yet. Whatever is happening to him, he puts away the letters, turns on his side and enters into a sort of daydream.

The camera shifts and now we see with Costner's eyes as he reaches out to the dead postman across from him, touching the insignia on his hat: a postman riding a horse with the words, US Post Office Letter Carrier. His touch is reverent. He's in a new space.

Next scene, Costner dressed in the postman's uniform comes upon Pineview, a palisade town patrolled by suspicious armed guards. When challenged to identify himself, he introduces himself as a postman of a newly established US Post Office.

But the guards threaten to shoot him if he doesn't leave. With that he pours out his letters onto the roadway and begins to call out the names on the envelopes. None of them mean anything to the townspeople until the name 'Irene Marsh' provokes a response. From behind the palisade gate we hear Irene ask, 'Did he say my name? She's a blind old lady. Her daughter reads the letter aloud, news of her long-lost family. Irene's blind eyes light up in new hope.

'You're a godsend, a saviour,' Irene proclaims as she turns to thank Costner.

'I'm only the postman,' he replies in humble confusion. Hostility turns to welcome. He's no longer a threat but a hero, the bringer of good news and hope. For them he is 'The Postman'.

Putting the Tooth and the Pineview scenes together we get a wonderful parable on 'Call': Costner is called out of his darkness and despair when he least expects it.

Maybe his motives were still very mixed as he donned the postman's uniform. Nevertheless, he takes up his letter bag and follows the call, not knowing what mysterious journey he is beginning.

At the gates of Pineview he spins a yarn to get into the town to find food and shelter. What he doesn't know is that his words become true as he says them: without knowing it, he is indeed re-establishing the US Postal Service. But he needs Irene Marsh's response to name what is happening: he is being sent by God (godsend) to save this people (saviour). It takes a long time and many trials to accept his call fully. He has moved from pure self-interest to a generous sharing of his newly-discovered gifts of leadership.

Every genuine call has a First Tooth and a Pineview part to it. It begins with an inner movement of the spirit, and is confirmed by others from outside, a call from within and the call from without.

The Postman also shows how we can run from our true call, downplaying it with words like, 'I'm just the postman.' But a true call keeps coming back. It has a sense of destiny to it, something I have to do. It's an apparent contradiction, something I have to do, but freely.

The story of St. Ignatius, the founder of the Jesuits, is like the postman's. He too, hit rock bottom when his leg was smashed by a cannon ball. He too, had time to waste as he recovered over long months and took to reading, not letters, but books. He used to turn over to ponder what he had been reading and the desire arose in him to do great things for God. And with mixed motives, just like the Postman, he set out dressed in the clothes of a pilgrim.

His journey led him to the town of Manresa, where his call became clearer. There, some people recognized his gifts and encouraged him. For them he was a 'godsend', in a way, a 'saviour'. Though not knowing what exactly he was to do, he set out again, a journey which led him eventually to found the Jesuits (a band of men with a new way of serving God). He had discovered his gifts of leadership.

The Postman is about each one of us, for we are all called to move away from isolation and towards community. The Call transforms our love of little self into a love of Big Self. This New Self is what St. Paul referred to when he said, 'It is not I that lives, but Christ lives in me.'

In this Year of Vocation, let us pray that we might not be deaf to the Call.

This article first appeared in The Messenger (December 2008), a publication of the Irish Jesuits.

Wednesday, October 12, 2011

Hasil Diskusi Terbatas Memperingati 50 thn Hirarki Episkopal Gereja Katolik Indonesia


Para Rama Ytks
 
Saya sharingkan hasil diskusi terbatas tgl 12 Oktober 2011 di KWI, memperingati 50 tahun hirarki episkopal Gereja Katolik Indonesia sejak dikeluarkan Konst Apostolik "Quod Christus Adorandus" tgl 3 Januari 1961 oleh Paus Johanes XXIII. Kiranya beberapa poin refleksi di bawah ini bermanfaat bagi kita para imam selaku pembantu Hirarki Gereja Katolik.

1. Makna anugerah dengan dikeluarkan Konst Apost Quod Christus Adorandus adalah ssuatu pengakuan Takhta suci akan kesanggupan Gereja Katolik di Indonesia sanggup mandiri sebagai Hirarki. Artinya Gereja Katolik mampu menjamin kelangsungan keberadaanya, mampu menjalin komunikasi sebagai komunio umat beriman, mampu menjalankan karya misi ke dalam dan ke luar, mampu berkembang menjadi Gereja pribumi, mampu menjadi Gereja yang tidak terpisahkan dari masyarakat bangsa Indonesia.

2. Dalam konteks ini setelah 50 tahun kita ingin merefleksikan, mengevaluasi keberadaan kita sebagai Gereja Katolik terlebih sebagai Hirarki. Kitab Suci dan dokumen Gereja selalu menekankan sifat pengabdian/pelayanan hirarki; memperdalam makna hirarki dan mengusahakan perilaku yang sesuai dengan tuntutan zaman (Mgr Hadisumarto O.Carm)

3. Ada beberapa pokok yang perlu mendapat perhatian kita sebagai imam:
    a. Gereja sebagai komunio umat beriman kristiani tertahbis maupun tidak terhabis (klerus, awam, religius) hendaknya saling bekerjasama, bersinergi saling mendengarkan dan meneguhkan dalam panggilan serta misi Gereja Katolik. Hal ini ditekankan agar tidak terjadi hal berikut ini: "kita baik awam maupun pastor paroki dan para religius sama sama kerja tetapi belum bekerja bersama-sama. Mungkin para rama paroki mendengar persoalan hidup umat dan masayarakat tetapi belum mendengarkan, tahu tetapi belum mengetahui...." (hasil penelitian pendekatan kualitatif menggunakan teknik in depth interview dan group interview, presentasi Francisia SSE Seda, Ph. D). Tidak semua paroki di dalam melaksanakan kehidupan mengGereja termasuk pelayan pastoral Paroki memiliki metode dan proses komunikasi setara. Kesibukan pastor akibat multitasking mengakibatkan pelayanan kepada umat tidak optimal. Maka proses sinergitas dan komunikasi menjadi hal penting dalam membangun Gereja Katolik sebagai persekutuan umat beriman.

    b. Gereja Katolik yang semakin mengindonesia perlu menunjukkan keberpihakan. "Kalau Gereja dekat dengan orang miskin siapa saja akan datang, kalau Gereja hanya dekat dengan orang kaya orang miskin tidak akan datang". Kemiskinan disoroti oleh narasumber Ibu Sri Palupi khususnya wilayah Papua dan NTT dimana mayoritas umat katolik berada di wilayah tersebut. Para pastor hendaknya melihat situasi dan kebutuhan umat yang nyata (real need) bagaimana caranya mengentaskan kemiskinan, bagaimana umat bisa sehat dan dapat memperoleh pendidikan secara baik dan bermutu. Pendidikan penting bagi masa depan Gereja Katolik khususnya di Papua dan NTT perlu tindakan yang serius. Maka Ibu Palupi menekankan pentingnya solidaritas, adanya sense of crisis, bela rasa terhadap yang menderita, miskin, marjinal. Sejak seminari perlu dibina aspek solidaritas, belarasa, kepedulian terhadap yang berkekurangan. Menumbuhkan harga diri bahwa kita bisa keluar dari kemiskinan dan kebodohan. Kita bangun komunitas yang sadar adanya duka dan penderiaan umat.

    c. Kepemimpinan dalam Gereja Katolik, perlu adanya saling mendengarkan, mendukung dalam pelayanan pastoral yang berkarakter. Integritas pelayan pastoral mendapat tekanan dalam membangun Gereja Katolik yang mengindonesia (Rm Madya SJ: berpatoral seluas realitas kehidupan dengan penuh integritas), kepemimpinan yang partisipatif melibatkan semua pihak dan terlebih pastoral adalah karya Allah. Untuk itu perlu ada keseimbangan, menjadi pemimpin yang inspiratif demi menjawab kerumitan dan kesimpangsiuran zaman ini (P. John Prior SVD).

    d. Ecclesia Semper Reformanda (Gereja yang selalu membarui diri sesuai dengan tuntutan zamannya), ada dorongan agar para imam dan hirarki terbuka untuk melibatkan awam yang profesional dalam menjawabi tantangan zaman agar kehadiran Gereja sungguh terasakan bagi umat dan masyarakat. Maka perlu kerjasama antara hirarki dan awam. tempat hirarki tidak lagi di atas awam melainkan sejajar, setara sesuai ajaran KV II dan KHK 1983 (Gereja sebagai umat Allah). Agar Gereja relevan dan signifikan perlu usaha terus menerus karya katekese, pembinaan iman secara serius-kontinyu sejak usia dini hingga lansia. Menjadi katolik yang seratus persen dan warga negara Indonesia yang seratus persen perlu diperjuangkan terus menerus maka dokumen ASG, Nota Pastoral KWI, SAGKI perlu ada implementasi yang sungguh nyata bagi umat, bukan sekedar dokumen yang secara intelektual bagus tapi tindak lanjut, sampai ke akar rumput (KBG, umat di Lingkungan) tidak ada. Peran hirarki, pastor sangat penting dalam hal ini (perlu perhatian bagi pembina calon imam). Maka mari kita mulai dari diri kita sendiri, saat ini dan di sini kita berpijak melangkah menuju harapan cerah Gereja Katolik makin mengindonesia agar kerajaan Allah di bumi pertiwi sungguh terasakan.
 
salam hangat
Kusumawanta

Monday, September 5, 2011

Merenungi Kematian

When you are sorrowful look again in your heart, and you shall see that in truth you are weeping for that which has been your delight ~ Kahlil Gibran
(in memoriam - MRT 04 September 2011)

Semua manusia mati. Sokrates manusia. Sokrates mati.
Itulah contoh dari guru logika untuk menjelaskan silogisme, yakni hukum penalaran yang menetapkan bahwa yang partikular selalu mengikuti yang universal.

