We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Saturday, June 18, 2011

Ayat-ayat Cinta


Apakah lagi yang mau dikatakan tentang cinta?--demikian sindir Shakespeare. Namun toh kisah cinta tak pernah berhenti menyihir. Demikian pun film Ayat-ayat Cinta (AAC). Film ini mengisahkan Fahri bin Abdillah, pemuda Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo. Karakternya yang humanis, bersahaja, santun, pintar dan tampan membuat banyak wanita terpikat padanya. Ada Maria Girgis, jelita penganut Kristen Koptik; Nurul, teman kampus dan anak Kyai; Aisha, cantik berdarah Jerman; lantas ada Noura, gadis yang pernah diselamatkan Fahri dari kebengisan ayah tirinya. Tapi dari sanalah justru sumber petakanya. Gadis-gadis jelita itu menyimpan rasa yang tak berucap. Fahri yang memilih Aisha, akhirnya mendatangkan luka bagi gadis lainnya. Fahri masuk penjara karena dituduh memperkosa Noura dan terancam dihukum gantung. Dari sekedar romansa picisan, kemenangan film ini dalam menawarkan nilai, dan karena itu dibanjiri penonton.

AAC yang diangkat dari Novel Habiburrahman El Shirazy berkisah tentang keikhlasan dan kesabaran. Dua mantra yang kini banyak dikutip di pengajian dan renungan rohani. Berbeda dengan sebuah dakwah, film ini justru jauh dari kesan menggurui atau sinis.

Secara pribadi AAC mengingatkan saya pada "Ayat-ayat Cinta" yang lain. Ayat-ayat adalah rangkaian kata-kata yang menghadirkan Cinta. "Pada mulanya adalah Kata-kata (baca: Sabda), dan Kata-kata itu adalah Allah!" demikian Evangelist Yohanes mengawali Injilnya. Ayat-ayat itu sendiri adalah Allah. "Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah menganugerahkan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal." Ayat-ayat itu adalah ungkapan Cinta tertinggi Allah kepada kita. Dia yang jauh, yang selama ini hanya kita kenal lewat alam ciptaNya yang indah, para nabiNya, kini datang sendiri sebagai pribadi kepada kita. "Kata-kata itu telah menjadi daging (baca:manusia) dan tinggal di antara kita."

Ayat adalah kata. Hakekat kata adalah perbedaan fonem (bunyi) yang menciptakan makna. Kini Si "Ayat Cinta" mengosongkan diriNya agar menjadi sama seperti kita. "Ia sekalipun kaya, telah menjadi miskin karena kamu, supaya kamu menjadi kaya oleh kemiskinanNya," demikian Rasul Paulus, "Ia tidak menganggap kesataraanNya dengan Allah sebagai milik yang mesti dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."

Bila fonem (bunyi) harus mengosongkan dirinya berarti ia harus rela kehilangan bunyinya. Alias diam! Maka di situ letak kebesaran Sang "Ayat-ayat Cinta": diam, tidak berontak, ikhlas menerima nasibNya. Sebagai Sang Kata itu sendiri, Ia rela kehilangan diriNya. Ia rela tak terbaca dan tak terbunyikan, lantas disalahartikan. "Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; dan seperti anak domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak membuka mulutNya." Ketaatan dan keikhlasan menerima jalanNya itulah yang justru membuahkan kemuliaan: "Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepadaNya nama di atas segala nama.."

Seperti Fahri yang selama di penjara belajar artinya sabar dan ikhlas dari seorang narapidana gila, kita pun belajar dari seorang narapidana lain tentang makna ikhlas dan ketaatan, kesabaran menekuni panggilan hidup kita. Sang Kata yang membiarkan diriNya terperangkap dalam penjara "diam". Ia merelakan diriNya tak bersuara, meski dimilikiNya kuasa. Hanya saja tak seperti Fahri dalam AAC yang mendakwa Tuhan karena berlaku tak adil, Sang Ayat-ayat Cinta justru berubah menjadi nyanyian sunyi. Di titik itu Ia mau menemani mereka semua yang tengah menyusuri jalan sunyi hidupnya yang gelap. Keikhlasan lahir ketika kita dengan tulus menerima apa adanya, meski tak banyak pengertian kita dapati di dalamnya. Kecewa, amarah, iri dan dengki adalah tanda tiadanya tulus dan ikhlas dalam hidup.

Jauh dari hangatnya Kairo, lorong-lorong berpasir ke Pyramida, ukiran kaligrafi di bentangan kubah, sekelompok orang muda tengah merenda cinta, membangun keberanian, menjawabi tantangan. Ketulusan dan keikhlasan adalah dasar dari keberanian mereka menanggapi panggilan Tuhan. Apakah yang dicari seorang bocah belasan tahun meninggalkan hangatnya pangkuan dan nyamannya keluarga, jika bukan tersihir Ayat-ayat Cinta? Hidup sebagai orang yang terpanggil berarti dengan tulus menyediakan diri sebagai suara. Bila tidak "Ayat-ayat" itu hanyalah pahatan di loh-loh batu, huruf-huruf di halaman kertas tanpa bunyi.

Seorang rekan yang pernah 6 tahun di Botswana-Afrika menyarikan pengalamannya sebagai misionaris tak lain adalah pengalaman bergumul dengan Sang Ayat-ayat Cinta, Sang Kata, Sang Sabda, Firman, Kalitma'tullah. Sebab hanya karena sihir Sang Kata sajalah maka ia bisa memberi penjelasan tentang keberadaannya di negeri nan tadus itu. Selain kemiskinan, HIV tengah menggerogoti selangkangan negeri itu. Apakah yang dicarinya sehingga ia seperti terperangkap dalam sebuah penjara kemiskinan? 6 tahun dilakoninya dengan tulus. Hidup sebagai orang terpanggil berarti menyediakan diri dengan tulus untuk menjawabi panggilan Tuhan. Pernah setelah masa pelayanan itu usai, di bangku kuliahnya di Bristol-Inggris, ia mengirimiku puisinya.

Kau adalah kata-kata

Kau adalah kata-kata hari kemarin
Yang sudah berlalu bersama masa
Tapi masih nyaring di telinga
Dengan makna masih mendetakkan jantung
Pada setiap ketukan di pintu rumahku
Aku masih menanti lagi
Datangnya kata-kata
“Kau kukasihi!”

Kau adalah kata-kata hari ini
Yang terbang bersama sayap-sayap angin
Bersenandung dalam nyanyian harap
Akan suatu saat di sebelah sana
Menikmati air sukma
Dengan hasrat tak pernah sirna
Ketika kata-kata terus menguatkan
“Kau masih kukasihi!”

Kau adalah kata-kata hari esok
Yang masih dalam perjalanan
Sembari diliput rasa ingin mencari
Seakan tapak ini masih harus dilalui
Ketika esok datang memelukku
Kau bakal menepuk bahuku lagi
Dan rindu abadiku terjawab
“Kau tetap*  kukasihi!”

SW.

*aslinya "telah", atas saran seorang teman diganti "tetap".

No comments:

Post a Comment