Dikutip dari harian Kompas 26 Februari 2012
Artikel ini terlalu menarik untuk dilewatkan, oleh sebab itu saya share-kan melalui blog ini sekiranya ada yang belum membacanya.
Garin Nugroho
” Tidak saja Eldorado, juga Elpicante.” Inilah seruan Columbus, Juli 1503, merujuk istilah emas dan bumbu rempah, ketika menemukan wilayah yang kemudian disebut Indonesia. Wilayah ini disebut sebagai terkaya di dunia, dipenuhi bahan-bahan perdagangan dan pangan: emas, mutiara, rempah-rempah, kayu manis, hingga kayu gaharu, kopi, gula, beras.
”Ketika makanan habis, mereka terpaksa makan biskuit dari serbuk gergaji dicampur dengan kotoran tikus.” Inilah catatan mengenaskan dari awak kapal penjelajah Portugis termasyhur, Fernando Magellan (1519), ketika harus melintasi Samudra Pasifik. Tentu saja, salah satu ekspedisi termahal dengan 270 awak ini membawa impian tentang kekayaan alam Indonesia. Impian itu melibatkan pertempuran berbagai bangsa dan suku. Fernando Magellan yang termasyhur mati secara mengenaskan di Maluku.
Kekayaan alam adalah drama global.
Tak bertuan
Maraknya berita konflik tambang dan pangan berkait tanah mengisyaratkan bahwa tragedi Magellan menjadi seri drama di berbagai wilayah negeri ini. Awal tahun ini, masuklah ke desa Sumi, Rato, hingga Lanta timur Bima. Di ujung-ujung jalan, terpasang batu-batu besar hingga pohon digunakan untuk menutup jalan. Situasi layaknya medan perang, sebuah wilayah tak bertuan.
Seorang teman, yang berbisnis batubara, bahkan berseloroh, wilayah tambang Indonesia seperti situasi wilayah Amerika tahun 1830 dalam film Wild West. Sebuah situasi negara tanpa pemerintahan, yang berkuasa adalah kekuasaan lokal, dukungan politik, premanisme, kekuatan uang, dan permainan bisnis global. Yang ada cuma anarkisme kapitalis dan private property anarchist.
Lencana konstitusi
”Menguasai minyak, kamu bisa mengontrol negara. Menguasai makanan, kamu akan mengontrol masyarakatnya.” Ucapan Henry Kissinger ini saya tulis tebal dalam buku harian saya. Mengingat, PBB masih mencatat Indonesia sebagai wilayah sumber daya pangan dunia. Ironisnya, tahun lalu, Indonesia masih mengimpor 59 jenis produk pangan. Sebutlah beras, gula, garam, cabai, kacang-kacangan, jagung, hingga kedelai, sebagian mengimpor dari India dan Thailand. Jangan heran, Komnas HAM meminta pencabutan pasal dalam undang-undang berkait dengan pangan, yang memberi ruang impor secara luas. Sementara petani garam Sumenep meminta impor garam konsumsi dihentikan.
Jangan lupa, data statistik menunjukkan bahwa 30 juta penduduk Indonesia rentan menderita kelaparan. Di sisi lain, terjadi berbagai konflik menyangkut penguasaan lahan agraria. Di wilayah Kalimantan Selatan saja, sejak reformasi tercatat 28 kasus.
Melihat situasi dan kondisi di atas, saya kembali teringat film Wild West Amerika, yang dipenuhi kisah para penegak hukum (hakim, agen rahasia, hingga sheriff), di tengah hukum rimba tambang dan lahan, dengan lencana konstitusi, tidak lagi hanya menyerukan dan menganalisa, namun melakukan kerja penegakan hukum. Sebuah pertempuran atas nama konstitusi, sebuah kerja keberanian kenegarawanan, agar kekayaan alam mampu berfungsi untuk kesejahteraan rakyat seluas-luasnya.
Di tengah situasi Indonesia sekarang ini, pertanyaan lalu muncul: masih adakah kebanggaan menggunakan lencana konstitusi dari penegak hukum kita, di tengah konflik tambang dan lahan sekarang ini? Masih adakah keberanian kepemimpinan langsung turun di tengah amuk massa, melawan preman dan mafia tanah, dengan spirit kenegarawanan memberi jalan damai serta penegakan hukum bagi keadilan?
Ataukah, setelah 500 tahun sejak kedatangan Columbus, wilayah ini layaknya wilayah hukum rimba tanpa penegakan hukum? Sebuah negara tanpa pemerintahan, sebuah pemerintahan tanpa kenegarawanan?
No comments:
Post a Comment