Berikut ini kutipan tulisan Radar Panca Dahana yang dimuat dalam harian Kompas - 7 Mei 2012, untuk menjadi bahan renungan kita bersama.
Bagaimana saya harus mengungkapkan perasaan ini? Ketika mengunjungi beberapa anak negeri di kawasan Nusa Tenggara Timur, saya merasa seperti manusia kecil yang dapat berkah luar biasa bagi kebodohan dan kemiskinan pengetahuan saya.
Di bagian timur negeri tercinta ini hanya keindahan, kekaguman, dan rasa bahagia serta syukur tiada habis yang saya rasakan untuk apa yang saya dengar, rasakan, lihat, dan baru ketahui. Di belahan kepulauan dengan sejarahnya yang purba ini, hidup begitu indah. Semua orang menari dan menyanyi dengan rileks, ekspresif, dan berbahagia dalam keseharian mereka.
Di Larantuka, misalnya, hanya untuk persoalan berladang atau menanam padi, setiap tahun tak kurang 16 pesta adat diselenggarakan dengan meriah. Setiap bagian dari kegiatan pertanian itu dilakukan dengan tarian dan nyanyian, plus doa-doa penuh gairah dan kekhusyukan. Di Kupang, hampir semua restoran menyediakan musik hidup. Begitu pun rata-rata angkutan kota dilengkapi peralatan musik yang tidak sekadar bunyi. Hidup dengan alam dan tuntutan modern yang begitu keras mereka hadapi tanpa harus kehilangan kegembiraan, persaudaraan yang hangat, dan kesantunan yang wajar.
Apa yang lebih membahagiakan, sungguh begitu banyak bakat, potensi kuat dalam seni vokal (dengan kerongkongan yang ajaib, kata dramawan Putu Wijaya), lentur dan ekspresifnya tubuh anak-anak muda, dalam seni tradisi hingga hip hop bergaya mutakhir. Aktor-aktor teater dengan suara bulat, bening, dan artikulatif, tubuh yang ulet dan ”bicara” sebelum ia mendapatkan latihan teater yang sesungguhnya.
Di balik kerasnya sikap dan pertahanan adat mereka, kita mendapatkan kelembutan dan keramahan yang mengharukan. Ini membuat semua fenomena kekerasan belakangan ini jadi keganjilan dan kemustahilan bagi negeri dengan puluhan etnik dan 61 bahasa berbeda ini. Betapa kedegilan dan keangkaran sungguh mereka buktikan tidak lain adalah ekses dari modernitas dan tata hidup yang mengikutinya.
Di mana bangsa bermula
Tentu saja saya tak ingin mengatakan bahwa hanya di NTT, kelebihan, bakat-bakat hebat, potensi alam, serta adat yang kuat dan santun di atas dan menjadi ciri negeri ini. Saya mengerti, bahkan mungkin secara dekat, semua kondisi itu ada di banyak wilayah lain. Namun, di bagian timur Indonesia ini, termasuk di Kepulauan Maluku dan Papua, saya merasakan getar yang berbeda, unik, dan purba. Ia seolah gema yang terpantul dari kejauhan waktu, yang tak terjamah oleh kesadaran kita, intelektualitas, dan modernitas yang kita klaim dalam kemodernan ini.
Semua itu seperti berintegrasi dan bertemu titik dengan fakta-fakta (ilmiah) baru yang menyatakan bagaimana negeri bagian timur sesungguhnya adalah asal dari semua etnik dan subkultur—bahkan mungkin kebudayaan masa depan—bangsa ini. Di wilayah inilah ditemukan sisa peradaban paling purba manusia, seperti sistem perladangan, domestikasi binatang, hingga peran perempuan yang (cukup) dominan (menurut Bung Karno) dalam penciptaan kerja, pembagian tugas dengan lelaki, hingga penyusunan hukum-hukum paling awal dari kebudayaan manusia.
