We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Thursday, July 28, 2011

Refleksi mengikuti pertemuan Seminaris Regio Jawa Bali

Satu hati,satu tekad,satu panggilan!

Tiga hari  berada di Seminari Mertoyudan untuk mengikuti temu seminaris, satu pengalaman tersendiri yang tak terlupakan, bisa bertukar cerita,pikiran,dan pengalaman dalam mencoba menjawabi panggilan Tuhan. Selain bisa mengenal banyak teman dari berbagai budaya, di sana saya belajar untuk mengenal ke “khas” an masing-masing seminari.

Dalam mencoba untuk menjawabi panggilan Tuhan tentunya kita tidak bisa berjalan sendiri tanpa sosok teman atau sahabat, banyak dari teman seminaris mengalami dilema, saya mengartikan dilema sebagai kesulitan atau keraguan dalam memilih jika dihadapkan pada sebuah pilihan. Memilih kemanakah atau apakah yang menjadi tindakan untuk menciptakan satu kebahagiaan. Setelah kita memilih tentunya kita dihadapkan lagi dengan satu konsekuensi dari sebuah pilihan untuk berani menanggung segala resiko atas pilihan hidup kita,namun kita lebih sering takut untuk menjalankan konsekuensi itu, bagi saya pribadi disinilah kehadiran seorang teman sangat di perlukan untuk saling menguatkan satu dengan yang lainnya,sahabat dalam panggilan sangatlah membantu dalam melewati masa padang gurun,masa yang paling membosankan, kering dan tidak bergairah lagi.

Yongki & Frater Eli
Kita tahu bahwa kita mempunyai rasa khawatir dalam diri kita,jika kita berbuat sesuatu, entah itu baik atau buruk. Memang seharusnya seperti itu,jika kita tidak memiliki tubuh, tentunya kita tidak akan bisa merasakan rasa khawatir. Kita bisa megatasi rasa khawatir itu dengan sharing, curhat atau dengan kegiatan lainnya karena dalam hidup,kita bersama teman kita dapat saling merancang hidup dengan baik agar dapat terus bertumbuh dan berkembang dalam satu panggilan mencapai imamat yang sejati.

Bagi saya pribadi jumpa seminaris adalah salah satu tempat dimana persaudaraan dan persahabatan mulai dibangun dan dibina dan menjadi  bibit kolegialitas bagi calon-alon imam masa depan.


Dan dengan demikian seminaris bisa saling mengenal, dan menjalin satu relasi dan komunikasi yang baik sampai menjadi imam.

by yongki

Tuesday, July 26, 2011

Bakti Ring Para Sulinggih - Kewajiban Budaya Dan Imani Bagi Seorang Bali Katolik

Kata ‘sulinggih’ sangat akrab di telinga kita. Sebuah kata yang merujuk pada seseorang yang sangat dihormati. Orang Bali yang beriman Hindu pasti sangat akrab dengan kata ini. Sedangkan orang Bali Katolik yang dengan tekun mengikuti Pangastawa Panyuksema Agung (Doa Syukur Agung) pasti juga sangat sering mendengar kata Sang Sulinggih Aji (sebutan untuk Bapa Paus). Lalu, apa sesungguhnya makna sulinggih itu?

Makna Tradisional
Kata sulinggih berasal dari dua kata yakni ‘su’ dan ‘linggih’. ‘Su’ berarti ‘utama’ sedangkan ‘linggih’ berarti ‘kedudukan’. Arti harafiahnya adalah ‘kedudukan yang baik’. Dalam konsep relijius di Bali, sulinggih bermakna sebagai ‘kedudukan yang terhormat yang sangat suci dan sangat istimewa yang diperoleh melalui suatu persyaratan sasana (kode etik) yang ketat dan telah diberkati melalui suatu upacara pediksan yang suci’. Jadi, sesungguhnya sulinggih adalah jabatan kehormatan untuk seseorang yang disebut sebagai imam. Lalu siapa para sulinggih itu?

Dalam bidang keagamaan, masyarakat Bali dibagi menjadi dua: yakni walaka dan sulinggih.
·       Walaka adalah umat secara umum, dari yang benar-benar polos sampai yang sudah mewinten (upacara sederhana yang memberikan hak kepada seseorang untuk bergerak aktif menek tuwun di sanggah pemerajan dalam membantu para pemangku atau pranda dalam upacara). Betatapun seseorang telah mendapatkan posisi yang hebat dan terhormat dalam masyarakat, seperti undagi atau dalang atau pemangku, mereka tetaplah seroang walaka biasa.
·       Sulinggih adalah orang-orang yang terhormat yang karena telah medwijati berhak memimpin suatu upacara yadnya yang suci. Misalnya pandita, wiku, sadaka, pedanda, dll. Mereka telah mediksa dan telah menerima biseka kawikon menurut tradisi wangsanya, misalnya Ida Pedanda, Begawan, Rshi, Bujangga, Sri Empu, atau Jero Dukuh.

Lalu bagaimanakah tata cara seseorang untuk bisa menjadi sulinggih? Banyak orang yang memiliki suatu pemahaman yang keliru mengenai hal ini. Selama ini banyak orang mengira bahwa hanyalah kaum Brahmana saja yang boleh menjadi sulinggih. Ternyata ini tidak benar sepenuhnya. Di Bali ada banyak ‘warga’ atau ‘wangsa’. Masing-masing warga punya aturan tersendiri. Kaum ‘Tri wangsa’ memang manganut bahwa hanya kaum Brahmana yang boleh mediksa (Kemenuh, Manuaba, Keniten, Mas, Antapan). Tetapi, warga Pasek Sanak Sapta Resi atau Dukuh atau Senggu memiliki aturan lain lagi. Tetapi terlepas dari masalah warga atau wangsa itu, kunci pokoknya adalah orang itu harus mendapatkan ijin dari lembaga yang berwenang, kemudian telah mendapatkan ilmu keagamaan dari seorang ‘nabe’ atau ‘guru nabe’ (harus seorang sulinggih yang di-tua-kan). Dan sebelum medwijati, yang bersangkutan telah melewati suatu masa uji yang ketat sehingga dianggap mampu menjalankan sasana yang berat sebagai ‘perpanjangan tangan Ida Sang Hyang Widi Wasa’.

