We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Tuesday, February 28, 2012

Wild West

Dikutip dari harian Kompas 26 Februari 2012
Artikel ini terlalu menarik untuk dilewatkan, oleh sebab itu saya share-kan melalui blog ini sekiranya ada yang belum membacanya.
Garin Nugroho

” Tidak saja Eldorado, juga Elpicante.” Inilah seruan Columbus, Juli 1503, merujuk istilah emas dan bumbu rempah, ketika menemukan wilayah yang kemudian disebut Indonesia. Wilayah ini disebut sebagai terkaya di dunia, dipenuhi bahan-bahan perdagangan dan pangan: emas, mutiara, rempah-rempah, kayu manis, hingga kayu gaharu, kopi, gula, beras.

”Ketika makanan habis, mereka terpaksa makan biskuit dari serbuk gergaji dicampur dengan kotoran tikus.” Inilah catatan mengenaskan dari awak kapal penjelajah Portugis termasyhur, Fernando Magellan (1519), ketika harus melintasi Samudra Pasifik. Tentu saja, salah satu ekspedisi termahal dengan 270 awak ini membawa impian tentang kekayaan alam Indonesia. Impian itu melibatkan pertempuran berbagai bangsa dan suku. Fernando Magellan yang termasyhur mati secara mengenaskan di Maluku.
Kekayaan alam adalah drama global.

Tak bertuan
Maraknya berita konflik tambang dan pangan berkait tanah mengisyaratkan bahwa tragedi Magellan menjadi seri drama di berbagai wilayah negeri ini. Awal tahun ini, masuklah ke desa Sumi, Rato, hingga Lanta timur Bima. Di ujung-ujung jalan, terpasang batu-batu besar hingga pohon digunakan untuk menutup jalan. Situasi layaknya medan perang, sebuah wilayah tak bertuan.

Seorang teman, yang berbisnis batubara, bahkan berseloroh, wilayah tambang Indonesia seperti situasi wilayah Amerika tahun 1830 dalam film Wild West. Sebuah situasi negara tanpa pemerintahan, yang berkuasa adalah kekuasaan lokal, dukungan politik, premanisme, kekuatan uang, dan permainan bisnis global. Yang ada cuma anarkisme kapitalis dan private property anarchist.

Lencana konstitusi
”Menguasai minyak, kamu bisa mengontrol negara. Menguasai makanan, kamu akan mengontrol masyarakatnya.” Ucapan Henry Kissinger ini saya tulis tebal dalam buku harian saya. Mengingat, PBB masih mencatat Indonesia sebagai wilayah sumber daya pangan dunia. Ironisnya, tahun lalu, Indonesia masih mengimpor 59 jenis produk pangan. Sebutlah beras, gula, garam, cabai, kacang-kacangan, jagung, hingga kedelai, sebagian mengimpor dari India dan Thailand. Jangan heran, Komnas HAM meminta pencabutan pasal dalam undang-undang berkait dengan pangan, yang memberi ruang impor secara luas. Sementara petani garam Sumenep meminta impor garam konsumsi dihentikan.

Jangan lupa, data statistik menunjukkan bahwa 30 juta penduduk Indonesia rentan menderita kelaparan. Di sisi lain, terjadi berbagai konflik menyangkut penguasaan lahan agraria. Di wilayah Kalimantan Selatan saja, sejak reformasi tercatat 28 kasus.

Melihat situasi dan kondisi di atas, saya kembali teringat film Wild West Amerika, yang dipenuhi kisah para penegak hukum (hakim, agen rahasia, hingga sheriff), di tengah hukum rimba tambang dan lahan, dengan lencana konstitusi, tidak lagi hanya menyerukan dan menganalisa, namun melakukan kerja penegakan hukum. Sebuah pertempuran atas nama konstitusi, sebuah kerja keberanian kenegarawanan, agar kekayaan alam mampu berfungsi untuk kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.

