OLEH K BERTENS
Beberapa waktu lalu dalam rubrik "Klasika" Kompas edisi 5 Maret 2012 dimuat artikel singkat, "Etika Berbicara di Telepon". Di situ dijelaskan bagaimana operator telekomunikasi di perusahaan harus menjalankan tugasnya. Misalnya, ia tidak boleh bicara dengan nada tinggi. Nada bicara harus selalu dijaga dan tetap tenang. Sebagai pembuka percakapan, ia harus mengucapkan salam dan menyebutkan namanya kepada lawan bicara. Sebelum menutup pembicaraan, ia tidak boleh lupa mengucapkan terima kasih kepada lawan bicara, dan seterusnya.
Tidak disangkal, semua petunjuk itu berguna dan malah penting karena penampilan seorang operator telepon untuk sebagian menentukan "wajah" perusahaan bagi dunia luar. Namun, tidak benar bahwa hal-hal itu menyangkut etika. Petunjuk-petunjuk tadi bicara tentang etiket saja, bukan tentang etika. Mestinya penulis memakai judul "Etiket Berbicara di Telepon".
Seperti sering terjadi, di sini pun etika dicampuradukkan dengan etiket. Padahal, dua pengertian itu sangat berbeda: etika mengacu ke ranah moral, sedangkan etiket mengacu ke ranah sopan santun. Memang benar, ada alasan juga mengapa etika dan etiket sering disamakan. Pertama, bentuk kedua kata itu dalam bahasa Indonesia sangat mirip, seolah-olah yang satu hanya sekadar variasi dari yang lain. Kedua, dan lebih penting lagi, baik etika maupun etiket mengandung norma bagi tingkah laku kita.
Menurut etiket, kita sebagai pegawai perusahaan tidak boleh berbicara dengan pelanggan di telepon dengan nada tinggi atau dengan cara tidak sabar. Menurut etika, kita tidak boleh berdusta melalui telepon (ataupun dengan cara lain). Dalam dua contoh ini etiket dan etika memberi norma tentang perilaku yang sama, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda. Etiket menyoroti baik-buruknya perilaku dalam arti sopan santun. Etika menyoroti baik-buruknya perilaku dalam arti moral.
Di sini tentu tidak dimaksudkan bahwa segi sopan santun tidak penting dalam pergaulan di masyarakat. Hanya mau dikatakan bahwa segi moral jauh lebih penting lagi. Mengapa demikian? Karena etiket hanya memandang manusia dari luar, sedangkan etika menilai manusia dari dalam dengan melihat ke dalam hatinya. Misalnya, kita menyaksikan bagaimana seorang koruptor melalui pembicaraan di Blackberry-nya dengan pejabat pemerintah merencanakan suatu usaha korupsi besar-besaran. Perilakunya sangat sopan. Berulang kali kita dengar, "Ya, Pak", "Tidak, Pak", "Terima kasih, Pak" dengan nada halus dan hormat. Namun, bagaimana dari sudut etika? Walaupun kita tidak mengerti isi pembicaraan karena orang itu terus pakai kode, pada kenyataannya perilakunya sangat tidak etis.
Barangkali sekarang sudah jelas mengapa etika dan etiket tidak boleh dicampuradukkan. Kalau kita lakukan begitu, kita bisa membuat kesalahan fatal dalam menilai tingkah laku orang. Banyak penipu berhasil dalam melakukan kejahatan justru karena berlaku sangat halus dan sopan. Sambil sepenuhnya memenuhi norma etiket, orang tetap bisa munafik. Etiket bisa menjadi kedok untuk menyembunyikan perbuatan yang tidak etis sekalipun. Dalam konteks etika, hal itu tidak mungkin.
Dikutip dari Harian Kompas Jumat, 13 April 2012
No comments:
Post a Comment