Ordination - Rm. Subhaga, SVD

Dwijati
Di atas telah disebut istilah dwijati. Apa itu Dwijati? Dwi berarti ‘dua’, jati berarti ‘sungguh’, ‘benar’, ‘sejati’. Mari kita lihat maknanya. Sebelum mediksa, beliau tetaplah seorang walaka biasa, walaupun telah menjadi calon diksa (akan ditahbiskan). Setelah dianggap lulus dengan semua ilmu keagamaan yang diajarkan oleh guru nabe, beliau harus mempersiapkan diri untuk mediksa. Ada begitu banyak upacara dan upakara yang harus disiapkan dan dilakukan oleh seorang calon sulinggih. Dari semua itu, sang calon diksa juga harus melewati dua upacara penting berikut ini:

·       Upacara Amati Raga
Secara harafiah berarti ‘mati fisik’. Dalam upacara ini calon diksa harus melewati semua rangkaian upacara ‘kematian’ layaknya upacara untuk jenazah, kemudian beliau dikurung dalam suatu bilik tertutup selama tiga hari (ngekeb). Ini melambangkan keduniawian sang diksa ‘dimatikan’. Sejak ini beliau harus meninggalkan semua ciri-ciri kemanusiaannya dan tidak pernah boleh melakukan hubungan seksual lagi.
·       Upacara Amati Aran
Secara harafiah berarti ‘mati nama’. Setelah mediksa, seorang sulinggih harus mengganti nama walaka-nya dengan gelar biseka kawikon yang layak disandang oleh warganya atau wangsanya. Ini sebuah kehormatan besar yang tidak ternilai. Contoh biseka kawikon: Ida Pedanda Gede Simpangan, Jero Dukuh Peguyangan, Sri Empu Pandia, dan lain sebagainya.

Setelah melewati kedua upacara penting di atas ini (amati raga dan amati aran), sang diksa telah dianggap me‘dwi-jati’ yang artinya ‘memiliki dua kejatian diri’ atau ‘mengalami kelahiran dua kali’. Pertama, dia memang sungguh telah lahir sebagai manusia biasa dengan nama walaka biasa. Kedua, setelah amati raga dan amati aran, beliau menerima biseka kawikon, berarti beliau telah lahir kembali dengan jabatan sangat terhormat sebagai manusia baru yang telah disucikan. Sejak itu beliau telah menjadi sulinggih.

Dalam rangkaian upacara pediksan itu, ada suatu upacara yang sangat mengharukan ketika sang calon diksa menunjukkan kesetiaannya kepada guru nabe yang telah membimbingnya sampai lulus. Di situ sang calon sulinggih membersihkan kaki sang guru nabe dan menciuminya. Nampak sekali adanya rasa bakti yang dalam dari seorang murid kepada gurunya; sebaliknya nampak suasana penuh kasih dari guru kepada muridnya.

Tugas Sulinggih
Tugas utama sulinggih adalah ‘muput’ upacara yadnya. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berhak membuat ‘tirta pamuput’ - air suci yang sangat penting dalam menyempurnakan dan menutup (muput) suatu upakara. Di sinilah letak tugas suci utama yang beliau terima dari Hyang Pramakawi.

Selain bertugas memimpin upacara agama, beliau juga punya kuasa mengajar. Oleh karena itu Griya (rumah tinggal sulinggih) selalu menjadi tempat bertanya. Umat sisia selalu datang ‘nangkil ka Griya’ untuk menanyakan hari baik untuk mengerjakan suatu upacara; atau bisa juga menanyakan ‘unggah-ungguh’ suatu upacara. Jadi, seorang sulinggih, selain ahli agama, pastilah seorang ahli pawukon (ilmu perhitungan hari baik atau buruk). Namun, walaupun memiliki kuasa mengajar agama, seorang sulinggih tidak mengajarkan agama dalam upacara yadnya karena dalam tradisi Hindu darta wacana (homili) tidak menjadi bagian dari upacara agama. Karena posisinya yang suci, seorang sulinggih pun tidak mengajar sekolah umum karena guru di sekolah umum adalah pekerjaan kaum walaka.

Kasih Sulinggih Dan Bakti Sisia
Setelah menjadi sulinggih, beliau harus bersikap sebagai orang tua yang mengayomi semua sisianya. Sebagai bukti kesuciannya, seorang sulinggih pasti relijius, lemah lembut, tidak gampang marah, tidak berkata ceplas-ceplos, tidak lagi duduk-duduk di tempat yang tidak layak, tidak lagi melakukan tindakan-tindakan yang biasa dilakukan oleh walaka, dan lainnya. Bahkan beliau bersikap begitu terhadap semua orang kendatipun bukan sisia ataupun umat dari agama lain bahkan terhadap segala mahluk hidup.  Karena kesucian posisinya, seorang sulinggih selalu memanggil ‘cening’ (anak) kepada segenap umatnya. Sebuah sapaan yang penuh dengan rasa kasih sayang. Sebaliknya seorang sulinggih pria akan menyebut dirinya ‘bapa’ (bapak) dan seorang sulinggih wanita (atau istri sulinggih) akan menyebut diri beliau sebagai ‘meme’ (ibu) ketika berbicara dengan umatnya. Sebuah kerendahan hati yang sangat dalam. Walaupun beliau begitu rendah hati, sebaliknya semua warga sisia tidak boleh memanggil beliau dengan sebutan ‘bapa’ atau ‘meme’, namun selalu dengan bahasa yang paling terhormat misalnya ‘Ratu Pranda’, ‘Jero Dukuh’, atau ‘Ratu Sri Empu’, dan lainnya. Ini sebuah bentuk sikap bakti yang sangat mendalam dan sama sekali bukan sikap feodal. 