Di tengah situasi Indonesia sekarang ini, pertanyaan lalu muncul: masih adakah kebanggaan menggunakan lencana konstitusi dari penegak hukum kita, di tengah konflik tambang dan lahan sekarang ini? Masih adakah keberanian kepemimpinan langsung turun di tengah amuk massa, melawan preman dan mafia tanah, dengan spirit kenegarawanan memberi jalan damai serta penegakan hukum bagi keadilan?

Ataukah, setelah 500 tahun sejak kedatangan Columbus, wilayah ini layaknya wilayah hukum rimba tanpa penegakan hukum? Sebuah negara tanpa pemerintahan, sebuah pemerintahan tanpa kenegarawanan?

Thursday, February 23, 2012

No Lies, but Truth ??

"A lie may take care of the present, but it has no future - unknown author"


Tulisan Sindunata yang dimuat pada harian Kompas hari ini sangat menarik. Mengupas dalam, mengkritisi secara tajam dan memaparkan kemuakan yang dirasakan terhadap pertunjukan kebohongan para birokrat yang sedang tayang akhir-akhir ini.


Seandainya sosok pinokio bisa menjelma dalam karakter-karakter tersebut, maka akan sangat menarik melihat wajah-wajah menawan dengan hidung panjang setiap kali kebohongan terucapkan. 


