We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Friday, April 27, 2012

Devotion & Faith


DOA DARI LAPANGAN HIJAU
Oleh: Sindhunata (Kompas, Sabtu 28 April 2012)

Di mana-mana kini banyak orang, termasuk anak- anak, lebih suka menonton pertandingan sepak bola daripada pergi ke gereja pada akhir pekan. Di Jerman ada anekdot, seorang pastor bertanya kepada Peter, seorang anak, anggota jemaatnya. ”Tahukah kamu, apa yang akan terjadi pada anak laki-laki yang lebih suka bermain sepak bola pada hari Minggu daripada ke gereja?”
”Jelas. Suatu saat, anak-anak itu akan bermain di Bundesliga dan memperoleh uang miliaran,” ucap Peter tegas.
Bola dengan segala gebyarnya memang menggoda. Banyak orang lebih memilih menonton bola daripada ke gereja. Bola seakan melindas ibadat keagamaan. Namun, apakah dengan demikian Tuhan juga menghilang karena bola?

Menarik menyimak komentar Christopher Jamison OSB yang dituangkan dalam Tablet, 24 Maret 2012. Jamison adalah pastor, anggota tarekat kontemplatif Benediktin, dan seorang direktur dari salah satu kesekretariatan Konferensi Wali Gereja di Inggris dan Wales. Komentarnya itu ditulis terkait laga Piala FA, Tottenham Hotspur versus Bolton Wanderers, di Stadion White Hart Lane, London, 17 Maret 2012.
Bolton unggul lebih dahulu lewat gol Darren Pratley. Tak lama kemudian pemain Spurs, Kyle Walker, menyamakan kedudukan, 1-1. Sampai pada menit ke-41, tiba-tiba para penonton menutup mukanya, seperti orang-orang yang tiba-tiba terbenam dalam doa.
Pemandangan ini menyusul kejadian tak terduga, pemain Bolton, Fabrice Muamba, mendadak terjatuh lalu tergeletak. Dia terkena gagal jantung.
Makin para penonton di White Hart Lane tak percaya pemain berusia 23 tahun itu tergeletak tanpa alasan jelas, makin mereka khusyuk berdoa.

Kata Pastor Jamison, ”Sebanyak 30.000 fans bola penonton pertandingan Piala FA antara Spurs dan Bolton itu secara spontan menciptakan sebuah liturgi. Begitu mereka tahu petaka itu bukanlah cedera yang umum terjadi dalam sepak bola, mereka terdiam. Kemudian, ribuan tangan dan mulut bergerak dalam doa hening. Sesudah itu, bagai terbawa daya ritual yang dahsyat, fans dari kedua belah pihak melantunkan lagu. Fa-bri-ce Mu-am-ba. Ini adalah layanan kesembuhan dari 30.000 orang yang melayangkan doanya ’ke atas’ bagi seorang yang sedang sakit.”
Memakai bahasa ritual Kristiani, Jamison menyebut kejadian itu sebagai ”liturgi Sabtu sore di White Hart Lane”.
Tak berhenti di situ. Berita utama koran The Sun, Senin, mencantumkan, ”Praying for Muamba… God is in Control”. Twitter juga penuh dengan undangan #praying for fabrice. Para pemain, fans bola, dan para selebritas juga ikut berdoa bagi kesembuhan Muamba.
Ditambah dengan ekshibisi pemain Chelsea yang, setelah menciptakan gol, menyingkapkan kostumnya. Di situ tertulis ”Pray 4 Muamba”. Bahkan, selebaran Metro dua hari kemudian keluar dengan berita utama, ”Your Prayers are Working”.
Mengapa orang tergerak berdoa bagi Muamba? Kata Jamison, itu tentu tak terlepas dari iman Muamba sendiri. Muamba dikenal sebagai ”pribadi yang sangat percaya kepada Tuhan. Dia bilang, Tuhan adalah alasan dan sebab dari segala sesuatu yang dia kerjakan dan dia raih. Orang-orang tahu tentang imannya. Karena itu, mereka ikut terbawa dan mendoakannya.
Menurut Jamison, peristiwa Muamba diam-diam menjadi fenomena yang mengingatkan bahwa di dunia yang sekuler ini ternyata masih ada iman walaupun di sana orang sinis terhadap agama. Peristiwa Muamba juga menyentakkan bahwa Tuhan pun ternyata masih ada dan diakui ada-Nya di tengah ingar-bingarnya lapangan hijau. Sekaligus peristiwa itu juga mengatakan bahwa doa adalah insting manusiawi yang ada dalam setiap orang. Sayangnya, agama tidak lagi bisa mengajarkan bagaimana berdoa sesuai dengan insting tersebut.
Singkatnya, peristiwa Muamba menyadarkan akan kebenaran kata-kata yang sering diucap- kan orang di tengah dunia sekuler ini. ”Saya ini spiritual, tetapi bukan religius.”
Maksudnya, pengalaman spiritual orang zaman sekarang tak lagi bisa ditangkap oleh wadah-wadah kereligiusan yang institusional. Sangatlah tidak bijaksana mengecap mereka tidak lagi mengenal Tuhan, melulu dari kacamata agama formal belaka. Sebaliknya, lembaga-lembaga agama mesti mencari mana cara-cara beriman yang kiranya cocok dengan situasi orang zaman sekarang.
Itulah sesungguhnya keprihatinan Thomas Merton, rahib biara Trapis, yang dikenal sebagai guru doa zaman modern. Tuhan memang transendental dan berada di luar jangkauan kita. Menurut Merton, dalam ketidakmampuan manusia untuk menjangkau Tuhan, Tuhan tetap dekat dengan kita, dan berada dalam setiap situasi hidup kita. Perjumpaan dan persatuan Tuhan dalam doa adalah mungkin. Doa bukanlah suatu yang mustahil di tengah dunia sekuler ini.
Merton mengatakan, jika kita mengalami Tuhan, kita mengalami-Nya bukan untuk kita sendiri, tapi untuk orang lain. Jadi, doa yang baik adalah doa yang mengarah pada sesama.
Jadi, orang modern ini masih bisa berdoa juga. Ternyata mereka mau diminta berdoa untuk Muamba. Namun, maukah mereka, misalnya, diminta berdoa bagi para politikus, yang berkampanye untuk memperoleh kursi kekuasaan?
Jawab Jamison, rasanya tidak. Malah mereka akan menolaknya dengan sinis. Mungkin, karena mereka tahu, doa baru bisa efektif hanya jika ditujukan bagi mereka yang mau membagi diri bagi sesamanya, bukan bagi mereka yang hanya ingat kepentingan dirinya sendiri, seperti biasa terjadi pada para politikus.