Mengikuti konsep Tri Rna, setiap manusia pada hakikatnya berhutang rohani pada tiga pihak, salah satunya adalah utang rohani pada para imam sulinggih (disebut Rsi Rna). Utang ini terjadi karena tugas pelayanan pada manusia di bidang kerohanian yang beliau emban yang tidak bisa digantikan oleh manusia biasa. Tentu utang ini tidak bisa dihitung dengan uang! Inilah yang menjadi dasar penting mengapa umat wajib berbakti pada beliau. Perwujudan bakti itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, kita menggunakan bahasa Bali yang paling sempurna; tidak pernah membelakangi sulinggih, kemudian ketika menjemput seorang pranda digunakan istilah ‘mendak Pranda’; membawa alat-alat persembahyangan yang menjadi perlengkapan beliau pun dilakukan di atas bahu atau kepala; atau ketika menyajikan makanan (setelah upacara) digunakan ‘dulang sukla’ yang khusus. Apa pun yang dikatakan seorang sulinggih diyakini sebagai bagian dari pawisik Ida Sang Hyang Pramakawi. Jadi, pendek kata di mata orang Bali, sulinggih itu sangatlah terhormat dan dibaktikan di pabahan.

Hak Sosial Sulinggih
Melihat begitu mulianya status sosial beliau, lalu apa hak-hak sosial seorang sulinggih di masyarakat? Pertama, seseorang yang telah mediksa berhak luput atau bebas dari segala ayah-ayahan di banjar atau desa. Kedua, di semua tempat yang memerlukan penyebutan nama, beliau hanya boleh dipanggil dengan biseka kawikonnya saja. Nama walaka telah hilang. Ketiga, konon sesungguhnya seorang yang telah mediksa itu kebal hukum alias tidak boleh diperiksa aparat kepolisian! Apabila ada suatu sangkaan atau dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan kriminal, maka yang berhak melakukan investigasi hanyalah guru nabenya. Jika ditemukan bahwa memang yang bersangkutan bersalah, maka dia harus melepaskan kawikuannya dan kembali menjadi walaka biasa dengan segala resikonya (termasuk dipidana). Biasanya seorang sulinggih yang dianggap telah mengkhianati sesananya (entah karena berbuat kriminal, berzinah, lupa akan darma dan tatwa, dll), beliau tidak dicaci maki oleh umat tetapi akan ditinggalkan diam-diam oleh umatnya sehingga dia akan menjadi ‘sulinggih tan pasisia’ (sulinggih yang tidak punya umat).

Nyumuka
Bolehkah seorang walaka biasa mengerjakan pekerjaan sulinggih? Sama sekali tidak! Jika ada walaka yang berani melakukan hal itu, maka dia dianggap telah melakukan perbuatan ‘nyumuka’ yakni tindakan pidana keagamaan dengan sengaja melakukan tugas suci sulinggih secara tidak berhak. Sebagai contoh: tanpa hak menggunakan biseka kawikon, tanpa hak memakai wesa sulinggih, tanpa hak berani ‘muput’ karya, dan lainnya. Apa hukumannya? Konon, sekali lagi konon, pada jaman kerajaan Hindu dulu, seorang pelaku nyumuka diancam dengan hukuman ‘kalebok ring segara’ (mati dengan cara dibenamkan ke laut)! Mengapa begitu keras? Karena tindakan nyumuka dianggap ‘ngawe teraking bhuwana’ yakni membuat dunia ini ‘terak sayah’ (ditimpa malapetaka). 

Para Imam yang Berkarya di Bali

INKULTURATIF KATOLIK
Suka atau tidak, kebiasaan bakti pada sulinggih ini tentu kita warisi dari para leluhur kita dan mengalir deras dalam nadi kita. Sebagai bakti kita pada para leluhur kita, maka kebiasaan yang mulia ini wajib kita pertahankan, tentu dalam perspektif iman yang baru. Di desa Buduk ada banyak Geria. Umat Katolik Buduk sampai kinipun tetap menunjukkan sikap hormat bakti kepada para sulinggih yang ada di sana. Bukankah para sulinggih itu cerminan kasih Tuhan bagi semua umat manusia? Ini tentu contoh sikap kesaksian iman yang sangat mulia. Tetapi, setelah kita menjadi Katolik, nilai-nilai apa sajakah yang bisa kita pertahankan? Setelah kita pelajari, paling tidak ada tujuh pemikiran yang perlu kita berikan perhatian, yakni:    

1. Asal Sulinggih
Karena agama Katolik itu mendunia, menembus batas wilayah ruang dan waktu, maka imam Katolik itu pun berasal dari mana saja, tidak peduli dari golongan, suku atau bangsa mana pun. Tuhan yang memanggil dan memilih mereka. Maka, semua harus kita hormati sebagai sulinggih dan kita baktikan di pabahan kita. Sebagai contoh adalah kisah berikut ini. Suatu kali Bapak I Gusti Ngurah Rai Suneca, seorang tokoh Hindu dari Banjar Pendem, Dalung, dalam suatu kesempatan memberikan sambutan, beliau menyebut ‘Ida Romo Rai Sudhiarsa’ kepada Romo Dr. Ray Sudhiarsa, SVD. Betapapun beliau tahu bahwa Romo Rai lahir dari keluarga sudra wangsa, beliau tetap dengan rendah hati menambahkan kata ‘Ida’ di depan nama Romo Rai. Tentu ini sebuah sikap penghormatan yang paling tinggi padahal Bapak Rai Suneca sendiri beriman Hindu dan berasal dari keluarga ksatria wangsa. Kita pun harus bisa seperti itu yakni menghormati sulinggih kita dengan benar. Kuncinya adalah kita harus percaya bahwa ‘imam itu terhormat karena telah dipanggil, dipilih dan dikuduskan oleh Tuhan sendiri’.