Pernyataan ”semua manusia mati” merupakan premis pertama, sebagai kenyataan universal yang diandaikan atau diterima umum. Sifatnya pasti.
Pernyataan kedua, ”Sokrates manusia” merupakan premis tengah, sebagai kenyataan baru, yakni ada seseorang (manusia) bernama Sokrates.
Pernyataan ketiga, ”Sokrates mati” merupakan kesimpulan yang ditarik dari logika bahwa Sokrates sebagai bagian dari manusia juga mengalami kematian.

Semua dokter yang merawat orang sakit mengenal logika ini. Meski demikian, mereka berusaha agar kematian bisa dicegah atau ditunda sejauh mungkin, dengan cara apa pun.

Namun, yang lebih menarik dari logika kematian Sokrates adalah moral kematian Sokrates. Sokrates mati bukan karena sakit atau karena dibunuh penguasa, seperti terjadi pada diri orang-orang yang baik, yang memperjuangkan hak asasi, tetapi karena minum racun. Dia minum racun bukan karena ”bunuh diri”, sebagaimana dikenal dalam banyak kasus sosial, misalnya karena putus asa, stres, bosan hidup, atau takut menghadapi masa depan.

Menurut keputusan pengadilan yang terdiri dari para hakim yang iri pada pengaruhnya, Sokrates didakwa merusak anak-anak muda dan dijatuhi hukuman mati karena mengajarkan cara berpikir yang kritis.
Dengan tenang ia menenggak racun, sebagai cara eksekusinya, dan sadar pada kewajibannya untuk taat pada negara. Ia tidak minta grasi untuk memperpanjang hidupnya. Ia melarang sobat-sobatnya mengumpulkan uang untuk menyogok hakim guna pembebasannya. Sokrates menerima dan mencintai nasib (amor fati), dan kelak diwarisi kaum Stoa.


Mitos kematian
Dalam buku Necrocultura (Castelvecchi, 1998). Fabio Giovannini melukiskan sikap orang zaman ini berhadapan dengan kematian. Dari kebudayaan yang dikembangkan orang zaman sekarang, misalnya dalam lirik musik, fotografi, film, lukisan, atau upacara-upacara kematian dan penguburan, tampak bahwa orang tidak lagi takut pada kematian. Mereka tidak mau memitoskan kematian sebagaimana agama-agama di masa lalu, dengan upacara-upacara yang mengelabui, menghias si mati seolah mau bepergian sebentar, membayangkan janji mengenai kehidupan di akhirat dan sebagainya.

Sebaliknya, kini budaya kematian mau memasuki realitas apa adanya, dengan seluruh tragikanya, misalnya dengan memperlihatkan darah, badan membusuk, daging yang lemah, dan sebagainya.

Analisa Giovannini tampaknya berlaku untuk dunia Barat, dengan budaya pos-religius atau poskristianismenya. Necrocultura sepertinya menawarkan penyelesaian pragmatis, di mana kematian bisa dipesan di rumah sakit melalui eutanasi, atau dalam kasus kriminal melalui pembunuhan, ditangani secara bisnis dengan kemasan peti mati, kereta pengantar jenazah, upacara penguburan yang luks dan obituari di media. Tak ada yang perlu ditakutkan, semua berjalan lancar. Tidak ada setan atau roh gentayangan sebab dunia orang mati tidak terpisahkan dari dunia orang hidup. Tidak ada lagi batas misteri antara kematian dan kehidupan.

Lain lagi gambaran kematian dalam Village of the Watermills. Dalam salah satu bagian dari delapan episode film Dreams (1990) ini, sutradara Jepang—Akira Kurosawa—melukiskan mimpinya tentang sebuah desa Kincir Air yang masyarakatnya dekat dengan alam. Mereka tidak takut pada kematian, bahkan menyambutnya dengan gembira.
Seorang petualang yang datang ke sana bertanya kepada seorang kakek tua dan mendapat keterangan, ”yang penting bekerja keras, berusaha hidup panjang. Setelah itu disyukuri.” Lalu petualang itu menyaksikan penguburan seorang nenek yang meninggal pada usia 99 tahun.
Peristiwa itu dirayakan masyarakat dengan musik dan nyanyian. Anak-anak menari dengan gembira sambil menaburkan bunga di depan arak-arakan. Jauh berbeda dari upacara penguburan militer zaman ini, yang begitu serius dan berat. Namun, ada hubungan mendalam yang perlu dipikirkan saat kakek tua dari Village of the Watermills itu mengatakan, ”yang penting bekerja keras” dan ”hidup panjang” dengan kata-kata ”disyukuri”.

Disyukuri
Orang perlu merenung untuk bisa sampai pada pengertian kata ”disyukuri” (be thanked). Apanya yang disyukuri? Hidupnya atau matinya? Lebih-lebih karena ia menambahkan kata-kata, ”kami tak mempunyai kuil, atau imam.” Namun, upacara penguburan itu justru indah dan membahagiakan (a nice happy funeral).

Sama-sama menafikan agama, yang mungkin mereka anggap sebagai lembaga yang menabukan kematian, Akira Kurosawa dan Giovannini mempunyai pandangan berbeda. Sementara Giovannini melukiskan Necrocultura sebagai kenyataan masyarakat sekuler dewasa ini, dengan kebudayaan pragmatisnya dalam segala segi kehidupan, termasuk kematian, Akira Kurosawa melukiskan kematian dengan begitu akrab, sebagai bagian proses alam yang wajar.
Namun, lebih dari itu, kata ”disyukuri” dalam film Kurosawa mempunyai bobot penilaian yang tidak bisa ditawar. 

Secara moral, tampaknya tidak semua kematian bisa disyukuri. Ada orang yang diperpendek hidupnya dengan paksa melalui pembunuhan, sebaliknya ada orang yang mampu memperpanjang hidupnya karena kemajuan teknologi dan tawaran bisnis medis yang luar biasa.
Namun, keduanya membuat kematian dijauhkan dari proses alami yang wajar. Film Kurosawa seperti memberi inspirasi, agar orang mau bekerja keras bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk mengabdi. Sesudah itu, kematian menjadi akrab, bisa diterima dengan ceria dan disyukuri.

Dalam novel Yasunari Kawabata, The Old Capital (1962), ada episode yang menarik, yakni saat Hideo memberi alasan mengapa ia melukis bunga tulip dalam kimono yang dihadiahkan kepada Chieko, gadis pujaannya. ”Bunga tulip itu hidup,” katanya kepada Takichiro, ayah Chieko.
Bunga tulip hanya hidup sesaat tetapi memberi keindahan penuh. Dan hidup yang diwarnai cinta seperti tulip, tak perlu berlama-lama. Sesudah menyatakan diri, dengan rona keindahan dan aroma, bunga itu mengakhiri hidupnya. Perpanjangan hidup hanya akan menjadi waktu yang sia-sia.

sw-sept'2011

Sunday, August 14, 2011

Feast of the Assumption


Pope Benedict XVI wrote that "precisely because Mary is with God and in God, she is very close to each one of us. While she lived on this earth she could only be close to a few people. Being in God, who is actually 'within' all of us. Mary shares in this closeness of God. "Our Lady knows our hearts, can hear our prayers, can help us with her motherly kindness. She always listens to us and being Mother of the Son, participates in the power of the Son and in His goodness. We can always entrust the whole of our lives to this Mother.
"The Blessed Mother's birth into heaven generates in us "an ever new capacity to await God's future" (Blessed John Paul II).

Tuesday, August 9, 2011

Be A Cheerful Giver


10 Agustus adalah Pesta St. Lauresius, seorang Diakon yang gagah berani dan dekat dengan para miskin. Bacaan misa hari ini diambil dari 2 Kor 9:6-10: "…Each one should give what he has decided in his own mind, not grudgingly or because he is made to, FOR GOD LOVES A CHEERFUL GIVER. And there is no limit to the blessings which God can send you— he will make sure that you will always have you need for yourselves…" Kata-kata itu begitu kuat dan secara kebetulan saya mendapat kiriman tulisan dari Rm. Markus Marlon MSC tentang MEMBERI. Sesuatu yang mengingatkan saya dengan semangat BERBAGI  yang didengungkan akhir-akhir ini. Betapa indahnya "memberi dan berbagi." Berikut tulisan Rm. Marlon yang merupakan permenungannya untuk memperkaya kita semua.

charles dickens
Charles Dickens (1812 – 1870) novelis Inggris dalam Great Expectations,  menceriterakan Pip kecil yang memberi roti yang sedang kelaparan kepada tawanan, yaitu Magwitch  yang divonis hukuman mati. Namun dalam perjalanan hidup selanjutnya, Pip bertumbuh dewasa dan mendapatkan  bantuan dari  donatur yang tidak dikenal. Berkat dana yang jumlahnya tidak kecil itu, Pip akhirnya menjadi orang yang sukses dan hidup dalam level papan atas. Menjelang akhir hayatnya, Magwitch mengaku bahwa dialah orang yang  memberi dana kepada Pip, karena ketika dirinya susah, hanya Pip lah yang mau menolongnya, meskipun hanya memberikan sepotong roti saja. Pemberian – meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menunda sama dengan memberi dua kali. Bukan hanya yang menerima yang bahagia dengan pemberian itu, tetapi juga yang memberi juga mengalami kebahagiaan, karena bisa berbagi rezeki dengan yang lain. 