Lebih dari itu, di kawasan inilah kita menemukan bukti paling awal, bahkan sejak 5000 tahun SM, terjadinya pelayaran yang mengarungi samudra-samudra besar, menjadi nenek moyang—genetik, linguistik hingga kultural—dari berbagai masyarakat kuno di Kepulauan Polinesia, Mekronesia, hingga Selandia Baru, bahkan sisi timur Afrika. Bahkan, sebagian ahli meyakini, ia sudah mendahului keberadaan bangsa Dravida atau Tamil, yang dibuktikan dalam kitab-kitab kuno mereka, sebagaimana temuan lama menunjukkan hal serupa untuk mereka yang hidup di Seychelles dan Madagaskar.
Tak heran jika kemudian beberapa antropolog maritim menyatakan bahwa diaspora pertama dan terbesar di atas muka bumi ini, mencakup sekurangnya setengah dunia, dilakukan oleh mereka yang dahulu hidup dan berkembang di wilayah—terutama antara Maluku dan Papua—ini. Dalam persebaran inilah, di tingkat lokal, dalam perjumpaan yang tak terkira intensitas dan jumlahnya dengan penghuni-penghuni yang datang berikutnya, lahir keragaman luar biasa, dalam etnik/ras, adat-budaya, dan bahasa. Kenyataan ini hanya menciptakan kekaguman, rasa heran, serta ketakmengertian para ahli tentang bagaimana itu semua tercipta.
Di mana masa depan?
Hal yang ironis dari realitas di atas: ternyata bukan kaum ahli atau masyarakat ilmiah modern yang mengalami kegamangan, masyarakat asli pemilik semua sejarah dan kekayaan luar biasa itu juga mengalami kerancuan untuk memahaminya. Mengapa?
Ketika fakta sejarah, adab, dan budaya yang mengisinya kita pahami hanya dengan perangkat akal (rasional), bisa dipastikan ia akan menuju jalan buntu. Peradaban dan kebudayaan Indonesia tidaklah diciptakan melulu hanya dengan satu modus rasional misalnya. Ada keterlibatan emosional (naluri, insting) dan spiritual, di sisi keterlibatan kultur badan (fisikal) dalam proses yang integral itu. Artinya, tanpa juga melibatkan daya mental-spiritual dan fisikal, kita akan selalu gagal memahami kebudayaan dan jati diri bangsa ini.
Kebudayaan tidak bisa hanya dimengerti, tetapi juga dialami dan dilakoni. Dengannya kita akan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh hingga di tingkat transenden dan imanen. Semua yang merasa bertanggung jawab pada bangsa dan negara ini harus mampu mengintegrasikan dirinya, pengetahuan modern, hingga praksis profesionalnya dengan modus pembudayaan dan pemberadaban di atas.
Jika diperkenankan, saya anjurkan selain para elite juga masyarakat luas melakukan semacam ”penemuan ulang” dari realitas adab—yang mungkin primordial itu—mereka sebaiknya juga melangkah ke bagian timur negeri ini. Di mana, dengan modus pemberadaban di atas, keseluruhan diri kita akan mendapatkan sebuah ”pengalaman” ajaib dan mengharukan tentang apa, siapa, dan dari mana sebenarnya kita bermula.
Inilah yang juga harus menjadi ”kesadaran baru” bagi rakyat di kawasan timur Indonesia. Bahwa, kekuatan mereka sebenarnya bukanlah pada sisi material, melainkan justru pada sisi kultural. Di wilayah inilah saudara-saudara kita sesungguhnya memiliki kapasitas terbaik untuk menunjukkan kekuatan terbesar dari bangsa Indonesia: kebudayaan!
Maka, tepatlah jika pada Hari Pers Nasional beberapa waktu, Presiden SBY menyatakan respek dan dukungannya pada bagian timur ini. Ia bahkan menjanjikan dana Rp 5 triliun sebagai bantuan pembangunan. Sayang, janji yang baik itu belum dilaksanakan.
Presiden harus merealisasi janji itu segera. Bukan karena alasan nostalgis dan romantis, melainkan pada realitas mutakhir yang ada, jati diri dan identitas kita yang masih samar saat ini—kejayaan negara-bangsa berkebudayaan di masa depan—akan terbit cahayanya dari timur.
Radhar Panca Dahana Budayawan