2. Konsep Amati Raga
Gereja tidak akan mungkin melaksanakan Misa Requiem bagi calon imamnya sebelum beliau ditahbiskan! Mengikuti teladan Sang Guru, imam Katolik secara nyata dan bersungguh-sungguh justru melakukan amati raga dengan melakukan ‘pengingkaran diri’ berikut ini sepanjang hidupnya:
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan tidak berkeluarga tetapi mempersembahkan hidupnya untuk orang lain demi Kabar Gembira Kristus (Mrk 10:29-30). Imam Katolik bukan sekedar menjadi brahmacarya tetapi bahkan melaksanakan kaul ‘sukla brahmacarya’ - tidak berkeluarga dan suci murni dari hal-hal badani sejak masa mudanya (Mat 19:12, 1Kor 6:20, 1Tes 5:23).
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan secara total memenuhi hidupnya dengan doa puja pangastawa sehingga mampu lepas dari keduniawian dan kemudian hidup suci hati dan suci dalam tingkah laku (1Ptr 1:15, 1Ptr 2:5, Rm 12:1).
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan ‘mati’ atau ‘miskin’ dari hal-hal barang duniawi. Mati atau miskin di sini lebih bermakna sebagai ‘tidak membiarkan diri tergantung’ pada barang-barang duniawi karena kita semua tidak bisa melakukan apa pun tanpa dukungan materi yang cukup (Mat 10:9-10, Luk 10:4.8, Mrk 10:21, Gal 5:24).
·       Imam Katolik pasti ‘pradnyan’ karena haus akan ilmu pengetahuan dan karena itu mereka harus melewati masa pendidikan yang sangat panjang (Mzm 119:66, Ams 2:6, Ams 12:1, Ams 15:2.7.14, Kol 2:3).
·       Imam Katolik melakukan pengingkaran diri dengan selalu taat kepada Uskup selaku penerus pemegang amanat para rasul dan juga kepada atasannya (ordo tempatnya bernaung), tanpa pernah memperhitungkan kepentingan pribadinya sendiri (Luk 4:43, 1Ptr 1:2, Luk 10:3, Mat 16:18, Mrk 1:38, 2Kor 4:11). Imam yang tidak taat pada titah Uskup secara otomatis telah mengeluarkan dirinya sendiri dari sistem dan struktur kegembalaan Gereja Katolik.

Semua hal di atas inilah yang menjadi sasana bagi para imam kita. Itu pasti sangat berat dan sulit dilakukan oleh kemampuan manusiawi kita. Namun di hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa tidak ada hal yang tidak mungkin (Mrk 10:27).

3. Konsep Amati Aran
Dalam tradisi Katolik, seorang Paus pasti mendapatkan panugrahan ini. Misalnya ‘Petrus’, Paus yang pertama, adalah biseka kawikon yang langsung dianugerahkan oleh Ida Hyang Yesus kepada Simon anak Yohanes (Yoh 1:42, Mat 16:18). Lalu ‘Yohanes Paulus II’ adalah biseka kawikon yang dipilih oleh Karol Wojtyla. Dan sekarang  ‘Benediktus XVI’ adalah biseka kawikon yang dipilih oleh Kardinal Joseph Ratzinger. Baik ‘Simon’, ‘Karol Wojtyla’ ataupun ‘Joseph Ratzinger’ meninggalkan nama aslinya ini (amati aran atas nama asli itu) tetapi kemudian memakai biseka kawikon itu sampai akhir hayat beliau.

Tetapi kalau diamati, dalam perkembangan sejarah penginjilan di Bali, ada dua imam yang menerima nama baru setelah ditahbiskan. Beliau adalah Romo Servatius Subhaga SVD yang bernama asli I Nyoman Rongsong dan Romo Pancratius Mariatma SVD yang bernama asli I Made Pagi. Suatu kali dalam suatu percakapan dengan saya di depan Pastoran Tuka, Romo Subhaga SVD mengatakan bahwa nama beliau dan nama Romo Mariatma SVD itu diberikan oleh Alm. Ida Cokorda Oka Sudharsana. Dalam hati saya bertanya, bukankah ini sikap inkulturatif yang sangat kuat yang ditunjukkan oleh Ida Cokorda? Sebagai seorang keturunan raja Ubud, beliau tahu betul bahwa karena I Nyoman Rongsong dan I Made Pagi telah menerima panugran pediksan maka keduanya sangat layak untuk mendapatkan suatu biseka kawikon. Tentu ini sebuah keputusan budaya yang sangat tepat dan sempurna.

‘Subhaga’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “dia yang terberkati” atau “dia yang sangat beruntung”. Di Bali juga ada suatu ungkapan “subhaga wirya siniwi” yang bermakna ‘yang termasyur karena berani’. Dan memang benar, bahwa I Nyoman Rongsong adalah putra Bali pertama yang sangat beruntung karena berani untuk ‘diubah’ oleh Kristus dan kemudian boleh menerima panugran pediksan Katolik yang sangat mulia itu. Luar biasa bukan? Kemudian, setelah mengumpulkan beraneka informasi, saya menyimpulkan tiga makna untuk kata ‘Mariatma’ yakni: Maria Atma, Marya Atma atau Ma(r)i Atma. Bapak I Gusti Putu Oka dan Bapak Ketut Karepek mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Maria Atma adalah ‘dia yang berjiwa Maria’. Lalu kata Marya berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘purity’ atau ‘bright whiteness’. Jadi Marya Atma bermakna ‘jiwa yang putih murni atau suci’. Kemudian Ma(r)i Atma atau Mai Atma berarti ‘datanglah wahai jiwa’. Inilah makna Kristus yang haus akan jiwa-jiwa yang bertobat. Di salib Yesus bersabda, “Aku haus.” (Yoh 19:28). Juga Dia pernah berkata kepada wanita Samaria, “Berilah aku minum.” (Yoh 4:7). Bukankah salah satu tugas suci para imam adalah menghantarkan jiwa menuju pertobatan? Jadi, ketiga makna ‘mariatma’ ini bermakna sangat tinggi.

Nama besar ‘Subhaga’ maupun ‘Mariatma’ adalah dua biseka kawikon yang luar biasa yang menjadi kebanggaan kita semua. Namun, sangat disayangkan tradisi biseka kawikon yang dirintis oleh Almarhum Ida Cokorda Oka Sudharsana tidak dilanjutkan untuk imam-imam yang selanjutnya.

4. Imam adalah Guru
Sebagai orang Bali, kita punya konsep catur guru; salah satunya adalah Guru Swadyaya. Tuhan adalah Sang Maha Guru (Ayub 36:22). Kristus sebagai Putra Allah adalah Sang Guru (Luk 9:33. Luk 17:13, Yoh 13:13.14, dll). Maka sebagai ‘alter Christus’, imam tentulah guru dan umatnya adalah muridnya. Guru selalu menjadi teladan. Imam melakukan pengingkaran diri dengan menjadi teladan bagi umatnya (Mrk 1:17, Yoh 12:46, 1Kor 11:1). Sedangkan umat punya kewajiban imani untuk mendengarkan dan mengikuti imamnya. Ini tentu saja tugas yang sangat berat, jauh lebih berat dari jabatan sebagai guru biasa. Di Bali, biasanya sulinggih yang hidupnya sudah tidak karu-karuan alias tidak bisa digugu dan ditiru lagi, diam-diam akan ditinggalkan oleh umatnya, sehingga dia menjadi sulinggih tan pasisia. Sebagai manusia, umat Katolik pun bisa saja meninggalkan imamnya yang hidupnya sudah lepas dari rel-rel yang telah dijanjikannya sendiri ketika menerima sakramen Imamat dari Tuhan. Sekali lagi, imam sebagai guru adalah contoh dan suri teladan bagi umatnya!