Mother Teresa with armless kid
Teresa dari Kalkuta (1910 – 1997)  adalah pribadi yang suka memberi. Sewaktu kecil, ia “belajar memberi”  dari ibunya yang bernama Dranafile yang dalam bahasa Albania berarti bunga mawar. Dwiyani Christy dalam Mother Teresa: Melayani Yang Termiskin  Dari Yang Miskin, melukiskan bahwa keluarga Bojaxhiu kerap mengundang orang-orang yang miskin, terlantar dan kekurangan. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi Teresa kecil untuk berkarya di kemudian hari. Mother Teresa pernah berkata, “Saya amat terharu dengan orang-orang miskin di Kalkuta. Ketika saya memberikan 1 kg beras kepada orang muslim, tidak lama kemudian orang itu pergi ke tetangganya dan memberikan 1Ž2 kg berasnya kepada orang Hindhu.” Pengalaman Mother Teresa ini tentu saja bisa membuat bibir kita berdecak kagum.

Kebanyakan orang enggan berbagi sesuatu kepada orang lain, karena kepemilikannya pun  akan berkurang. Tetapi lain dengan berbagi kebahagiaan, maka kebahagiaan itu akan berlipat ganda. Hati yang bahagia karena sedang mujur, sukses atau mendapatkan rezeki, perlu kita bagikan kepada orang lain. Setiap budaya mengenal yang namanya upacara syukuran. Bersyukur atas kebaikan Tuhan atas rezeki dan keselamatan keluarga. Pengalaman itulah yang dalam upacara Budaya Minahasa terkenal dengan pengucapan. Orang  mengadakan pengucapan karena telah diberi banyak berkat dari Tuhan dan dari sana pula berkat itu pun dibagi-bagikan. Yesus mengajar kita untuk berbagi berkat,

“Yesus menengadah  ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikanya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak” (Mat 14: 19). Kisah nabi Elia tentang si janda di Sarfat yang hanya memiliki segenggam tepung  untuk dirinya sendiri dan anaknya – karena musim kering. Pada awalnya, ketika si janda diminta untuk memberikan sebagian makanannya, tetapi ada keraguan dalam dirinya. Nabi Elia berkata, “Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi  hujan ke atas muka bumi” (1 Raj. 17: 14).

Cami Walker dalam Keajaiban Memberi menerangkan bahwa dengan memberi sesuatu kepada orang lain, ternyata akan memberikan pula kesehatan sang pemberi. Memberi serupa dengan tindakan positif yang akan berdampak pada energi kehidupan.  Orang China mengenal istilah  cincai. Orang yang mudah memberi itu  tidak terlalu perhitungan. Anehnya dan memang nyata,  orang-orang yang mudah memberi juga mudah mendapat. Dari sudut pandang Firman Tuhan ini disebut hukum tabur tuai.

“Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19: 29).



William James Sidis
Sebaliknya orang yang pelit dan terlalu banyak perhitungan baik dengan Tuhan maupun sesama, maka berkat juga sulit turun untuk orang-orang seperti ini.  William James Sidis adalah seorang genius Amerika.  Ia memiliki IQ tertinggi, melebihi Leonardo da Vinci (1454 – 1519) dan  John Suart Mill (1806 – 1873). Pada usia 16 tahun dia sudah menjadi guru besar. Tetapi dia memiliki kehidupan yang tragis. Pada usia muda ia meninggal dunia dan namanya hilang seturut berjalannya waktu. Daya intelektualnya yang tinggi tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.ia pelit mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya. Sebaliknya, para contributor pengetahuan kepada banyak orang akan menemukan hidup yang penuh (fully human, fully alive), karena hidup mereka berguna bagi banyak orang. Tetapi tidak jarang kita menemui orang yang  pelit dan “penuh perhitungan”. Segala sesuatunya diperhitungan dengan uang. Di sanalah muncul ungkapan, “mata duitan.” Orang tersebut diminta untuk melayat tetangganya, tetapi jawabnya adalah rugi waktu. Diminta untuk mengangkat barang temannya tetapi dia berkata, “rugi tenaga”. Di Gereja harus mengeluarkan uang untuk kolekte, dia berkata, “rugi uang.” Orang semacam ini memiliki mental miskin. Meskipun dari segi materi, dirinya kecukupan, namun tetap merasa kurang dan kurang. Lebih lagi, dia menerapkan prinsip, do ut des yang artinya memberi supaya mendapatkan atau memberi dengan pamrih. 


Jansen Sinamo


Jansen Sinamo dalam Korupsi  dan Keluhuran memberikan ilustrasi bahwa alam semesta itu memberikan kepada manusia sesuatu yang seimbang. Alam tidak pernah korupsi. Ekektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck (Kompas, 4 Juni 2011). Alam bekerja dengan prinsip “secukupnya”, tidak berlebihan dan tidak berkekurangan. Mahatma Gandhi ( 1869 – 1948), pernah mengatakan bahwa dunia ini memberikan rezeki yang berlebihan kepada semua umat manusia yang bersyukur, namun tidak cukup bagi satu orang yang serakah. Beberapa abad  sebelum Mahatma Gandhi lahir, Horatius (,,,,,) pernah berkata, “Semper avarus eget” yang artinya orang yang serakah  selalu menuntut. Alam semesta memberikan yang terbaik kepada umat manusia. Tetapi eksploitasi alam semesta pada akhirnya mencelakakan penghuni planet itu sendiri. Banjir dan  global warming  serta penggundulan hutan adalah beberapa kejadian dari keserakahan umat manusia. Pengalaman memberi memang sungguh indah. Belum lama ini saya berjalan-jalan di Pantai Kalasey dengan seorang tamu dari luar kota. Sore hari itu saya mengajak tamuku untuk melihat sunset. Ketika detik-detik, matahari akan kembali ke peraduannya, tamu itu berkata kepada saya, “Sahabat, terima kasih atas pemandangan indah yang engkau berikan kepada saya.” Saya malu, karena tidak memberikan sesuatu pun kepada tamuku itu, tetapi serentak menyetujui bahwa saya telah “memberi sesuatu”  kepada tamuku itu. 

Menjadi imam? Atau .... ?

Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai proses mental (kognitif proses) yang dihasilkan dari pemilihan suatu tindakan di antara beberapa alternatif skenario yang ada. Setiap proses pengambilan keputusan akan menghasilkan pilihan akhir. Output-nya dapat berupa suatu tindakan atau berupa pilihan lagi.


Kemampuan manusia untuk mengambil sebuah keputusan, akhir-akhir ini menjadi sebuah subyek penelitian dari berbagai macam pendekatan. Dari perspektif psikologi, keputusan yang diambil oleh seseorang terkait dengan adanya serangkaian kebutuhan, keinginan-keinginan serta nilai-nilai apa yang sebenarnya mereka cari. Dari perspektif kognitif, proses pengambilan keputusan harus dianggap sebagai proses berkelanjutan yang terintegrasi dengan adanya interaksi dengan lingkungan. Sementara dari perspektif normatif, analisis keputusan individual berkaitan dengan logika, rasionalitas pengambilan keputusan dan kemana arah yang ingin diambil dari keputusan tersebut.


Intinya, mengambil keputusan bukanlah hal yang mudah. Demikian juga halnya yang saat ini dialami oleh ke-13 orang seminaris. Mereka sedang duduk di kelas akhir dan harus membuat keputusan untuk masa depannya. Menjadi imam? Atau tidak menjadi imam?


Dua anak menyatakan pasti melanjutkan pendidikannya untuk menjadi imam. Sementara 11 orang lainnya ragu-ragu. Penyebab keragu-raguan ini bermacam-macam. Keraguan dari diri sendiri (hal yang sangat biasa terjadi) dan keragu-raguan karena sebab lain.


Dari hasil pembicaraan kami dengan mereka, ada yang menyatakan tidak mendapat dukungan dari orang tua, karena sebagai si sulung mereka diminta untuk bisa membantu membiayai adik-adik mereka ketika orang tuanya memasuki masa pensiun. Ada juga yang orang tuanya mengharapkan mereka menjadi imam, sementara mereka sendiri merasa tidak memiliki kemampuan untuk itu.


