10 Agustus adalah Pesta St. Lauresius, seorang Diakon yang gagah berani dan dekat dengan para miskin. Bacaan misa hari ini diambil dari 2 Kor 9:6-10: "…Each one should give what he has decided in his own mind, not grudgingly or because he is made to, FOR GOD LOVES A CHEERFUL GIVER. And there is no limit to the blessings which God can send you— he will make sure that you will always have you need for yourselves…" Kata-kata itu begitu kuat dan secara kebetulan saya mendapat kiriman tulisan dari Rm. Markus Marlon MSC tentang MEMBERI. Sesuatu yang mengingatkan saya dengan semangat BERBAGI yang didengungkan akhir-akhir ini. Betapa indahnya "memberi dan berbagi." Berikut tulisan Rm. Marlon yang merupakan permenungannya untuk memperkaya kita semua.
charles dickens |
Charles Dickens (1812 – 1870) novelis Inggris dalam Great Expectations, menceriterakan Pip kecil yang memberi roti yang sedang kelaparan kepada tawanan, yaitu Magwitch yang divonis hukuman mati. Namun dalam perjalanan hidup selanjutnya, Pip bertumbuh dewasa dan mendapatkan bantuan dari donatur yang tidak dikenal. Berkat dana yang jumlahnya tidak kecil itu, Pip akhirnya menjadi orang yang sukses dan hidup dalam level papan atas. Menjelang akhir hayatnya, Magwitch mengaku bahwa dialah orang yang memberi dana kepada Pip, karena ketika dirinya susah, hanya Pip lah yang mau menolongnya, meskipun hanya memberikan sepotong roti saja. Pemberian – meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa memberi sesuatu kepada orang lain tanpa menunda sama dengan memberi dua kali. Bukan hanya yang menerima yang bahagia dengan pemberian itu, tetapi juga yang memberi juga mengalami kebahagiaan, karena bisa berbagi rezeki dengan yang lain.
Teresa dari Kalkuta (1910 – 1997) adalah pribadi yang suka memberi. Sewaktu kecil, ia “belajar memberi” dari ibunya yang bernama Dranafile yang dalam bahasa Albania berarti bunga mawar. Dwiyani Christy dalam Mother Teresa: Melayani Yang Termiskin Dari Yang Miskin, melukiskan bahwa keluarga Bojaxhiu kerap mengundang orang-orang yang miskin, terlantar dan kekurangan. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi Teresa kecil untuk berkarya di kemudian hari. Mother Teresa pernah berkata, “Saya amat terharu dengan orang-orang miskin di Kalkuta. Ketika saya memberikan 1 kg beras kepada orang muslim, tidak lama kemudian orang itu pergi ke tetangganya dan memberikan 1Ž2 kg berasnya kepada orang Hindhu.” Pengalaman Mother Teresa ini tentu saja bisa membuat bibir kita berdecak kagum.
Kebanyakan orang enggan berbagi sesuatu kepada orang lain, karena kepemilikannya pun akan berkurang. Tetapi lain dengan berbagi kebahagiaan, maka kebahagiaan itu akan berlipat ganda. Hati yang bahagia karena sedang mujur, sukses atau mendapatkan rezeki, perlu kita bagikan kepada orang lain. Setiap budaya mengenal yang namanya upacara syukuran. Bersyukur atas kebaikan Tuhan atas rezeki dan keselamatan keluarga. Pengalaman itulah yang dalam upacara Budaya Minahasa terkenal dengan pengucapan. Orang mengadakan pengucapan karena telah diberi banyak berkat dari Tuhan dan dari sana pula berkat itu pun dibagi-bagikan. Yesus mengajar kita untuk berbagi berkat,
“Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikanya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak” (Mat 14: 19). Kisah nabi Elia tentang si janda di Sarfat yang hanya memiliki segenggam tepung untuk dirinya sendiri dan anaknya – karena musim kering. Pada awalnya, ketika si janda diminta untuk memberikan sebagian makanannya, tetapi ada keraguan dalam dirinya. Nabi Elia berkata, “Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi” (1 Raj. 17: 14).
Cami Walker dalam Keajaiban Memberi menerangkan bahwa dengan memberi sesuatu kepada orang lain, ternyata akan memberikan pula kesehatan sang pemberi. Memberi serupa dengan tindakan positif yang akan berdampak pada energi kehidupan. Orang China mengenal istilah cincai. Orang yang mudah memberi itu tidak terlalu perhitungan. Anehnya dan memang nyata, orang-orang yang mudah memberi juga mudah mendapat. Dari sudut pandang Firman Tuhan ini disebut hukum tabur tuai.
“Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19: 29).