5. Imamat Yang Suci
Karena Imamatnya yang suci, hidup pribadi seorang imam menyatu dengan sakramen. Beliau bukan petugas pemberi sakramen, tetapi beliau adalah bagian tidak tergantikan dari sakramen itu sendiri. Imamatnya yang kudus menyatu dan melebur dengan pribadi imam itu. Karena kemuliaan dan kesucian imamat yang diemban para imam itu, oleh kuasa Roh Kudus dan sabda Kristus yang diucapkannya, maka roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dan melalui sakramen tobat, imam juga karena imamatnya yang kudus, punya kuasa untuk melepaskan seseorang dari jerat dosa (Mat 18:18, Mat 16:19). Tugas ini  sangat mulia dan tak tergantikan. Nilai ini tentu tidak ada dalam paham tradisional.

Romo Shadeg & Para Frater

6. Posisi Sosial Masyarakat
Dalam tradisi kita, karena kemuliaannya itu, semua imam kita luput dari ayah-ayahan di banjar atau pemaksan. Tetapi ada suatu pergeseran yang kuat dalam cara memanggil imam kita. Kita memanggil mereka dengan sebutan “Romo”. Ada nuansa keakraban yang sangat kuat, sikap sangat rendah hati dan sikap memposisikan diri sebagai ‘bapak’ yang penuh cinta kepada setiap umatnya. Untuk itu umat harus menghormati beliau sebagai ‘yang terhormat’; dan jangan pernah memperlakukan beliau sebagai kawan biasa. Janganlah beliau dengan enteng dipanggil, “Hai, Mo, …pagi…”  

7. Konsep Nyumuka dan Rsi Rna
Walaupun gereja tidak pernah mengungkapkan bahwa umat memiliki utang rohani pada imam, tetapi sesungguhnya konsep ‘nyumuka’ ini sangat kuat dalam kehidupan menggereja kita. Buktinya? Gereja Katolik sangat mengharapkan partisipasi awam dalam kegiatan menggereja; akan tetapi Gereja juga dengan tegas telah memberikan panduan mengenai wewenang bagi awam yang memiliki kehendak baik untuk mengabdikan hidupnya bagi gereja. Intinya, betapapun awam memiliki keinginan yang mulia, awam tidak boleh mengambil tugas para imam. Hanya imam karena imamatnya yang mulia yang berhak dan boleh memberikan pelayanan sakramen. Contoh sederhana: dalam Ekaristi kita bisa melihat dengan tegas hal-hal yang hanya boleh diucapkan, didaraskan dan dilakukan oleh Imam. Kesimpulannya umat tidak boleh ‘nyumuka’! Oleh karena itu, sebagai orang Bali, ada suatu konsekuensi budaya yang patut kita akui bahwa ada suatu ‘utang’ rohani yang tak terhitung nilainya yang dimiliki oleh umat pada para imamnya (Rsi Rna).  

Tugas Umat
Dari pemaparan di atas, jelas kita bisa melihat betapa mulianya seorang imam Katolik. Dalam diri imam itulah hadir kurnia imamat ilahi yang sangat mulia. Kurnia imamat tak terpisahkan dari imam yang menerimanya karena imamat itu kekal hadir dan melebur dalam diri seorang yang telah ditahbiskan. Mengingat mulianya kurnia ini, maka Alm. Ida Cokorda Oka Sudharsana, juga Alm. Pan Paulus dari Batulumbung, selalu menyebut Uskup dengan sebutan Ratu Pedanda. Dalam beberapa kesempatan pribadi, saya pun menggunakan istilah Ratu Peranda kepada Yang Mulia Mgr. Sylvester San Pr. Ungkapan Ida Pedanda juga sering dipakai oleh Pak Alex Nyoman Gunarsa ketika menyebut nama almarhum Romo N. Shadeg SVD. Semua ini membuktikan tingginya kemuliaan imamat di mata orang Bali.

Tugas keimamatan sangatlah sulit dan penuh dengan tantangan. Oleh karena pentingnya posisi imam dalam mendekatkan umat pada Kristus, maka setan punya kepentingan besar untuk menjatuhkan seorang imam. Dan setan tidak akan pernah berhenti tetapi akan terus menyerang dengan menggunakan segala macam jebakan: dari materi yang paling indah, dari bibir yang manis, dari yang lemah gemulai, sampai metode jebakan yang paling kasar sekalipun. Imam harus selalu siap menghadapi ini semua dengan waspada. Umat pun harus waspada akan hal ini dan siap membela imam dari godaan setan seperti ini.

Para imam kita telah mengurbankan hidup mereka bagi Tuhan dan tentu bagi kita. Untuk itu umat Katolik wajib mencintai dan menghormati imamnya. Kita adalah sisia yang menjadi domba gembalaan mereka, maka kita wajib mendukung beliau dengan menjaga kehormatan beliau dan bukan malah menggerogotinya! Mencintai imam sama sekali tidak berarti harus mati-matian ‘mengikat’ beliau untuk tinggal di satu paroki atau siap adu otot untuk mempertahankan beliau di situ. Justru umat harus mendukung seorang imam untuk menjadi semakin besar. Kalau beliau memang sudah harus pindah tugas, maka umat harus mendukung beliau untuk tunduk pada titah Uskup dan bukan justru mengompori beliau untuk melawan titah tugas itu. Kita harus mencintai beliau untuk semakin mencintai imamat yang telah beliau terima.