Kami harus menyatakan bahwa ke-13 anak ini adalah sekelompok anak-anak yang luarbiasa. Seperti Samuel yang kebingungan untuk memilih salah satu dari tujuh orang putra Isai, demikianlah beban berat yang kami rasakan saat ini. Masalah utama yang ada adalah, apapun keputusan yang diambil adalah merupakan kebebasan mutlak pada setiap anak untuk menjatuhkan pilihannya. Lanjut ke jenjang panggilan imamat berikutnya, ataukah berbelok mengambil jalan hidup yang lain?


Sebagai pembimbing mereka, kami hanya bisa berdoa dan terus memotivasi mereka; mengurangi berbagai macam keraguan yang ada dan memberikan cara pandang yang benar melalui berbagai macam perspektif supaya mereka terbantu untuk membuat keputusan dan tidak salah memilih jalan hidupnya.


Bagi kami sebagai pembimbing, adalah tugas kami untuk membantu melahirkan anak-anak rohani yang tangguh yang kelak diharapkan menjadi imam-imam masa depan.


Bawalah kami dan ke-13 anak-anak yang luar biasa ini dalam doa-doa Anda, sehingga mereka benar-benar tersentuh oleh tangan Tuhan untuk memenuhi panggilanNya menjadi imam-imamnya.


The Beautiful Hands of a Priest


We need them in life's early morning,
We need them again at its close;
We feel their warm clasp of true friendship,
We seek them when tasting life's woes.
At the altar each day we behold them,
And the hands of a king on his throne
Are not equal to them in their greatness;
Their dignity stands all alone;
And when we are tempted and wander,
To pathways of shame and of sin,
It's the hand of a priest that will absolve us--
Not once, but again and again.
And when we are taking life's partner,
Other hands may prepare us a feast,
But the hand that will bless and unite us--
Is the beautiful hand of a priest.
God bless them and keep them all holy,
For the Host which their fingers caress;
When can a poor sinner do better,
Than to ask Him to guide thee and bless?
When the hour of death comes upon us,
May our courage and strength be increased,
By seeing raised over us in blessing--
The beautiful hands of a priest.


Catatan – Jumat Pertama, 5 Agustus 2011

Monday, August 8, 2011

Melintasi Arus Kehidupan

Semingguan ini kita banyak berdialog tentang MASA DEPAN. Secara sadar kita menyiapkan sebuah masa depan. Masa depan itu kita angankan sebagai dunia yang lebih baik, lebih berkeadaban, masyarakat Tuhan (bonum commune, transformasi sosial, adil makmur). Maka kita mulai merancangnya dengan apa yang bisa kita lakukan dalam scope jangkauan kita yakni dalam pekerjaan, kehidupan sosial, terutama kehidupan keluarga kita. Masa depan “tanah terjanji” itu mungkin tak pernah akan kita masuki seperti nasib Musa, tapi bisa kita siapkan lewat anak-anak kita. Merekalah tangan-tangan kita untuk menjangkau masa depan itu. Para fighters and warriors yang kita siapkan untuk mewujudkan visi serta the promised land itu. 
Maka segala daya, tenaga, pikiran dan dana kita arahkan ke sana. We long to send them to the best schools and universities. Shortly, in our opinion, education is number one priority in other to equip them to pursue the future. Only through the best education we can shape the future.  But, education is one thing, what we are afraid of is to compete with so many waves of contemporary ideologies. The gigantic secular life with its conviction and belief that produce a Godless society. Berbagai macam paham dan keyakinan bukan lagi seputar agama-agama tetapi justru gaya hidup yang merebut pikiran dan hati anak-anak kita untuk gambaran ideal yang jauh dan bahkan bertentangan sekali dengan impian kita.
Kita mengamini yang dikatakan James Allen: “Dream! And if you can hold your dream in your heart, you can have it in your hand!" Kesempatan dan jalan akan terbuka serta dana akan datang sendirinya bagi orang yang meyakini impiannya. Karena itu kita tanamkan kepada anak-anak kita untuk terus berani bermimpi dan bercita-cita. Kami sendiri sedang sport jantung menghadapi ke-13 siswa kelas III SMA yang akan memutuskan pilihannya. Harapan kita lebih banyak yang melanjutkan menjadi imam. Seorang imam yang subur adalah imam yang melahirkan semakin banyak anak-anak rohani juga imam-imam masa depan. Kami tak ingin menjadi imam yang mandul seperti Nadab dan Abihu, kedua anak Harun yang akhirnya dibakar hangus oleh Tuhan (Im 10:1-2). Tapi masalahnya: tsunami dan badai paham-paham dunia yang menyesatkan begitu kuat membelit kita hari-hari ini. Kapitalisme yang rakus, materialism yang hedonis merampok habis segala kesenangan untuk hari ini, sekularisme yang menyingkirkan Tuhan dan hanya meyakini kekuatan diri adalah istilah lain dari egoisme dan ateisme modern. Paham itu hadir dan disebarkan bukan lewat para guru dan rahib mereka di ruang kelas, tapi lewat berbagai gaya hidup yang memikat tapi menjerumuskan. Kita tak bermaksud mengajar anak-anak untuk memusuhi dan menjauhi dunia, tapi justru untuk mengubahnya menjadi tempat yang penuh berkat serta tanda sacramental kehadiran Tuhan.
Mat 14:22-33 (Injil Minggu Biasa XIX/A)
Injil hari ini berkisah tentang Yesus yang berjalan di atas air. Apa arti "berjalan di atas air"? Dipakai kata yang harfiahnya berarti "berjalan mondar mandir", seperti sedang berjalan-jalan santai di taman. Juga ada makna serta "berinteraksi" dengan keadaan dengan tenang dan enak. Dahulu para guru Yahudi sering diceritakan mengajarkan prinsip-prinsip etika kepada para murid mereka sambil "berjalan-jalan", sering tidak dalam arti mondar mandir melangkahkan kaki, melainkan menelusuri pelbagai gagasan, teori, serta pemikiran leluhur dan para cerdik pandai. Begitulah asal usul pengajaran yang biasa dikenal sebagai "halakha", yakni penjelasan yang diturun-temurunkan mengenai hukum dan agama. Diajarkan bagaimana menelusuri perkara-perkara kehidupan dengan santai tapi waspada, tidak tegang dan terpancang pada satu hal saja. Seorang ahli dapat dengan enak meniti arus-arus pemikiran tanpa terhanyut.





Murid-murid melihat ada sosok yang menguasai gerakan-gerakan gelombang. Yesus tidak menggilasnya. Juga pada kesempatan lain ketika menghardik angin dan danau (Mat 8:26 Mrk 4:39 Luk 8:24), Ia cukup menyuruh mereka diam. Itulah tempat mereka yang sebenarnya di hadapan keilahian. Sekarang Yesus malah tidak memakai kata-kata. Ia leluasa berjalan di atas kekuatan-kekuatan itu. Kenyataan-kenyataan yang bisa mengacaukan tidak menggentarkannya. Malah mereka dijinakkan. Ini semua dilihat para murid. Namun mereka tidak serta-merta mengenali siapa Dia itu yang bertindak demikian. Sosok ini datang dari Yang Ilahi atau dari yang jahat? Begitulah cara mereka membeda-bedakan. Tak banyak menolong. Yesus menenangkan dan menyuruh mereka melihat baik-baik bahwa Dialah yang ada di situ. Tak perlu lagi risau akan kekuatan-kekuatan yang menakutkan yang sebenarnya semu dan justru akan benar-benar membahayakan bila dianggap sungguh. Yesus hendak mengajarkan kebijaksanaan yang dihayatinya sendiri. Di padang gurun ia berhasil melewati godaan Iblis dengan budi yang terang, bukan dengan balik menghantam. Pembaca yang jeli akan menghubungkan ketenanganNya itu dengan tindakanNya sebelum datang kepada murid-muridnya: Ia pergi menyendiri dan berdoa, meluruskan serta membangun hubungan dengan keilahian dalam ketenangan. Itulah sumber kebijaksanaanNya.


Ayub 9:8 menyebut Allah yang Mahakuasa "membentangkan langit", dan "berjalan melangkah di atas gelombang-gelombang laut", artinya menguasai kekuatan-kekuatan yang tak terperikan dahsyatnya. Tidak dengan meniadakannya, melainkan dengan mengendalikannya. Ia mengatur alam yang dahsyat itu dengan kebijaksanaaNya. Yesus menyelaraskan diri dengan Yang Mahakuasa yang demikian itu. Ia tetap mengarahkan diri kepadaNya. Dan menurut Matius, nanti pada akhir kisah ini, para murid mengakuinya, "Sesungguhnya Engkau itu Anak Allah." Mereka mulai paham bahwa Yesus membawa keilahian dalam dirinya.
To be the friend of Jesus
To provide the best education for our kids is A MUST. Tapi mengecilkan pengaruh gelombang paham-paham modern adalah sebuah kesembronoan yang berakibat fatal. Apakah ketakutan kita terhadapnya sesuatu yang perlu? Simak saja: Yesus sendiri berdoa bagi murid-muridNya. "Aku tidak meminta supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat" (Yoh 17:15). Yesus tahu bahwa para muridNya masih akan ada di dunia yang sarat dengan godaan yang menjerumuskan dan bakal menjauhkan kita dariNya. Kepada Petrus, Yesus bersabda: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu”  (Luk 22:31-32).  Dalam surat-suratnya Paulus banyak kali menyebutkan bahwa dia berdoa dengan sungguh-sungguh bagi umatnya, karena ada banyak ajaran dan paham yang menyesatkan. Maka tugas kita selain providing the best education, tak bioleh melupakan tugas utama yang lebih penting to bring them close to Jesus. Only with Jesus we can shape a better future, melintasi arus dan gelombang badai jaman. Hanya Dia yang bisa menaklukkan berbagai gelombang itu. Dia tidak mengajak kita untuk memusuhi dunia, tapi untuk menaklukkan dan mengendalikannya. 
Minggu 7 Agustus 2011 siang Mgr. Camilus dari Department of Evangelisation Vatican yang selama 16 tahun mengurusi wilayah Indonesia berkunjung ke Seminari Tuka. Beliau menekankan kepada para seminaris: "...our main goal is to be close to Jesus, and only then we can be friend of Jesus, and then we can live His life and mission. How to bring our kids to be closer to Jesus? We spend time with them, to teach them about Jesus, to help them to know Jesus through Bible and Sacraments, especially the Sacrament of Holy Eucharist, the meditation in front of the Blessed Sacrament!"
Jesus never promises about an easy way, but He does promise to be with us always! Be strong, courage! Man and woman of God!