Sebaliknya orang yang pelit dan terlalu banyak perhitungan baik dengan Tuhan maupun sesama, maka berkat juga sulit turun untuk orang-orang seperti ini. William James Sidis adalah seorang genius Amerika. Ia memiliki IQ tertinggi, melebihi Leonardo da Vinci (1454 – 1519) dan John Suart Mill (1806 – 1873). Pada usia 16 tahun dia sudah menjadi guru besar. Tetapi dia memiliki kehidupan yang tragis. Pada usia muda ia meninggal dunia dan namanya hilang seturut berjalannya waktu. Daya intelektualnya yang tinggi tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia.ia pelit mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya. Sebaliknya, para contributor pengetahuan kepada banyak orang akan menemukan hidup yang penuh (fully human, fully alive), karena hidup mereka berguna bagi banyak orang. Tetapi tidak jarang kita menemui orang yang pelit dan “penuh perhitungan”. Segala sesuatunya diperhitungan dengan uang. Di sanalah muncul ungkapan, “mata duitan.” Orang tersebut diminta untuk melayat tetangganya, tetapi jawabnya adalah rugi waktu. Diminta untuk mengangkat barang temannya tetapi dia berkata, “rugi tenaga”. Di Gereja harus mengeluarkan uang untuk kolekte, dia berkata, “rugi uang.” Orang semacam ini memiliki mental miskin. Meskipun dari segi materi, dirinya kecukupan, namun tetap merasa kurang dan kurang. Lebih lagi, dia menerapkan prinsip, do ut des yang artinya memberi supaya mendapatkan atau memberi dengan pamrih.
Mother Teresa with armless kid |
Kebanyakan orang enggan berbagi sesuatu kepada orang lain, karena kepemilikannya pun akan berkurang. Tetapi lain dengan berbagi kebahagiaan, maka kebahagiaan itu akan berlipat ganda. Hati yang bahagia karena sedang mujur, sukses atau mendapatkan rezeki, perlu kita bagikan kepada orang lain. Setiap budaya mengenal yang namanya upacara syukuran. Bersyukur atas kebaikan Tuhan atas rezeki dan keselamatan keluarga. Pengalaman itulah yang dalam upacara Budaya Minahasa terkenal dengan pengucapan. Orang mengadakan pengucapan karena telah diberi banyak berkat dari Tuhan dan dari sana pula berkat itu pun dibagi-bagikan. Yesus mengajar kita untuk berbagi berkat,
“Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikanya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak” (Mat 14: 19). Kisah nabi Elia tentang si janda di Sarfat yang hanya memiliki segenggam tepung untuk dirinya sendiri dan anaknya – karena musim kering. Pada awalnya, ketika si janda diminta untuk memberikan sebagian makanannya, tetapi ada keraguan dalam dirinya. Nabi Elia berkata, “Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel, tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itu pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi” (1 Raj. 17: 14).
Cami Walker dalam Keajaiban Memberi menerangkan bahwa dengan memberi sesuatu kepada orang lain, ternyata akan memberikan pula kesehatan sang pemberi. Memberi serupa dengan tindakan positif yang akan berdampak pada energi kehidupan. Orang China mengenal istilah cincai. Orang yang mudah memberi itu tidak terlalu perhitungan. Anehnya dan memang nyata, orang-orang yang mudah memberi juga mudah mendapat. Dari sudut pandang Firman Tuhan ini disebut hukum tabur tuai.
“Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19: 29).
William James Sidis |
Jansen Sinamo |
Jansen Sinamo dalam Korupsi dan Keluhuran memberikan ilustrasi bahwa alam semesta itu memberikan kepada manusia sesuatu yang seimbang. Alam tidak pernah korupsi. Ekektron, misalnya hanya bersedia menerima jatah energi yang sudah ditetapkan alam baginya sebesar kelipatan bulat konstanta Planck (Kompas, 4 Juni 2011). Alam bekerja dengan prinsip “secukupnya”, tidak berlebihan dan tidak berkekurangan. Mahatma Gandhi ( 1869 – 1948), pernah mengatakan bahwa dunia ini memberikan rezeki yang berlebihan kepada semua umat manusia yang bersyukur, namun tidak cukup bagi satu orang yang serakah. Beberapa abad sebelum Mahatma Gandhi lahir, Horatius (,,,,,) pernah berkata, “Semper avarus eget” yang artinya orang yang serakah selalu menuntut. Alam semesta memberikan yang terbaik kepada umat manusia. Tetapi eksploitasi alam semesta pada akhirnya mencelakakan penghuni planet itu sendiri. Banjir dan global warming serta penggundulan hutan adalah beberapa kejadian dari keserakahan umat manusia. Pengalaman memberi memang sungguh indah. Belum lama ini saya berjalan-jalan di Pantai Kalasey dengan seorang tamu dari luar kota. Sore hari itu saya mengajak tamuku untuk melihat sunset. Ketika detik-detik, matahari akan kembali ke peraduannya, tamu itu berkata kepada saya, “Sahabat, terima kasih atas pemandangan indah yang engkau berikan kepada saya.” Saya malu, karena tidak memberikan sesuatu pun kepada tamuku itu, tetapi serentak menyetujui bahwa saya telah “memberi sesuatu” kepada tamuku itu.
No comments:
Post a Comment