Semoga kita semua mempertahankan tradisi bakti pada imam ini sebagai bagian dari semangat untuk meningkatkan kualitas iman keKatolikan kita kepada Kristus. Sangatlah indah kalau ini menjadi ciri keBalian orang Bali Katolik. Pada akhirnya, akan lebih hebat lagi seandainya semua umat bisa meniru kehidupan suci para imam kita seperti dipaparkan di atas. Jika ya, maka tentu saja kehidupan menggereja akan sangat luar biasa. Semua imam akan sangat berbahagia karena tugas mulia beliau untuk mengemban umat menuju Sang Gembala Agung Kristus telah tercapai sempurna.

Saya menulis ini sebagai perwujudan bakti, hormat dan cinta saya kepada para imam kita yang telah mengurbankan hidup mereka bagi kita semua.

Semoga bermanfaat.


I Gusti Ngurah Bagus Kumara
(Sumber: Majalah Bulanan Keuskupan Denpasar "AGAPE" edisi Mei-Juni 2011)






Monday, July 25, 2011

Surat Rektor - Info dan Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka


Sahabat Seminari Tuka,

Tahun ajaran 2011-2012 memasuki minggu II. Jumlah siswa keseluruhan di awal tahun ajaran ini 119 orang, minus Erwin yang masih dalam perawatan mata di Jakarta.
Jumlah ini adalah rekor tertinggi dalam sejarah 58 tahun Seminari Tuka. Hal ini bisa terjadi karena mulai tahun ini juga kita membuka kelas baru yaitu Kelas Persiapan Bawah (KPB). Kelas ini diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari SMP luar Seminari. Kelas yang berfungsi sebagai kelas matrikulasi (pengkayaan) bukan saja materi Khas Seminari (Bahasa Latin, Kitab Suci, Sejarah Gereja, Liturgi, Pendidikan Iman, dan Sidang Akademi) tetapi juga pendidikan umum seperti Bahasa Indonesia, Logika, Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Bali, dan Teater. Tahun ini jumlah siswa di kelas ini 13 orang. Tahun depan bersama dengan para siswa kelas IX (3 SMP) mereka akan memperebutkan 25 kursi yang tersedia di kelas X (1 SMA), demikian kualitas dan seleksi diupayakan. 

Jumlah siswa di kelas VII (1 SMP) dari 30 siswa yang lolos proses seleksi yang mendaftar kembali 27 orang. Artinya ada 3 orang yang batal masuk Seminari. Ini tentu sangat merugikan terutama siswa yang tidak diterima karena keterbatasan tempat. Sebab jumlah kursi maksimal di kelas ini hanya untuk 30 orang. Ke depan sedang dipikirkan cara supaya hal serupa tidak terulang kembali. Kepada para orang tua yang anaknya tidak diterima (ada 22 orang) sudah pula dijelaskan bahwa karena terbatasnya tempat maka kita tidak bisa menerima anak mereka mungkin mereka dapat mencoba lagi di jenjang SMA. 

Sementara itu siswa di tahun akhir yakni kelas XII (3 SMA) berjumlah 13 orang. Mereka tetap utuh dari sejak kelas X (1 SMA), sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Fakta ini kian meneguhkan pilihan kita untuk membuka kelas sendiri di Tuka yang terpisah dari SMAK St.Thomas Aquino seperti yang terjadi sejak tahun 1983. Pembinaan kita menjadi lebih fokus dan efektif. Mengikuti tradisi bobrok pendidikan umum di Indonesia, kesempatan untuk mendampingi mereka tinggal 6 bulan lagi. Sesudah itu mereka praktis disedot kesibukan mengikuti kursus menjawab soal-soal Ujian Nasional tak beda dengan kursus jahit, ngetik, komputer, dll. Bulan Desember mendatang mereka akan memasuki retret untuk memutuskan pilihan hidup mereka antara lanjut ke jenjang Seminari berikutnya (Ordo/tarekat/keuskupan) atau memilih untuk kuliah di luar. Untuk itu kita perlu ikut mendoakan mereka agar bila Tuhan ijinkan semuanya melanjutkan ke jenjang panggilan imamat berikutnya.

Hal yang patut disyukuri bahwa tahun ini ada dua alumnus Seminari Tuka yang ditahbiskan imam yakni Diakon Agustinus Bere Pr (Keuskupan Denpasar) dan Diakon Paskalis Sugi, CMF. Sedangkan kami belum mendapatkan kepastian pentahbisan imam Diakon Vincentius Widhi Atmadi, MGL yang juga alumnus Seminari kita. Semoga di tahun-tahun mendatang semakin banyak panenan yang kita hasilkan sehingga seperti harapan kita bersama Seminari Tuka boleh menjadi berkat bukan saja bagi Bali atau Indonesia, tapi juga Dunia dengan melahirkan misionaris-misionaris yang mendunia.

Di samping hal-hal yang menggembirakan, perlu juga kami utarakan kesulitan yang kami hadapi. Ke depannya minat masuk ke Seminari Tuka akan semakin meningkat. Peningkatan jumlah siswa ujung-ujungnya akan bersentuhan dengan masalah pembiayaan. Kami sudah membuat rincian per siswa berdasarkan kemampuan membayarnya. Tercatat masih ada 35 siswa yang nyata-nyata memang perlu dibantu. Dari 35 siswa itu total kekurangan yang dibutuhkan Rp. 12.600.000,- per-bulannya. Adanya Gerakan Orang Tua Asuh (Gotaus) Seminari Tuka selama ini sangat membantu sekali mengatasi kekurangan yang ada. Sudah ada dua orang yang menyatakan kesediaan untuk membantu 2,5 juta setiap bulan untuk menutupi kekurangan itu. Mudah-mudahan ada lebih banyak lagi yang bersedia untuk membantu. Banyak orang takut untuk menjadi orang tua asuh karena mengira harus memikul tanggungjawab setidaknya biaya seorang seminaris. Kami menawarkan bahwa berapa pun yang Anda berikan untuk Seminari akan kami terima asal diberikan secara rutin. 

Bila Anda tergerak untuk membantu secara pribadi atau kelompok, Anda bisa menyampaikan sumbangan Anda ke rekening GOTAUS Seminari Tuka:

   Rekening Bank BCA (Cabang Maluku) Denpasar
Acc. No : 049-589 9999
A.n. Seminari Menengah Roh Kudus Tuka

Anda juga dapat membantu menyebarkan informasi ini kepada teman atau keluarga Anda. Informasi transfer dan alamat Anda tolong di fax ke: 0361-439877

Terima kasih atas dukungan Anda selama ini untuk ikut menyiapkan lahirnya tenaga-tenaga imam masa depan. Tuhanlah membalas segala kebaikan Anda dengan melipatgandakan berkatNya atas pekerjaan dan rumah tangga Anda. 