Tuesday, August 2, 2011

Five Loaves and Two Fishes - United Nation calls for more funds to save lives across Horn of Africa

PBB menyerukan gerakan untuk mengumpulkan lebih banyak dana untuk mengatasi kelaparan di Semenanjung Afrika. Kelaparan yang terjadi begitu hebat dan mengenaskan, sementara di bagian lain bumi makanan begitu berlimpah.



Dalam artikel pada websitenya tertanggal 2 Agustus 2011, Unicef menyerukan untuk mengurangi biaya kargo ke Semenanjung Afrika. Biaya kargo untuk mengirimkan bahan pangan terkadang sama dengan harga bahan makanan yang dikirim, demikian Marixie Mercado - juru bicara Unicef menjelaskan dalam sebuah konferensi pers di Jenewa.


Bunda Teresa mengatakan kalau kita tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah makan satu orang dulu. Mungkin kita tidak perlu melihat jauh-jauh ke Semenanjung Afrika, jika melihat dengan seksama di sekeliling kita pun, kita bisa menemukan orang-orang yang memerlukan bantuan. Mungkin ada orang-orang di sekitar kita seperti cerita dalam klip berikut ini?






Ketika kita mensyukuri apa yang kita miliki, dan menyadari bahwa apa yang kita miliki adalah HADIAH dari Tuhan, meskipun kita mengusahakannya, maka semestinya kita tergerak untuk membagikan apa yang sebenarnya BUKAN benar-benar menjadi milik kita. Seperti halnya Yesus yang tergerak oleh rasa kasih untuk memberi makan 5.000 orang (Matius 14: 15 - 21


Perikop itu menjadi inspirasi bagi seorang Corrinne May untuk menggubah sebuah lagu indah dengan judul yang sama "Five Loaves and Two Fishes. 
Corrinne May, terlahir 19 Januari 1973 di Singapura, merupakan seorang penulis dan penyanyi yang berbakat, saat ini menetap di Los Angeles.


Belajar piano klasik sejak berusia 5 tahun, dan berlanjut hingga usianya yang ke 17. 
Dalam official websitenya (www.corrinnemay.com) ia mengakui sangat sulit untuk mempelajari musik klasik dan lebih memilih memainkan musik-musik popular daripada melatih tangga nada.
Lulus dari Berklee College of Music, ia mengambil jurusan songwriting dan film scoring.


Simaklah rekaman lagu indah Corrinne May berikut ini, dan resapi benar-benar syair lagunya. Mudah-mudahan kita semua tergerak untuk saling berbagi, meringankan beban sesama kita.

SEMOGA




Five Loaves And Two Fishes


A little boy of thirteen was on his way to school
He heard a crowd of people laughing and he went to take a look
Thousands were listening to the stories of one man
He spoke with such wisdom, even the kids could understand

The hours passed so quickly, the day turned to night
Everyone was hungry but there was no food in sight
The boy looked in his lunchbox at the little that he had
He wasn't sure what good it'd do, there were thousands to be fed

But he saw the twinkling eyes of Jesus
The kindness in His smile
And the boy cried out
With the trust of a child
he said:

"Take my five loaves and two fishes
Do with it as you will
I surrender
Take my fears and my inhibitions
All my burdens, my ambitions
You can use it all to feed them all"

I often think about that boy when I'm feeling small
And I worry that the work I do means nothing at all

But every single tear I cry is a diamond in His hands
And every door that slams in my face, I will offer up in prayer

So I'll give you every breath that I have
Oh Lord, you can work miracles
All that you need is my "Amen"

So take my five loaves and two fishes
Do with it as you will
I surrender
Take my fears and my inhibitions
All my burdens, my ambitions
You can use it all
I hope it's not too small

I trust in you
I trust in you

So take my five loaves and two fishes
Do with it as you will
I surrender
Take my fears and my inhibitions
All my burdens, my ambitions
You can use it all
No gift is too small

Thursday, July 28, 2011

Refleksi mengikuti pertemuan Seminaris Regio Jawa Bali

Satu hati,satu tekad,satu panggilan!

Tiga hari  berada di Seminari Mertoyudan untuk mengikuti temu seminaris, satu pengalaman tersendiri yang tak terlupakan, bisa bertukar cerita,pikiran,dan pengalaman dalam mencoba menjawabi panggilan Tuhan. Selain bisa mengenal banyak teman dari berbagai budaya, di sana saya belajar untuk mengenal ke “khas” an masing-masing seminari.

Dalam mencoba untuk menjawabi panggilan Tuhan tentunya kita tidak bisa berjalan sendiri tanpa sosok teman atau sahabat, banyak dari teman seminaris mengalami dilema, saya mengartikan dilema sebagai kesulitan atau keraguan dalam memilih jika dihadapkan pada sebuah pilihan. Memilih kemanakah atau apakah yang menjadi tindakan untuk menciptakan satu kebahagiaan. Setelah kita memilih tentunya kita dihadapkan lagi dengan satu konsekuensi dari sebuah pilihan untuk berani menanggung segala resiko atas pilihan hidup kita,namun kita lebih sering takut untuk menjalankan konsekuensi itu, bagi saya pribadi disinilah kehadiran seorang teman sangat di perlukan untuk saling menguatkan satu dengan yang lainnya,sahabat dalam panggilan sangatlah membantu dalam melewati masa padang gurun,masa yang paling membosankan, kering dan tidak bergairah lagi.

Yongki & Frater Eli
Kita tahu bahwa kita mempunyai rasa khawatir dalam diri kita,jika kita berbuat sesuatu, entah itu baik atau buruk. Memang seharusnya seperti itu,jika kita tidak memiliki tubuh, tentunya kita tidak akan bisa merasakan rasa khawatir. Kita bisa megatasi rasa khawatir itu dengan sharing, curhat atau dengan kegiatan lainnya karena dalam hidup,kita bersama teman kita dapat saling merancang hidup dengan baik agar dapat terus bertumbuh dan berkembang dalam satu panggilan mencapai imamat yang sejati.

Bagi saya pribadi jumpa seminaris adalah salah satu tempat dimana persaudaraan dan persahabatan mulai dibangun dan dibina dan menjadi  bibit kolegialitas bagi calon-alon imam masa depan.


Dan dengan demikian seminaris bisa saling mengenal, dan menjalin satu relasi dan komunikasi yang baik sampai menjadi imam.

by yongki

Tuesday, July 26, 2011

Bakti Ring Para Sulinggih - Kewajiban Budaya Dan Imani Bagi Seorang Bali Katolik

Kata ‘sulinggih’ sangat akrab di telinga kita. Sebuah kata yang merujuk pada seseorang yang sangat dihormati. Orang Bali yang beriman Hindu pasti sangat akrab dengan kata ini. Sedangkan orang Bali Katolik yang dengan tekun mengikuti Pangastawa Panyuksema Agung (Doa Syukur Agung) pasti juga sangat sering mendengar kata Sang Sulinggih Aji (sebutan untuk Bapa Paus). Lalu, apa sesungguhnya makna sulinggih itu?

Makna Tradisional
Kata sulinggih berasal dari dua kata yakni ‘su’ dan ‘linggih’. ‘Su’ berarti ‘utama’ sedangkan ‘linggih’ berarti ‘kedudukan’. Arti harafiahnya adalah ‘kedudukan yang baik’. Dalam konsep relijius di Bali, sulinggih bermakna sebagai ‘kedudukan yang terhormat yang sangat suci dan sangat istimewa yang diperoleh melalui suatu persyaratan sasana (kode etik) yang ketat dan telah diberkati melalui suatu upacara pediksan yang suci’. Jadi, sesungguhnya sulinggih adalah jabatan kehormatan untuk seseorang yang disebut sebagai imam. Lalu siapa para sulinggih itu?