Berikut kutipannya:
Bohong! Kata inilah yang sekarang sedang naik daun. Memang, rakyat sedang muak dengan ”drama kebohongan”, di mana aktor dan aktrisnya adalah politikus-politikus yang nuraninya sudah bebal terhadap kebenaran.
Lah, wong rakyat kecil dan anak-anak saja tergila-gila ingin memiliki Blackberry (BB), bagaimana mungkin orang percaya bahwa seorang pesohor dan legislator sekelas Angelina Sondakh mengaku tak memiliki Blackberry sebelum akhir 2010?
Bagaimana kita tidak gemas ketika dalam sidang perkara korupsi wisma atlet dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin, Rabu (15/2), Angelina Sondakh sebagai saksi dengan enteng terus menyangkal semua fakta yang menunjukkan keterlibatannya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki bukti rekaman pembicaraan Angelina dengan Mindo Rosalina melalui BBM (perpesanan dengan BB). Ketika bukti itu disinggung, Angelina kembali menyangkal, mengaku tak mengenali pembicaraan tersebut. Saking jengkelnya, pengacara Nazaruddin, Hotman Paris Hutapea, mencemooh, ”Apa hantu yang mengirim BBM ini?”
Angelina juga mengaku tak paham kode-kode permintaan uang kepada Mindo seperti ”apel malang”, ”apel washington”, dan ”semangka”. Padahal, menurut Mindo, kode-kode itu jelas-jelas digunakan dalam percakapan mereka.
Seperti Angelina, Mahyudin, politikus Partai Demokrat dan Ketua Komisi X DPR, juga menyangkal keterlibatannya. Terhadap pertanyaan majelis hakim, jaksa, dan pengacara, Mahyudin—yang juga Guru Besar Universitas Sriwijaya itu—menjawab, ”Tidak tahu, lupa, atau tidak ingat.”
Alasan lupa adalah ia pernah terserang stroke. Dalam pertemuan dengan Andi Mallarangeng, Nazaruddin, dan Angelina Sondakh, yang ia ingat adalah makanan udang. ”Katanya stroke, tetapi malah ingat udang.” ”Masa orang yang lupa dipercaya jadi pemimpin komisi DPR.” Lagi-lagi, begitu cemooh Hotman Paris Hutapea.
Kita tentu masih harus menunggu hasil sidang lanjutan perkara Nazaruddin. Semua orang tahu, perkara ini sarat muatan politik. Tak heran jika mereka yang berkepentingan mengatur mekanisme begitu rupa agar skandal politik yang lebih besar tidak terbongkar. Rakyat yang paling sederhana pun tahu, perkilahan Angelina Sondakh dan kelupaan Mahyudin adalah bagian dari mekanisme kebohongan itu.
Kanker ganas
Di mana-mana politik memang tak bisa terpisahkan dari kebohongan. Kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena politik memang tidak berkenaan dengan kebenaran, tetapi dengan naluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Itulah yang dibahas filsuf politik Hannah Arendt dalam bukunya Wahrheit und Lüge in der Politik—Kebenaran dan Kebohongan dalam Politik (1971).
Menurut Arendt, politik bergerak sedemikian rupa sehingga mendepak kebenaran. Politik menjadi sekadar upaya mempertahankan kekuasaan malah cenderung jadi permainan. Hakikatnya adalah ”Who get What, When, How”.
Machiavelli lebih realistis lagi. Menurut dia, seorang penguasa boleh mengingkari janjinya apabila janji itu ternyata merugikannya dan apabila tiada lagi alasan untuk tetap berpegang teguh pada janjinya. Jika semua manusia adalah baik, usul itu keliru. Namun, berhubung manusia tidak baik dan tidak bisa memegang kata-katanya sendiri, penguasa juga tidak perlu berpegang pada kata-kata yang dijanjikan. Juga apabila belum ada alasan yang benar secara hukum, penguasa bisa saja menutupi ingkar janjinya dengan kebohongan.
Kita boleh tidak setuju dengan pendapat Machiavelli itu. Namun, jika kita terima sebagai sinisme terhadap kekuasaan, pendapat itu akan membuat kita realistis terhadap fakta bahwa kekuasaan tak lepas dari kebohongan. Kata Machiavelli, kekuasaan terkait dengan kodrat manusia yang suka bohong.
Memang, bohong, kebohongan, dan pembohongan telah menjadi bagian dari hidup manusia. Tak ada larangan yang begitu sering dilanggar seperti larangan jangan berbohong. Di dunia ini ada manusia yang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berselingkuh, tetapi tak pernah ada manusia yang tak berdusta atau berbohong. Maka, kata novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas di bibir hati terdalam manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan bisa menyelip ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepura-puraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis.
Oli kebohongan
Kebohongan bisa menyelip ke mana-mana, apalagi ke dalam politik. Itulah yang sesungguhnya kita alami sekarang ini. Politik kita memang sedang bermantelkan kebohongan. Meminjam kata-kata sutradara teater dan esais di Paris dan Berlin, Benjamin Korn, politik kita bagaikan mesin yang olinya adalah kebohongan. Dalam politik macam ini, para politikus tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi hanya bagaimana meningkatkan kerakusan dan berahi kekuasaan. Caranya dengan mempraktikkan kebohongan.
Kalaupun relasi politik kelihatan lancar, itu bukan karena para politikus menepati norma dan etika kebenaran, melainkan karena hubungan itu dilumasi terus dengan oli kebohongan. Sekali pelumasan kebohongan berhenti, mesin politik akan macet. Jika macet, mesin politik hanya merugikan. Maklum, politik kita berjalan tidak semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga memanfaatkan kekuasaan untuk mengumbar nafsu ketamakan akan harta dan uang.
Maka, roda gila kebohongan bergerak semakin cepat, sampai kita tidak kuasa lagi mengeremnya. Kita diseret untuk hidup dalam sistem kebohongan. Kita pun tertipu dan terjerat total oleh kebohongan itu sampai kita seakan tak dapat lagi keluar. Kita jengkel, tetapi tak tahu mana jalan keluar. Lama-lama kita juga terninabobokkan oleh kebohongan itu. Itulah mungkin maksud Henrich Heine ketika ia bilang, ”Penipuan itu manis, tetapi ketertipuan lebih manis lagi rasanya.”