devotion [dih-voh-shuhn] [noun]:
Definition: commitment; loyalty Synonyms: adherence, adoration, affection, allegiance, ardor, attachment, consecration, constancy, dedication, deference, devotedness, devotement, devoutness, earnestness, enthusiasm, faithfulness, fealty, fervor, fidelity, fondness, intensity, love, observance, passion, piety, reverence, sanctity, service, sincerity, spirituality, worship, zeal
Antonyms: apathy, carelessness, indifference, neglect, negligence

faith [feyth] [noun]:
Definition: trust in something Synonyms: acceptance, allegiance, assent, assurance, belief, certainty, certitude, confidence, constancy, conviction, credence, credit, credulity, dependence, faithfulness, fealty, fidelity, hope, loyalty, reliance, stock, store, sureness, surety, troth, truth, truthfulness
Antonyms: disbelief, distrust, doubt, misgiving, skepticism, suspicion

Thursday, April 12, 2012

Etika dan etiket


OLEH K BERTENS
Beberapa waktu lalu dalam rubrik "Klasika" Kompas edisi 5 Maret 2012 dimuat artikel singkat, "Etika Berbicara di Telepon". Di situ dijelaskan bagaimana operator telekomunikasi di perusahaan harus menjalankan tugasnya. Misalnya, ia tidak boleh bicara dengan nada tinggi. Nada bicara harus selalu dijaga dan tetap tenang. Sebagai pembuka percakapan, ia harus mengucapkan salam dan menyebutkan namanya kepada lawan bicara. Sebelum menutup pembicaraan, ia tidak boleh lupa mengucapkan terima kasih kepada lawan bicara, dan seterusnya.
Tidak disangkal, semua petunjuk itu berguna dan malah penting karena penampilan seorang operator telepon untuk sebagian menentukan "wajah" perusahaan bagi dunia luar. Namun, tidak benar bahwa hal-hal itu menyangkut etika. Petunjuk-petunjuk tadi bicara tentang etiket saja, bukan tentang etika. Mestinya penulis memakai judul "Etiket Berbicara di Telepon".
Seperti sering terjadi, di sini pun etika dicampuradukkan dengan etiket. Padahal, dua pengertian itu sangat berbeda: etika mengacu ke ranah moral, sedangkan etiket mengacu ke ranah sopan santun. Memang benar, ada alasan juga mengapa etika dan etiket sering disamakan. Pertama, bentuk kedua kata itu dalam bahasa Indonesia sangat mirip, seolah-olah yang satu hanya sekadar variasi dari yang lain. Kedua, dan lebih penting lagi, baik etika maupun etiket mengandung norma bagi tingkah laku kita.
Menurut etiket, kita sebagai pegawai perusahaan tidak boleh berbicara dengan pelanggan di telepon dengan nada tinggi atau dengan cara tidak sabar. Menurut etika, kita tidak boleh berdusta melalui telepon (ataupun dengan cara lain). Dalam dua contoh ini etiket dan etika memberi norma tentang perilaku yang sama, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda. Etiket menyoroti baik-buruknya perilaku dalam arti sopan santun. Etika menyoroti baik-buruknya perilaku dalam arti moral.
Di sini tentu tidak dimaksudkan bahwa segi sopan santun tidak penting dalam pergaulan di masyarakat. Hanya mau dikatakan bahwa segi moral jauh lebih penting lagi. Mengapa demikian? Karena etiket hanya memandang manusia dari luar, sedangkan etika menilai manusia dari dalam dengan melihat ke dalam hatinya. Misalnya, kita menyaksikan bagaimana seorang koruptor melalui pembicaraan di Blackberry-nya dengan pejabat pemerintah merencanakan suatu usaha korupsi besar-besaran. Perilakunya sangat sopan. Berulang kali kita dengar, "Ya, Pak", "Tidak, Pak", "Terima kasih, Pak" dengan nada halus dan hormat. Namun, bagaimana dari sudut etika? Walaupun kita tidak mengerti isi pembicaraan karena orang itu terus pakai kode, pada kenyataannya perilakunya sangat tidak etis.
Barangkali sekarang sudah jelas mengapa etika dan etiket tidak boleh dicampuradukkan. Kalau kita lakukan begitu, kita bisa membuat kesalahan fatal dalam menilai tingkah laku orang. Banyak penipu berhasil dalam melakukan kejahatan justru karena berlaku sangat halus dan sopan. Sambil sepenuhnya memenuhi norma etiket, orang tetap bisa munafik. Etiket bisa menjadi kedok untuk menyembunyikan perbuatan yang tidak etis sekalipun. Dalam konteks etika, hal itu tidak mungkin.
K BERTENS Guru Besar Emeritus Unika Atma Jaya, Jakarta
Dikutip dari Harian Kompas Jumat, 13 April 2012