Dalam bidang keagamaan, masyarakat Bali dibagi menjadi dua: yakni walaka dan sulinggih.
·       Walaka adalah umat secara umum, dari yang benar-benar polos sampai yang sudah mewinten (upacara sederhana yang memberikan hak kepada seseorang untuk bergerak aktif menek tuwun di sanggah pemerajan dalam membantu para pemangku atau pranda dalam upacara). Betatapun seseorang telah mendapatkan posisi yang hebat dan terhormat dalam masyarakat, seperti undagi atau dalang atau pemangku, mereka tetaplah seroang walaka biasa.
·       Sulinggih adalah orang-orang yang terhormat yang karena telah medwijati berhak memimpin suatu upacara yadnya yang suci. Misalnya pandita, wiku, sadaka, pedanda, dll. Mereka telah mediksa dan telah menerima biseka kawikon menurut tradisi wangsanya, misalnya Ida Pedanda, Begawan, Rshi, Bujangga, Sri Empu, atau Jero Dukuh.

Lalu bagaimanakah tata cara seseorang untuk bisa menjadi sulinggih? Banyak orang yang memiliki suatu pemahaman yang keliru mengenai hal ini. Selama ini banyak orang mengira bahwa hanyalah kaum Brahmana saja yang boleh menjadi sulinggih. Ternyata ini tidak benar sepenuhnya. Di Bali ada banyak ‘warga’ atau ‘wangsa’. Masing-masing warga punya aturan tersendiri. Kaum ‘Tri wangsa’ memang manganut bahwa hanya kaum Brahmana yang boleh mediksa (Kemenuh, Manuaba, Keniten, Mas, Antapan). Tetapi, warga Pasek Sanak Sapta Resi atau Dukuh atau Senggu memiliki aturan lain lagi. Tetapi terlepas dari masalah warga atau wangsa itu, kunci pokoknya adalah orang itu harus mendapatkan ijin dari lembaga yang berwenang, kemudian telah mendapatkan ilmu keagamaan dari seorang ‘nabe’ atau ‘guru nabe’ (harus seorang sulinggih yang di-tua-kan). Dan sebelum medwijati, yang bersangkutan telah melewati suatu masa uji yang ketat sehingga dianggap mampu menjalankan sasana yang berat sebagai ‘perpanjangan tangan Ida Sang Hyang Widi Wasa’.

Ordination - Rm. Subhaga, SVD

Dwijati
Di atas telah disebut istilah dwijati. Apa itu Dwijati? Dwi berarti ‘dua’, jati berarti ‘sungguh’, ‘benar’, ‘sejati’. Mari kita lihat maknanya. Sebelum mediksa, beliau tetaplah seorang walaka biasa, walaupun telah menjadi calon diksa (akan ditahbiskan). Setelah dianggap lulus dengan semua ilmu keagamaan yang diajarkan oleh guru nabe, beliau harus mempersiapkan diri untuk mediksa. Ada begitu banyak upacara dan upakara yang harus disiapkan dan dilakukan oleh seorang calon sulinggih. Dari semua itu, sang calon diksa juga harus melewati dua upacara penting berikut ini:

·       Upacara Amati Raga
Secara harafiah berarti ‘mati fisik’. Dalam upacara ini calon diksa harus melewati semua rangkaian upacara ‘kematian’ layaknya upacara untuk jenazah, kemudian beliau dikurung dalam suatu bilik tertutup selama tiga hari (ngekeb). Ini melambangkan keduniawian sang diksa ‘dimatikan’. Sejak ini beliau harus meninggalkan semua ciri-ciri kemanusiaannya dan tidak pernah boleh melakukan hubungan seksual lagi.
·       Upacara Amati Aran
Secara harafiah berarti ‘mati nama’. Setelah mediksa, seorang sulinggih harus mengganti nama walaka-nya dengan gelar biseka kawikon yang layak disandang oleh warganya atau wangsanya. Ini sebuah kehormatan besar yang tidak ternilai. Contoh biseka kawikon: Ida Pedanda Gede Simpangan, Jero Dukuh Peguyangan, Sri Empu Pandia, dan lain sebagainya.

Setelah melewati kedua upacara penting di atas ini (amati raga dan amati aran), sang diksa telah dianggap me‘dwi-jati’ yang artinya ‘memiliki dua kejatian diri’ atau ‘mengalami kelahiran dua kali’. Pertama, dia memang sungguh telah lahir sebagai manusia biasa dengan nama walaka biasa. Kedua, setelah amati raga dan amati aran, beliau menerima biseka kawikon, berarti beliau telah lahir kembali dengan jabatan sangat terhormat sebagai manusia baru yang telah disucikan. Sejak itu beliau telah menjadi sulinggih.

Dalam rangkaian upacara pediksan itu, ada suatu upacara yang sangat mengharukan ketika sang calon diksa menunjukkan kesetiaannya kepada guru nabe yang telah membimbingnya sampai lulus. Di situ sang calon sulinggih membersihkan kaki sang guru nabe dan menciuminya. Nampak sekali adanya rasa bakti yang dalam dari seorang murid kepada gurunya; sebaliknya nampak suasana penuh kasih dari guru kepada muridnya.

Tugas Sulinggih
Tugas utama sulinggih adalah ‘muput’ upacara yadnya. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berhak membuat ‘tirta pamuput’ - air suci yang sangat penting dalam menyempurnakan dan menutup (muput) suatu upakara. Di sinilah letak tugas suci utama yang beliau terima dari Hyang Pramakawi.

Selain bertugas memimpin upacara agama, beliau juga punya kuasa mengajar. Oleh karena itu Griya (rumah tinggal sulinggih) selalu menjadi tempat bertanya. Umat sisia selalu datang ‘nangkil ka Griya’ untuk menanyakan hari baik untuk mengerjakan suatu upacara; atau bisa juga menanyakan ‘unggah-ungguh’ suatu upacara. Jadi, seorang sulinggih, selain ahli agama, pastilah seorang ahli pawukon (ilmu perhitungan hari baik atau buruk). Namun, walaupun memiliki kuasa mengajar agama, seorang sulinggih tidak mengajarkan agama dalam upacara yadnya karena dalam tradisi Hindu darta wacana (homili) tidak menjadi bagian dari upacara agama. Karena posisinya yang suci, seorang sulinggih pun tidak mengajar sekolah umum karena guru di sekolah umum adalah pekerjaan kaum walaka.

Kasih Sulinggih Dan Bakti Sisia
Setelah menjadi sulinggih, beliau harus bersikap sebagai orang tua yang mengayomi semua sisianya. Sebagai bukti kesuciannya, seorang sulinggih pasti relijius, lemah lembut, tidak gampang marah, tidak berkata ceplas-ceplos, tidak lagi duduk-duduk di tempat yang tidak layak, tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang biasa dilakukan oleh walaka, dan lainnya. Bahkan beliau bersikap begitu terhadap semua orang kendatipun bukan sisia ataupun umat dari agama lain bahkan terhadap segala mahluk hidup.  Karena kesucian posisinya, seorang sulinggih selalu memanggil ‘cening’ (anak) kepada segenap umatnya. Sebuah sapaan yang penuh dengan rasa kasih sayang. Sebaliknya seorang sulinggih pria akan menyebut dirinya ‘bapa’ (bapak) dan seorang sulinggih wanita (atau istri sulinggih) akan menyebut diri beliau sebagai ‘meme’ (ibu) ketika berbicara dengan umatnya. Sebuah kerendahan hati yang sangat dalam. Walaupun beliau begitu rendah hati, sebaliknya semua warga sisia tidak boleh memanggil beliau dengan sebutan ‘bapa’ atau ‘meme’, namun selalu dengan bahasa yang paling terhormat misalnya ‘Ratu Pranda’, ‘Jero Dukuh’, atau ‘Ratu Sri Empu’, dan lainnya. Ini sebuah bentuk sikap bakti yang sangat mendalam dan sama sekali bukan sikap feodal. 

Mengikuti konsep Tri Rna, setiap manusia pada hakikatnya berhutang rohani pada tiga pihak, salah satunya adalah utang rohani pada para imam sulinggih (disebut Rsi Rna). Utang ini terjadi karena tugas pelayanan pada manusia di bidang kerohanian yang beliau emban yang tidak bisa digantikan oleh manusia biasa. Tentu utang ini tidak bisa dihitung dengan uang! Inilah yang menjadi dasar penting mengapa umat wajib berbakti pada beliau. Perwujudan bakti itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, kita menggunakan bahasa Bali yang paling sempurna; tidak pernah membelakangi sulinggih, kemudian ketika menjemput seorang pranda digunakan istilah ‘mendak Pranda’; membawa alat-alat persembahyangan yang menjadi perlengkapan beliau pun dilakukan di atas bahu atau kepala; atau ketika menyajikan makanan (setelah upacara) digunakan ‘dulang sukla’ yang khusus. Apa pun yang dikatakan seorang sulinggih diyakini sebagai bagian dari pawisik Ida Sang Hyang Pramakawi. Jadi, pendek kata di mata orang Bali, sulinggih itu sangatlah terhormat dan dibaktikan di pabahan.