Itukah yang terjadi ketika kita menyaksikan sidang yang menghadirkan saksi Angelina Sondakh? Kita jengkel mendengar kilahnya, tetapi seperti masokis yang suka disakiti, kita menikmatinya juga. Rasanya seperti ketika kita jengkel dan muak dengan segala superfisialitas kontes putri ayu Indonesia, tetapi toh kita menikmati peragaan kecantikan dan kemolekannya.
Ibu segala dosa
Kebohongan memang sulit diberantas. Filsuf Imannuel Kant mengibaratkan kebohongan bagaikan kayu bengkok, tidak mungkin ditukangi untuk diluruskan.
Kalau demikian, mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab, kata Kant, pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan meniadakan martabat manusia. Lebih lanjut, ujar Kant, juga jika terjadi dengan maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan jatuhnya ketidakpercayaan, roboh pula sendi-sendi hukum. Kemanusiaan akan menderita karenanya. Bohong itu merugikan, tidak hanya karena merugikan orang lain, tetapi juga karena ia mengeringkan sumber-sumber hukum.
Tak usah kita berguru kepada pemikir Barat untuk mengutuk kebohongan. Guru bangsa kita, Prof Dr Hamka, sudah mengulas habis kebohongan dalam bukunya, Bohong di Dunia (cetakan III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana sikap agama-agama Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan; bohong dalam ilmu jiwa; dan pendapat para filsuf, Aristoteles, Rosseau, dan Stanley Hall, tentang kebohongan.
Dalam pengantar buku tersebut—ditulis di Bukittinggi tahun 1949—Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dusta adalah ibu daripada segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu itu kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.
Menurut Hamka, pada fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang asli adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba memaksa manusia menempuh jalan bohong. Lalu, diberikannya gambaran tentang kebenaran. Gambaran Hamka tentang pentingnya kebenaran dan seruannya untuk melawan kebohongan ini harus tetap berkumandang:
”Cobalah menoleh ke mana saja pun tuan mau, tuan akan melihat bahwasanya kebenaranlah yang jadi sendi segala macam bidang kehidupan. Saudagar yang pembohong hanya berlaba sebentar, ekonom yang sejati harus bergantung pada kejujuran, amanat, keteguhan janji, dan keberesan buku perniagaan yang dijalankan dengan segala macam kicuh tidak memberikan ketenteraman bagi jiwa dan tidak kemakmuran. Saudagar penipu hanya berlaba amat sedikit dan rugi lebih banyak karena dia memandang keuntungan yang sekejap bukan laba yang berlama. Tukang yang pemungkir janji dan tidak meladeni kehendak langganan lekas ditinggalkan orang. Majikan yang pembohong diboikot anak semangnya. Guru yang pembohong ditinggalkan muridnya.”
Dan, betapa kata-kata Hamka tentang kebohongan dalam dunia hukum ini seperti memantulkan kembali karut-marut hukum kita dewasa ini: ”Hakim yang pembohong mengacaukan jalan perkara dan menghilangkan rasa keamanan rakyat. Si tertuduh yang berdusta mempersulit jalan perkara. Kesaksian dusta pun lebih mengacaukan lagi: keadilan tersembunyi, orang yang benar teraniaya, dan orang yang bersalah terlepas dari hukuman. Bangsa yang pembohong membawa merosot seluruh kebangsaannya dan kemuliaan negaranya.”
Hamka mengatakan bahwa bohong itu dinamai juga khianat. Dan, untuk itu ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: ”Amatlah besarnya khianatmu jika engkau cakapkan kepada saudaramu suatu perkara, yang dia menyangka perkataanmu benar. Padahal, engkau sendiri merasa bahwa engkau berdusta.”
Sekali lagi, betapa relevannya kata-kata ini bagi dunia persidangan korupsi kita akhir-akhir ini: khianat adalah laknat.
Jembatan kejujuran
Bohong adalah kanker di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya. Karena itu, kebijakan Jawa mengajar: Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya). Orang boleh berdandan secantik Putri Indonesia, tetapi apabila ia tidak bisa menjaga bibirnya—artinya suka berbohong—ia tidak berharga sama sekali. Keelokan hanya pada busana dan raganya dan keelokan macam ini hanyalah luaran belaka sejauh tidak dibarengi keelokan bibirnya: bukan karena olesan lipstik mahal, melainkan karena menjadi muara kejujuran hatinya.
Memang kita harus hati-hati dengan bibir kita. Dalam Serat Kancil, pujangga Raden Panji Natarata menulis tentang uwot (jembatan) siratalmustakim. Dalam khazanah Jawa, jembatan itu juga disebut uwot ogal-agil. Jembatan itu selalu goyang karena lebarnya hanya sehelai rambut dibelah seribu. Siapa gagal melewati jembatan, ia akan tercemplung ke dalam neraka jahanam. Dalam pengadilan di hari akhir, setiap orang harus melewatinya. Mana mungkin? Mungkin saja jika berhati tulus dan jujur.
Menurut Raden Panji Natarata, ujian lewat jembatan itu tidak harus datang pada akhir zaman. Katanya, uwot siratalmustakim aneng tutukmu samana kang sanyata (jembatan siratalmustakim itu nyata-nyata ada di bibirmu sekarang). Dengan kata lain, siapa bicara benar, sekarang juga ia lulus. Sebaliknya, siapa bicara bohong, berarti ia gagal meniti jembatan penguji kebaikan dan kejahatan manusia itu. Tidak usah menunggu pengadilan terakhir, sekarang juga ia terpelanting ke dalam neraka kenistaan.
Sekarang bangsa ini sedang meniti uwot siratalmustakim. Jika para pemimpin bangsa yang menuntun kita tak lagi berhati jujur dan mulutnya terus membualkan kata-kata dusta, mereka tidak hanya menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenistaan, tetapi juga mencemplungkan kita ke dalam kenistaan. Harga diri bangsa akan terhina dan kita hidup dalam neraka saling ketidakpercayaan.
Dengan hati berdebar-debar kita mengikuti jalannya sidang. Inilah saat kritis, di mana kita dijemput untuk meniti uwot siratalmustakim. Semoga para politikus, jaksa, hakim, pengacara, dan pemuka bangsa yang terlibat sudi anyirnakake ati goroh minangka laku tapane, menyingkirkan hati yang bohong sebagai tindak asketisnya.
Sindhunata Wartawan; Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Tuesday, February 14, 2012

