We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Monday, September 5, 2011

Merenungi Kematian

When you are sorrowful look again in your heart, and you shall see that in truth you are weeping for that which has been your delight ~ Kahlil Gibran
(in memoriam - MRT 04 September 2011)

Semua manusia mati. Sokrates manusia. Sokrates mati.
Itulah contoh dari guru logika untuk menjelaskan silogisme, yakni hukum penalaran yang menetapkan bahwa yang partikular selalu mengikuti yang universal.

Pernyataan ”semua manusia mati” merupakan premis pertama, sebagai kenyataan universal yang diandaikan atau diterima umum. Sifatnya pasti.
Pernyataan kedua, ”Sokrates manusia” merupakan premis tengah, sebagai kenyataan baru, yakni ada seseorang (manusia) bernama Sokrates.
Pernyataan ketiga, ”Sokrates mati” merupakan kesimpulan yang ditarik dari logika bahwa Sokrates sebagai bagian dari manusia juga mengalami kematian.

Semua dokter yang merawat orang sakit mengenal logika ini. Meski demikian, mereka berusaha agar kematian bisa dicegah atau ditunda sejauh mungkin, dengan cara apa pun.

Namun, yang lebih menarik dari logika kematian Sokrates adalah moral kematian Sokrates. Sokrates mati bukan karena sakit atau karena dibunuh penguasa, seperti terjadi pada diri orang-orang yang baik, yang memperjuangkan hak asasi, tetapi karena minum racun. Dia minum racun bukan karena ”bunuh diri”, sebagaimana dikenal dalam banyak kasus sosial, misalnya karena putus asa, stres, bosan hidup, atau takut menghadapi masa depan.

Menurut keputusan pengadilan yang terdiri dari para hakim yang iri pada pengaruhnya, Sokrates didakwa merusak anak-anak muda dan dijatuhi hukuman mati karena mengajarkan cara berpikir yang kritis.
Dengan tenang ia menenggak racun, sebagai cara eksekusinya, dan sadar pada kewajibannya untuk taat pada negara. Ia tidak minta grasi untuk memperpanjang hidupnya. Ia melarang sobat-sobatnya mengumpulkan uang untuk menyogok hakim guna pembebasannya. Sokrates menerima dan mencintai nasib (amor fati), dan kelak diwarisi kaum Stoa.


Mitos kematian
Dalam buku Necrocultura (Castelvecchi, 1998). Fabio Giovannini melukiskan sikap orang zaman ini berhadapan dengan kematian. Dari kebudayaan yang dikembangkan orang zaman sekarang, misalnya dalam lirik musik, fotografi, film, lukisan, atau upacara-upacara kematian dan penguburan, tampak bahwa orang tidak lagi takut pada kematian. Mereka tidak mau memitoskan kematian sebagaimana agama-agama di masa lalu, dengan upacara-upacara yang mengelabui, menghias si mati seolah mau bepergian sebentar, membayangkan janji mengenai kehidupan di akhirat dan sebagainya.

Sebaliknya, kini budaya kematian mau memasuki realitas apa adanya, dengan seluruh tragikanya, misalnya dengan memperlihatkan darah, badan membusuk, daging yang lemah, dan sebagainya.

Analisa Giovannini tampaknya berlaku untuk dunia Barat, dengan budaya pos-religius atau poskristianismenya. Necrocultura sepertinya menawarkan penyelesaian pragmatis, di mana kematian bisa dipesan di rumah sakit melalui eutanasi, atau dalam kasus kriminal melalui pembunuhan, ditangani secara bisnis dengan kemasan peti mati, kereta pengantar jenazah, upacara penguburan yang luks dan obituari di media. Tak ada yang perlu ditakutkan, semua berjalan lancar. Tidak ada setan atau roh gentayangan sebab dunia orang mati tidak terpisahkan dari dunia orang hidup. Tidak ada lagi batas misteri antara kematian dan kehidupan.

Lain lagi gambaran kematian dalam Village of the Watermills. Dalam salah satu bagian dari delapan episode film Dreams (1990) ini, sutradara Jepang—Akira Kurosawa—melukiskan mimpinya tentang sebuah desa Kincir Air yang masyarakatnya dekat dengan alam. Mereka tidak takut pada kematian, bahkan menyambutnya dengan gembira.
Seorang petualang yang datang ke sana bertanya kepada seorang kakek tua dan mendapat keterangan, ”yang penting bekerja keras, berusaha hidup panjang. Setelah itu disyukuri.” Lalu petualang itu menyaksikan penguburan seorang nenek yang meninggal pada usia 99 tahun.
Peristiwa itu dirayakan masyarakat dengan musik dan nyanyian. Anak-anak menari dengan gembira sambil menaburkan bunga di depan arak-arakan. Jauh berbeda dari upacara penguburan militer zaman ini, yang begitu serius dan berat. Namun, ada hubungan mendalam yang perlu dipikirkan saat kakek tua dari Village of the Watermills itu mengatakan, ”yang penting bekerja keras” dan ”hidup panjang” dengan kata-kata ”disyukuri”.

Disyukuri
Orang perlu merenung untuk bisa sampai pada pengertian kata ”disyukuri” (be thanked). Apanya yang disyukuri? Hidupnya atau matinya? Lebih-lebih karena ia menambahkan kata-kata, ”kami tak mempunyai kuil, atau imam.” Namun, upacara penguburan itu justru indah dan membahagiakan (a nice happy funeral).

Sama-sama menafikan agama, yang mungkin mereka anggap sebagai lembaga yang menabukan kematian, Akira Kurosawa dan Giovannini mempunyai pandangan berbeda. Sementara Giovannini melukiskan Necrocultura sebagai kenyataan masyarakat sekuler dewasa ini, dengan kebudayaan pragmatisnya dalam segala segi kehidupan, termasuk kematian, Akira Kurosawa melukiskan kematian dengan begitu akrab, sebagai bagian proses alam yang wajar.
Namun, lebih dari itu, kata ”disyukuri” dalam film Kurosawa mempunyai bobot penilaian yang tidak bisa ditawar. 

Secara moral, tampaknya tidak semua kematian bisa disyukuri. Ada orang yang diperpendek hidupnya dengan paksa melalui pembunuhan, sebaliknya ada orang yang mampu memperpanjang hidupnya karena kemajuan teknologi dan tawaran bisnis medis yang luar biasa.
Namun, keduanya membuat kematian dijauhkan dari proses alami yang wajar. Film Kurosawa seperti memberi inspirasi, agar orang mau bekerja keras bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk mengabdi. Sesudah itu, kematian menjadi akrab, bisa diterima dengan ceria dan disyukuri.

Dalam novel Yasunari Kawabata, The Old Capital (1962), ada episode yang menarik, yakni saat Hideo memberi alasan mengapa ia melukis bunga tulip dalam kimono yang dihadiahkan kepada Chieko, gadis pujaannya. ”Bunga tulip itu hidup,” katanya kepada Takichiro, ayah Chieko.
Bunga tulip hanya hidup sesaat tetapi memberi keindahan penuh. Dan hidup yang diwarnai cinta seperti tulip, tak perlu berlama-lama. Sesudah menyatakan diri, dengan rona keindahan dan aroma, bunga itu mengakhiri hidupnya. Perpanjangan hidup hanya akan menjadi waktu yang sia-sia.

sw-sept'2011