Hak Sosial Sulinggih
Melihat begitu mulianya status sosial beliau, lalu apa hak-hak sosial seorang sulinggih di masyarakat? Pertama, seseorang yang telah mediksa berhak luput atau bebas dari segala ayah-ayahan di banjar atau desa. Kedua, di semua tempat yang memerlukan penyebutan nama, beliau hanya boleh dipanggil dengan biseka kawikonnya saja. Nama walaka telah hilang. Ketiga, konon sesungguhnya seorang yang telah mediksa itu kebal hukum alias tidak boleh diperiksa aparat kepolisian! Apabila ada suatu sangkaan atau dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan kriminal, maka yang berhak melakukan investigasi hanyalah guru nabenya. Jika ditemukan bahwa memang yang bersangkutan bersalah, maka dia harus melepaskan kawikuannya dan kembali menjadi walaka biasa dengan segala resikonya (termasuk dipidana). Biasanya seorang sulinggih yang dianggap telah mengkhianati sesananya (entah karena berbuat kriminal, berzinah, lupa akan darma dan tatwa, dll), beliau tidak dicaci maki oleh umat tetapi akan ditinggalkan diam-diam oleh umatnya sehingga dia akan menjadi ‘sulinggih tan pasisia’ (sulinggih yang tidak punya umat).

Nyumuka
Bolehkah seorang walaka biasa mengerjakan pekerjaan sulinggih? Sama sekali tidak! Jika ada walaka yang berani melakukan hal itu, maka dia dianggap telah melakukan perbuatan ‘nyumuka’ yakni tindakan pidana keagamaan dengan sengaja melakukan tugas suci sulinggih secara tidak berhak. Sebagai contoh: tanpa hak menggunakan biseka kawikon, tanpa hak memakai wesa sulinggih, tanpa hak berani ‘muput’ karya, dan lainnya. Apa hukumannya? Konon, sekali lagi konon, pada jaman kerajaan Hindu dulu, seorang pelaku nyumuka diancam dengan hukuman ‘kalebok ring segara’ (mati dengan cara dibenamkan ke laut)! Mengapa begitu keras? Karena tindakan nyumuka dianggap ‘ngawe teraking bhuwana’ yakni membuat dunia ini ‘terak sayah’ (ditimpa malapetaka). 

Para Imam yang Berkarya di Bali

INKULTURATIF KATOLIK
Suka atau tidak, kebiasaan bakti pada sulinggih ini tentu kita warisi dari para leluhur kita dan mengalir deras dalam nadi kita. Sebagai bakti kita pada para leluhur kita, maka kebiasaan yang mulia ini wajib kita pertahankan, tentu dalam perspektif iman yang baru. Di desa Buduk ada banyak Geria. Umat Katolik Buduk sampai kinipun tetap menunjukkan sikap hormat bakti kepada para sulinggih yang ada di sana. Bukankah para sulinggih itu cerminan kasih Tuhan bagi semua umat manusia? Ini tentu contoh sikap kesaksian iman yang sangat mulia. Tetapi, setelah kita menjadi Katolik, nilai-nilai apa sajakah yang bisa kita pertahankan? Setelah kita pelajari, paling tidak ada tujuh pemikiran yang perlu kita berikan perhatian, yakni:    

1. Asal Sulinggih
Karena agama Katolik itu mendunia, menembus batas wilayah ruang dan waktu, maka imam Katolik itu pun berasal dari mana saja, tidak peduli dari golongan, suku atau bangsa mana pun. Tuhan yang memanggil dan memilih mereka. Maka, semua harus kita hormati sebagai sulinggih dan kita baktikan di pabahan kita. Sebagai contoh adalah kisah berikut ini. Suatu kali Bapak I Gusti Ngurah Rai Suneca, seorang tokoh Hindu dari Banjar Pendem, Dalung, dalam suatu kesempatan memberikan sambutan, beliau menyebut ‘Ida Romo Rai Sudhiarsa’ kepada Romo Dr. Ray Sudhiarsa, SVD. Betapapun beliau tahu bahwa Romo Rai lahir dari keluarga sudra wangsa, beliau tetap dengan rendah hati menambahkan kata ‘Ida’ di depan nama Romo Rai. Tentu ini sebuah sikap penghormatan yang paling tinggi padahal Bapak Rai Suneca sendiri beriman Hindu dan berasal dari keluarga ksatria wangsa. Kita pun harus bisa seperti itu yakni menghormati sulinggih kita dengan benar. Kuncinya adalah kita harus percaya bahwa ‘imam itu terhormat karena telah dipanggil, dipilih dan dikuduskan oleh Tuhan sendiri’.

2. Konsep Amati Raga
Gereja tidak akan mungkin melaksanakan Misa Requiem bagi calon imamnya sebelum beliau ditahbiskan! Mengikuti teladan Sang Guru, imam Katolik secara nyata dan bersungguh-sungguh justru melakukan amati raga dengan melakukan ‘pengingkaran diri’ berikut ini sepanjang hidupnya:
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan tidak berkeluarga tetapi mempersembahkan hidupnya untuk orang lain demi Kabar Gembira Kristus (Mrk 10:29-30). Imam Katolik bukan sekedar menjadi brahmacarya tetapi bahkan melaksanakan kaul ‘sukla brahmacarya’ - tidak berkeluarga dan suci murni dari hal-hal badani sejak masa mudanya (Mat 19:12, 1Kor 6:20, 1Tes 5:23).
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan secara total memenuhi hidupnya dengan doa puja pangastawa sehingga mampu lepas dari keduniawian dan kemudian hidup suci hati dan suci dalam tingkah laku (1Ptr 1:15, 1Ptr 2:5, Rm 12:1).
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan ‘mati’ atau ‘miskin’ dari hal-hal barang duniawi. Mati atau miskin di sini lebih bermakna sebagai ‘tidak membiarkan diri tergantung’ pada barang-barang duniawi karena kita semua tidak bisa melakukan apa pun tanpa dukungan materi yang cukup (Mat 10:9-10, Luk 10:4.8, Mrk 10:21, Gal 5:24).
·       Imam Katolik pasti ‘pradnyan’ karena haus akan ilmu pengetahuan dan karena itu mereka harus melewati masa pendidikan yang sangat panjang (Mzm 119:66, Ams 2:6, Ams 12:1, Ams 15:2.7.14, Kol 2:3).
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan selalu taat kepada Uskup selaku penerus pemegang amanat para rasul dan juga kepada atasannya (ordo tempatnya bernaung), tanpa pernah memperhitungkan kepentingan pribadinya sendiri (Luk 4:43, 1Ptr 1:2, Luk 10:3, Mat 16:18, Mrk 1:38, 2Kor 4:11). Imam yang tidak taat pada titah Uskup secara otomatis telah mengeluarkan dirinya sendiri dari sistem dan struktur kegembalaan Gereja Katolik.

Semua hal di atas inilah yang menjadi sasana bagi para imam kita. Itu pasti sangat berat dan sulit dilakukan oleh kemampuan manusiawi kita. Namun di hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa tidak ada hal yang tidak mungkin (Mrk 10:27).

3. Konsep Amati Aran
Dalam tradisi Katolik, seorang Paus pasti mendapatkan panugrahan ini. Misalnya ‘Petrus’, Paus yang pertama, adalah biseka kawikon yang langsung dianugerahkan oleh Ida Hyang Yesus kepada Simon anak Yohanes (Yoh 1:42, Mat 16:18). Lalu ‘Yohanes Paulus II’ adalah biseka kawikon yang dipilih oleh Karol Wojtyla. Dan sekarang  ‘Benediktus XVI’ adalah biseka kawikon yang dipilih oleh Kardinal Joseph Ratzinger. Baik ‘Simon’, ‘Karol Wojtyla’ ataupun ‘Joseph Ratzinger’ meninggalkan nama aslinya ini (amati aran atas nama asli itu) tetapi kemudian memakai biseka kawikon itu sampai akhir hayat beliau.

Tetapi kalau diamati, dalam perkembangan sejarah penginjilan di Bali, ada dua imam yang menerima nama baru setelah ditahbiskan. Beliau adalah Romo Servatius Subhaga SVD yang bernama asli I Nyoman Rongsong dan Romo Pancratius Mariatma SVD yang bernama asli I Made Pagi. Suatu kali dalam suatu percakapan dengan saya di depan Pastoran Tuka, Romo Subhaga SVD mengatakan bahwa nama beliau dan nama Romo Mariatma SVD itu diberikan oleh Alm. Ida Cokorda Oka Sudharsana. Dalam hati saya bertanya, bukankah ini sikap inkulturatif yang sangat kuat yang ditunjukkan oleh Ida Cokorda? Sebagai seorang keturunan raja Ubud, beliau tahu betul bahwa karena I Nyoman Rongsong dan I Made Pagi telah menerima panugran pediksan maka keduanya sangat layak untuk mendapatkan suatu biseka kawikon. Tentu ini sebuah keputusan budaya yang sangat tepat dan sempurna.