The Happy Priest




Menemukan kebebasan sejati melalui KETAATAN kpd Tuhan
Oleh Rm. James Farfaglia

Ketaatan merupakan kebajikan yg sangat sukar krn terkadang kebenaran benar-benar menyakitkan. 
Tapi, kita harus menyesuaikan hidup kita kepada kehendak Tuhan, bukan kehendak kita. 

Saya terus memberitakan Injil dan ajaran Gereja Katolik, meskipun hanya tersisa lima orang dibangku gereja. Gereja Katolik bukan menjalankan kontes ketenaran. 
Kebenaran harus selalu dijelaskan dengan kebaikan hati dan kesabaran, tetapi kita tdk akan pernah mengkompromikan kebenaran itu sendiri.

Sebagai org terbaptis Katolik merupakan kewajiban kita untuk patuh kepada Tuhan dan untuk mematuhi ajaran Gereja-Nya. Kepatuhan kepada Tuhan dan kepatuhan kepada Gereja-Nya merupakan pengalaman yang paling membebaskan yang diketahui oleh pribadi manusia.

Ketaatan memberikan kita kebebasan mutlak karena kita tidak berkubang didalam dosa, pikiran, keraguan n kesalahan. Mari kita mengingat apa yang Yesus katakan dilain tempat di dalam Injil: "kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu." (Yoh 8:32).

Kita semua tahu kita hidup didalam masa kekacauan. Ada kekacauan di dalam Gereja Katolik, ada kekacauan didlm masyarakat dan ada kekacauan di dlm kehidupan berkeluarga. 
Knp begitu banyak kekacauan? Ketidaktaatan. 
Orang tidak mendengarkan. Orang melakukan urusan mereka sendiri.