Tuka, 26 Juli 2011
Pesta St. Yohakim dan St. Anna, Orang tua St. Maria.


Keluarga Besar Seminari Roh Kudus Tuka
Rm. Benedict Deni Mary Pr
Rektor


Pilar-pilar Pemersatu

Ada begitu banyak perbedaan yang dapat ditemukan di tiap seminari. Sejak awal pertemuan masing-masing peserta saling membandingkan seminarinya dengan seminari lainnya. Buktinya dalam kegiatan sehari-hari saya sering kali mendengar pertanyaan tentang aturan, kegiatan, kebanggaan serta banyak hal lain yang dibicarakan seputar seminari dalam berbagai kegiatan.

Namun ada suatu hal yang unik yang saya lihat ketika temu seminaris berlangsung. Mereka datang membawa ambisi dan nama besar seminarinya dan ingin membuktikan bahwa mereka adalah seminaris yang baik dalam hal apapun.  Setiap seminaris dari berbagai seminari sepertinya ingin menunjukkan senjata paling ampuh untuk membuktikan keberadaan kelompok mereka. Temu seminaris memang bukan sarana bersaing untuk membuktikan seminari mana yang terbaik.

Datang dengan kebanggaan seminarinya  masing-masing ternyata tidak membuat suasana nyaman. SATU HATI, SATU TEKAD, SATU PANGGILAN adalah jawaban bahwa persaingan itu tak mengendurkan sifat khas seminaris yang kompak dan akrab satu dengan yang lainnya. Bagi saya secara pribadi, setiap seminaris memiliki jiwa yang sama yang dibentuk dengan sendirinya dalam proses pembinaan yang baik di seminari. Jiwa itu terutama tumbuh dari tiga pilar utama pembinaan yang sama di setiap seminari yaitu scientia (pengetahuan), sanitas (kesehatan) dan sanctitas (kekudusan). Pilar-pilar inilah yang bagi saya ada di dasar hati para seminaris, terutama yang telah bertahun-tahun bergumul di seminari. Artinya mereka datang dengan bangga dan keberagamannya masing-masing, tetapi memiliki satu dasar yang sama, yang tidak berbeda.

Ternyata perbedaan dan keragaman tak selalu berbuah persaingan tetapi justru kerja sama membangun relasi yang baik satu sama lainya. Kadang kala gengsi lebih menjadi pilihan  dari pada melakukan hal yang benar. Dasar yang dihayati tentu menjadi sarana pemersatu rekat. Dasar bukan hanya sekedar tradisi yang dibangun oleh para pendahulu dan hanya mereka yang menghayatinya seperti yang terjadi pada bangsa Indonesia yang sudah masa bodoh pada Pancasila. 

Pilar-pilar seminari jangan sampai bernasib sama. Pilar-pilar seminari harus tetap digaungkan di telinga seminaris sebagai sebuah pedoman hidup yang harus mereka hidupi dengan setia. Dengan demikian para seminaris akan tetap menjadi sebuah kesatuan yang tidak terpecah.

By malvinho


Monday, July 18, 2011

Jumpa Seminaris: Ikatan Awal Jaringan Kaum Terpanggil

Frater Eli 

Ikatan adalah syarat untuk menciptakan kesatuan dalam keanekaragaman. Inilah kira-kira yang saya temukan dalam Jumpa Seminaris Region Jawa Bali 20-23 Juni 2011. Tujuan dari kegiatan ini adalah menciptakan persaudaraan di antara para seminaris agar bisa saling mendukung dalam menjalani panggilan. Persaudaraan yang ingin dibangun bukanlah persaudaraan beberapa hari yang kemudian hilang tertinggal perjalanan waktu, melainkan persaudaraan yang berkelanjutan. Jadi sebenarnya tujuan kegiatan ini adalah menciptakan jejaring tanpa batas dan tanpa putus di antara kaum terpanggil.  Namun persaudaraan tidak pernah bisa diikat dalam beberapa hari dan bertahan sepenjang masa; mesti ada kelanjutan. Hal inilah yang sudah terjadi…

Satu Tekad, Satu Hati, Satu Panggilan merupakan tema yang diangkat dalam jumpa seminaris kali ini, dengan berbagai kegiatan yang mampu mendorong persatuan di antara para seminaris yang berasal dari daerah, buadaya, dan karakter yang berbeda. Masa perkenalan menjadi awal yang baik menuju hubungan yang lebih intens. Segan, malu-malu, jaga image, ragu, merupakan hal wajar yang muncul pada jumpa pertama, yang nantinya akan kita tertawakan ketika kita menjadi akrab. Kelompok-kelompok kolaboratif menjadi media untuk mengenal seminaris dari seminari lain, dan mulailah terbentuk sebuah kelompok kecil baru, sebuah ikatan muda di antara kelompok yang berbeda.

Aktivitas
Mengamati para seminaris yang penuh dengan gairah panggilan, seperti tetap melihat sebuah harapan cerah akan Gereja masa depan  yang bisa hidup di tengah keanekaragaman yang makin kompleks. Para bujang Kristus ini begitu cepat melihat, mendengar, menerima, dan berbagi dalam perbedaan. Suasana outing yang penuh gandengan tangan, saling menggendong, membantu, tertawa bersama, spontanitas merupakan hal-hal sederhana yang menunjukkan kemampuan membawakan diri dan menerima orang lain yang berbeda. Ada bersama dengan orang lain, bekerja sama dengan orang lain, saling mendukung merupakan hal penting selain pemikiran-pemikiran, perencanaan, dan program yang bagus.

Jumpa seminaris bertujuan menciptakan persaudaraan di kalangan seminaris, sehingga mereka bisa saling meneguhkan dan mendukung dalam panggilan. Rasa persaudaraan dan kebersamaan disadari sebagai hal penting di tengah dunia yang semakin penuh tantangan. Masih relevanlah sebuah pepatah: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kita menyadari bahwa panggilan itu tidak hanya merupakan hal yang pribadi; kita mendengarnya lalu menjaga dan menumbuhkannya dengan segenap tenaga kita sendiri. panggilan juga tumbuh dalam kebersamaan, tumbuh dalam sebuah komunitas.