‘Subhaga’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “dia yang terberkati” atau “dia yang sangat beruntung”. Di Bali juga ada suatu ungkapan “subhaga wirya siniwi” yang bermakna ‘yang termasyur karena berani’. Dan memang benar, bahwa I Nyoman Rongsong adalah putra Bali pertama yang sangat beruntung karena berani untuk ‘diubah’ oleh Kristus dan kemudian boleh menerima panugran pediksan Katolik yang sangat mulia itu. Luar biasa bukan? Kemudian, setelah mengumpulkan beraneka informasi, saya menyimpulkan tiga makna untuk kata ‘Mariatma’ yakni: Maria Atma, Marya Atma atau Ma(r)i Atma. Bapak I Gusti Putu Oka dan Bapak Ketut Karepek mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Maria Atma adalah ‘dia yang berjiwa Maria’. Lalu kata Marya berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘purity’ atau ‘bright whiteness’. Jadi Marya Atma bermakna ‘jiwa yang putih murni atau suci’. Kemudian Ma(r)i Atma atau Mai Atma berarti ‘datanglah wahai jiwa’. Inilah makna Kristus yang haus akan jiwa-jiwa yang bertobat. Di salib Yesus bersabda, “Aku haus.” (Yoh 19:28). Juga Dia pernah berkata kepada wanita Samaria, “Berilah aku minum.” (Yoh 4:7). Bukankah salah satu tugas suci para imam adalah menghantarkan jiwa menuju pertobatan? Jadi, ketiga makna ‘mariatma’ ini bermakna sangat tinggi.

Nama besar ‘Subhaga’ maupun ‘Mariatma’ adalah dua biseka kawikon yang luar biasa yang menjadi kebanggaan kita semua. Namun, sangat disayangkan tradisi biseka kawikon yang dirintis oleh Almarhum Ida Cokorda Oka Sudharsana tidak dilanjutkan untuk imam-imam yang selanjutnya.

4. Imam adalah Guru
Sebagai orang Bali, kita punya konsep catur guru; salah satunya adalah Guru Swadyaya. Tuhan adalah Sang Maha Guru (Ayub 36:22). Kristus sebagai Putra Allah adalah Sang Guru (Luk 9:33. Luk 17:13, Yoh 13:13.14, dll). Maka sebagai ‘alter Christus’, imam tentulah guru dan umatnya adalah muridnya. Guru selalu menjadi teladan. Imam melakukan pengingkaran diri dengan menjadi teladan bagi umatnya (Mrk 1:17, Yoh 12:46, 1Kor 11:1). Sedangkan umat punya kewajiban imani untuk mendengarkan dan mengikuti imamnya. Ini tentu saja tugas yang sangat berat, jauh lebih berat dari jabatan sebagai guru biasa. Di Bali, biasanya sulinggih yang hidupnya sudah tidak karu-karuan alias tidak bisa digugu dan ditiru lagi, diam-diam akan ditinggalkan oleh umatnya, sehingga dia menjadi sulinggih tan pasisia. Sebagai manusia, umat Katolik pun bisa saja meninggalkan imamnya yang hidupnya sudah lepas dari rel-rel yang telah dijanjikannya sendiri ketika menerima sakramen Imamat dari Tuhan. Sekali lagi, imam sebagai guru adalah contoh dan suri teladan bagi umatnya!

5. Imamat Yang Suci
Karena Imamatnya yang suci, hidup pribadi seorang imam menyatu dengan sakramen. Beliau bukan petugas pemberi sakramen, tetapi beliau adalah bagian tidak tergantikan dari sakramen itu sendiri. Imamatnya yang kudus menyatu dan melebur dengan pribadi imam itu. Karena kemuliaan dan kesucian imamat yang diemban para imam itu, oleh kuasa Roh Kudus dan sabda Kristus yang diucapkannya, maka roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dan melalui sakramen tobat, imam juga karena imamatnya yang kudus, punya kuasa untuk melepaskan seseorang dari jerat dosa (Mat 18:18, Mat 16:19). Tugas ini  sangat mulia dan tak tergantikan. Nilai ini tentu tidak ada dalam paham tradisional.

Romo Shadeg & Para Frater

6. Posisi Sosial Masyarakat
Dalam tradisi kita, karena kemuliaannya itu, semua imam kita luput dari ayah-ayahan di banjar atau pemaksan. Tetapi ada suatu pergeseran yang kuat dalam cara memanggil imam kita. Kita memanggil mereka dengan sebutan “Romo”. Ada nuansa keakraban yang sangat kuat, sikap sangat rendah hati dan sikap memposisikan diri sebagai ‘bapak’ yang penuh cinta kepada setiap umatnya. Untuk itu umat harus menghormati beliau sebagai ‘yang terhormat’; dan jangan pernah memperlakukan beliau sebagai kawan biasa. Janganlah beliau dengan enteng dipanggil, “Hai, Mo, …pagi…”  

7. Konsep Nyumuka dan Rsi Rna
Walaupun gereja tidak pernah mengungkapkan bahwa umat memiliki utang rohani pada imam, tetapi sesungguhnya konsep ‘nyumuka’ ini sangat kuat dalam kehidupan menggereja kita. Buktinya? Gereja Katolik sangat mengharapkan partisipasi awam dalam kegiatan menggereja; akan tetapi Gereja juga dengan tegas telah memberikan panduan mengenai wewenang bagi awam yang memiliki kehendak baik untuk mengabdikan hidupnya bagi gereja. Intinya, betapapun awam memiliki keinginan yang mulia, awam tidak boleh mengambil tugas para imam. Hanya imam karena imamatnya yang mulia yang berhak dan boleh memberikan pelayanan sakramen. Contoh sederhana: dalam Ekaristi kita bisa melihat dengan tegas hal-hal yang hanya boleh diucapkan, didaraskan dan dilakukan oleh Imam. Kesimpulannya umat tidak boleh ‘nyumuka’! Oleh karena itu, sebagai orang Bali, ada suatu konsekuensi budaya yang patut kita akui bahwa ada suatu ‘utang’ rohani yang tak terhitung nilainya yang dimiliki oleh umat pada para imamnya (Rsi Rna).  

Tugas Umat
Dari pemaparan di atas, jelas kita bisa melihat betapa mulianya seorang imam Katolik. Dalam diri imam itulah hadir kurnia imamat ilahi yang sangat mulia. Kurnia imamat tak terpisahkan dari imam yang menerimanya karena imamat itu kekal hadir dan melebur dalam diri seorang yang telah ditahbiskan. Mengingat mulianya kurnia ini, maka Alm. Ida Cokorda Oka Sudharsana, juga Alm. Pan Paulus dari Batulumbung, selalu menyebut Uskup dengan sebutan Ratu Pedanda. Dalam beberapa kesempatan pribadi, saya pun menggunakan istilah Ratu Peranda kepada Yang Mulia Mgr. Sylvester San Pr. Ungkapan Ida Pedanda juga sering dipakai oleh Pak Alex Nyoman Gunarsa ketika menyebut nama almarhum Romo N. Shadeg SVD. Semua ini membuktikan tingginya kemuliaan imamat di mata orang Bali.

Tugas keimamatan sangatlah sulit dan penuh dengan tantangan. Oleh karena pentingnya posisi imam dalam mendekatkan umat pada Kristus, maka setan punya kepentingan besar untuk menjatuhkan seorang imam. Dan setan tidak akan pernah berhenti tetapi akan terus menyerang dengan menggunakan segala macam jebakan: dari materi yang paling indah, dari bibir yang manis, dari yang lemah gemulai, sampai metode jebakan yang paling kasar sekalipun. Imam harus selalu siap menghadapi ini semua dengan waspada. Umat pun harus waspada akan hal ini dan siap membela imam dari godaan setan seperti ini.

Para imam kita telah mengurbankan hidup mereka bagi Tuhan dan tentu bagi kita. Untuk itu umat Katolik wajib mencintai dan menghormati imamnya. Kita adalah sisia yang menjadi domba gembalaan mereka, maka kita wajib mendukung beliau dengan menjaga kehormatan beliau dan bukan malah menggerogotinya! Mencintai imam sama sekali tidak berarti harus mati-matian ‘mengikat’ beliau untuk tinggal di satu paroki atau siap adu otot untuk mempertahankan beliau di situ. Justru umat harus mendukung seorang imam untuk menjadi semakin besar. Kalau beliau memang sudah harus pindah tugas, maka umat harus mendukung beliau untuk tunduk pada titah Uskup dan bukan justru mengompori beliau untuk melawan titah tugas itu. Kita harus mencintai beliau untuk semakin mencintai imamat yang telah beliau terima.

Semoga kita semua mempertahankan tradisi bakti pada imam ini sebagai bagian dari semangat untuk meningkatkan kualitas iman keKatolikan kita kepada Kristus. Sangatlah indah kalau ini menjadi ciri keBalian orang Bali Katolik. Pada akhirnya, akan lebih hebat lagi seandainya semua umat bisa meniru kehidupan suci para imam kita seperti dipaparkan di atas. Jika ya, maka tentu saja kehidupan menggereja akan sangat luar biasa. Semua imam akan sangat berbahagia karena tugas mulia beliau untuk mengemban umat menuju Sang Gembala Agung Kristus telah tercapai sempurna.

Saya menulis ini sebagai perwujudan bakti, hormat dan cinta saya kepada para imam kita yang telah mengurbankan hidup mereka bagi kita semua.

Semoga bermanfaat.


I Gusti Ngurah Bagus Kumara
(Sumber: Majalah Bulanan Keuskupan Denpasar "AGAPE" edisi Mei-Juni 2011)