Sbg Imam Katolik saya terus menerus dikritik oleh bbrp dan diabaikan oleh org lain krn saya berdiri tegak dan dg penuh percaya diri, dg Paus dan semua ajaran Gereja. 
Saya mendengar komentar dr org yg mengatakan bhw bbrp org tdk dtg ke paroki saya krn mrk diberitahu apa yg harus dilakukan atau krn sy terlalu keras. Kita hidup di dalam jaman pemberontakan, ketidakpatuhan dan apostasy. Kebanyakan orang tidak mau mendengar kebenaran dan kebanyakan orang tidak mau diberi tahu bgmn menjalani hidup mrk, bahkan dlm aspek yg paling fundamental dari cara hidup orang Kristen.

Sebenarnya, kita bisa berbalik ke bagian lain dari Kitab Suci dan menemukan gambaran jelas pada waktu yang kita jalani skrg ini. St. Paulus, surat keduanya mengatakan kepada Timotius:

"Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberitaan Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!" (2Tim 4:3-5) 

Saya percaya bahwa kita hidup dijaman yang St.Paulus prediksikan.

Hari ini, kita semua tahu bhw Gereja, masyarakat dan keluarga berada didalam keadaan kekacauan karena kebanyakan orang tidak mau mendengarkan n kebanyakan org melakukan perbuatan mrk sendiri. Apa yg sehrsnya anda lakukan sekrg ini dan krisis yang sedang berjalan saat ini? Setialah dalam iman dan bertekunlah.

Hidup dan belalah Sepuluh Perintah Allah.
Hidup dan belalah Kitab Suci. Hidup dan belalah semua ajaran Gereja Katolik.

Kita semua tahu bhw hari ini semua org bisa menemukan Imam yg akan mengatakan kpd mereka apapun yg mrk mau dengar. Kita memiliki hadiah yang hebat dari Katekismus Gereja Katolik. Jika ada Imam yang mengatakan sesuatu yang tidak ada disana, tinggalkan. Temukan seorang Imam yang setia, berbicara kebenaran dan memiliki keberanian untuk mengambil sikap.

Amat disayangkan, hari ini, kebanyakan orang Amerika tidak mau mendengar kebenaran. Dalam kehidupan saya sebagai imam paroki saya sudah melihat orang pergi meninggalkan kebenaran hanya demi semangkuk kacang. Sebagian besar, yang mereka semua ingin lakukan adalah melanjutkan gaya hidup tak bermoral mereka.

Katekismus Gereja Katolik dengan hebat menjelaskan hubungan antara pelanggaran susila sekual dan kehilangan iman dengan perkataan ini:

"Sabda bahagia keenam menyampaikan: "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah". 
Hati yang murni merujuk kepada mereka yang telah membiasakan pikiran dan kemauan mereka untuk tuntutan kekudusan Allah, terutama didalam tiga arena: cinta kasih; kemurnian atau kejujuran seksual ; kasih dari kebenaran dan ortodoksi iman" (KGK2518)

Saya sangat gembira sekali fakta bahwa orang muda dan keluarga muda yang lapar akan Katolik-isme yang sesungguhnya. Saya sangat gembira sekali melihat begitu banyak orang muda dan keluarga muda di parokiku. 
Mereka memberikan harapan kepada masa depan. Mereka benar-benar mendapatkannya dan mereka membuat pilihan heroik dalam rangka untuk menjalani hidup sesuai Injil dalam dunia yang sangat menantang.

Romo James Farfaglia, The Happy Priest, adalah Pastor dr Santa Helena Salib Asli dr Yesus Gereja Katolik di Corpus Cristi, Texas dan jg anggota dr Board Direktur Human Life International. 
Anda bisa menunjungi website Romo James di www.fatherjames.org