Seminaris - Seminari Roh Kudus Tuka
Para seminaris rupanya sangat menyadari akan pentinganya kerbersamaan dan persatuan dalam panggilan. Hal ini ditunjukkan dalam antusias mereka menyambut dan menjalani kegiatan jumpa seminaris. Rupanya perhatian terhadap masa depan Gereja tidak hanya dimiliki oleh para imam, para seminaris pun mempunyai keprihatinan terhadap arah dan tujuan Gereja. Dalam kegiatan ini ada banyak sharing tentang panggilan; suka-duka, kegembiraan, kecemasan, harapan, tantangan, solusi, banyak hal diceritakn dengan gaya masing-masing. Di sana terdapat aksi saling menguatkan, mendengarkan, memberi tanggapan; inilah yang seringkali menguatkan panggilan. Dalam persatuan yang utuh Gereja mampu berkembang dan bertahan.

Dalam kurang lebih 4 hari, keakraban sudah terjalin di antara para seminaris. Tapi kita tidak bisa berkumpul seperti itu terus-menerus. Kita harus pulang dan kembali mengikatkan hubungan yang sudah terjalin dengan teman-teman yang ada di seminari masing-masing. Satu hal yang menjadi kecemasan dalam rapat persiapan ialah tidak ada kelanjutan dari kegiatan ini. Dikhawatirkan kegiatan ini hanya menjadi beberapa hari penuh hura-hura, kemudian hilang tanpa bekas. Ternyata yang terjadi tidak seperti yang dicemaskan. Sampai saat ini masih terjalin hubungan yang baik. Terbentuk FORTS JALI alias Forum Temu Seminaris Jawa Bali di facebook untuk selalu bisa keep and touch, untuk tetap saling meneguhkan di antara kaum terpanggil yang kini tidak hanya terbatas pada mereka yang mengikuti kegiatan jumpa seminaris, tetapi juga bagi mereka yang merasa terpanggil, ingin berbagi dan meneguhkan dalam panggilan.

Kegiatan jumpa seminaris merupakan media menciptakan persaudaraan, persatuan dalam keanekaragaman. Menciptakan jaringan berarti merajut komponen-komponen kecil ke dalam satu kelompok yang senantiasa terbuka pada ikatan-ikatan baru yang menguatkan. Semoga kegiatan jumpa seminaris menjadi sebuah ikatan awal yang terus menerus mengembangkan simpul-simpulnya menjadi semakin lebar dan kuat. Dengan kebersamaan dan kerja sama, menjawabi panggilan akan terasa lebih menggembirakan. Bukankah menyenangkan jika kita mempunyai teman? 

(Frater Eli)


Wednesday, July 13, 2011

My Journey in the Catholic Church in Bali by Doreen Agnes

Doreen and the BICC's choir on Dec 12, 2008 Tuka Seminary Concert
at Kuta Church
In 1991 I came to live in Bali. I went to the Church in Kuta a very small building. The mass was in Indonesia and nobody even said good morning. I went for a while but found it to be boring not knowing the language very well at the time. One Christmas Eve I went to mass and the police were checking everyone out for bombs. As I left them a man spoke to me, at the time I didn’t realize he was the parish priest until I saw him celebrate the mass. I found out there was an English mass on Sunday evening so decided that it would be good for me to go. Fr. Hady always spoke to me so I felt I was beginning to belong.

My friend Margaret used to meet me in Church as she was always running late, but one night she was early so as she wanted to smoke we went to the back so she could have a cigarette. Fr. Deni came through and he stopped and spoke to us told us he had been in Ireland and when asked his name, he said Fr. Deni so we all sang a few lines of Danny Boy. This was the start of an ongoing friendship. He gave me the name of the orphanage in Dalung. I started visiting the Panti Asuhan Sidhiastu Tuka with my friends. I used to take some of the kids to the beach and my home for lunch. My friends who are non-Catholic still support them.

Fr. Terry Burke, MMH, founder of the BICC
currently lives in Kuching Serawak.
One night Fr. Deni told me he was going to the Seminary and Fr. Terry would be taking his place. Fr. Terry formed a group called Bali International Catholic Chaplaincy or BICC. As the Church di not pay him for his services when we held a meeting it was decided to give out envelopes to collect help for his living expenses. While I was in Australia I was nominated as a welcome, I was very hesitant at first at first as I am a very shy person but as time I went on it became much easier for me.

I joined Father Terry’s Bible Study Group and also attended his meditation mass. I was thinking of ways to raise money for the Seminary, so I thought the choir from BICC and the Seminarians could put on a concert. I attended meditation mass and after I stayed to invite the choir to participated, they said first we will practice handed me a hymn book so I just sang along with them then we spoke a little about the concert eventually they agreed to do this and this is how I joined the choir. I have a very happy association with them. The kids call me Mama, Grannie, etc.

Now to my involvement with the Seminarians I would go up to Sidhiastu Orphanage and the Tuka Seminary. One Tuesday I was going to see Fr. Deni and he asked when I was getting there and I wondered what the hurry I soon discovered he had the boys who were going onto the Major Seminary without their normal teacher as they were in the Upper Preparation Class. He just took me to the classroom with no preparation to talk to them in English. Wow, as I have a strong Scottish accent it was very hard at first, but after a couple of sessions they began to understand. I spoke to them every Saturday until they left the Seminary here in Bali. I raise money for the Seminary in different ways and it feels my life with a reason not just staying home vegetating. Sr. Tin, RVM at the Seminary and I are good friends but unfortunately she is going to Kupang in the of July.
Fr. Deni Mary, rector of Tuka Seminary
with his Seminarians.

I am still welcoming people to St. Francis Xavier and still sing in the choir so at long I feel I am where God wants me to be. I was lost for a long time; my life seemed empty, because after being a reader, Eucharistic minister, leading a prayer group, etc. in Australia had nothing spiritual in my life. Now, I have friends with whom I pray, friends whom I respect. So, life is good. 
-- Doreen Agnes: currently lives in Sidakarya-Denpasar