We sing our committed life ever since the very beginning of our age. We wrote our memories of this place, drew our faces in every corner of its building. We long to go back for that memories and path. Committing to a particular path in life comes more easily when you know what you're committing to and who or what will support you along the way. It's the
beauty of being a SEMINARIAN.

FUND RAISING JAKARTA - 28 & 29 JULY 2012

Sabtu, 28 Juli 2012 sore dan Minggu, 29 Juli 2012, Rm Deni akan memimpin misa 5 kali di Paroki Santa Perawan Maria Blok Q, dan Rm Tanto 4 kali misa di Paroki Aloysius Gonzaga Cijantung Jakarta. Mohon doa dari semua teman sekalian supaya lewat kegiatan ini Seminari Tuka diberkati dengan limpah.

Selamat akhir pekan.

Terima kasih

Saturday, July 28, 2012 (afternoon) and Sunday, July 29, 2012, Rm Deni will lead the mass (five times) in the Parish of the Blessed Virgin Mary Block Q, and Rm Tanto (four times) in the Parish of Aloysius Gonzaga at Cijantung Jakarta. Expecting prayers from all friends so this activity may bring abundant blessings for Seminary Tuka.

Happy weekend.

Thank you

Search This Blog

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali

Gerakan Orang Tua Asuh Seminari Tuka Bali
Let's Participate! Contact: seminaritukabali@gmail.com

Tuesday, June 28, 2011

Integritas dan Kejujuran (terinspirasi dari buku Rm. Th. Salimun Sarjumunarsa, SJ)

"Integrity is telling myself the truth. And honesty is telling the truth to other people.” – Spencer Johnson

Melihat makin surutnya  integritas dan kejujuran dalam tatanan kehidupan bangsa ini, membuat hati menjadi miris. Terlalu banyak contoh kemerosotan untuk dua hal tersebut yang dipertontonkan akhir-akhir ini. Salah satu contoh besar adalah system Ujian Nasional yang baru saja berakhir, sebuah system yang menyisakan kebobrokan luar biasa untuk kelanjutan moralitas bangsa ini. Bagaimana tidak? Anak-anak polos yang seharusnya dibimbing untuk memelihara jendela hatinya yang bersih, dirusak dengan prinsip-prinsip persaingan kotor oleh orang-orang yang semestinya menjadi panutan untuk menerapkan integritas dan kejujuran, demi sebuah kebanggaan semu yang dinamai “kelulusan 100%.”

Sebagai sosok yang dididik untuk menjunjung integritas serta kejujuran, dengan mudah saya menjadi kagum oleh mereka-mereka yang memiliki prinsip yang sama. Salah satu sosok yang saya ‘temukan’ terakhir adalah Rm. Th. S. Sarjumunarsa, SJ melalui bukunya yang berjudul “Merenangi & Merenungi Hidup, Arus Dasar dan Arus Deras Perjalanan Hidupku”, sebuah buku kenang-kenangan untuk Pesta Ulang Tahun-nya yang ke-65.

Dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1944, dalam kondisi terbungkus ari-ari dan sungsang, perjalanan kerohanian Rm. Sarju terbentuk dari hasil tempaan berbagai peristiwa, termasuk di dalamnya perpindahan agama dalam rangka pencarian agama baru yang lebih ramah dari pada apa yang dianut sebelumnya.

Dalam kesederhanaan dan apa adanya beliau menceritakan dengan jujur sisi ‘kemanusiaan’ kalau mau disebut demikian yang beliau miliki sebagai seorang manusia ‘biasa’. Acapkali seorang imam dianggap ‘bukan manusia biasa’ karena darinya dituntut suatu ukuran ‘kesempurnaan’ sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh umatnya.

***

Selain kecerdasan yang diwariskan oleh Bapak dan Ibu, warisan orang miskin yang diturunkan kepadaku dari orang tua adalah sikap jujur. Sejak kecil aku punya kecenderungan untuk berbohong. (hal. 61)

Romo Sarju menceritakan dalam bagian “Disiram Teh Panas” dalam bukunya itu, bagaimana ia melakukan kebohongan pada masa kecilnya. Ia berbohong ketika ditanyai oleh kakaknya mengenai celana pendek yang hilang. Ia mencuri celana pendek tersebut tetapi tidak mengakuinya. Dalam bagian itu juga ia menceritakan ia berbohong ketika sudah diwanti-wanti oleh ayahnya untuk tidak menerima uang dari sepasang suami istri ke mana ia diminta untuk mengirimkan sekeranjang mangga. Hukuman disiram teh panas akibat berbohong menerima uang tetapi tidak mengakuinya itu menjadi semacam rem untuk dirinya ketika ia cenderung untuk melakukan kebohongan lagi.

“Jangan lagi berbohong! Jujurlah!” Pesan etika itulah warisan dari Bapak yang aku terima dan aku pelihara sampai sekarang, kendati dalam prakteknya amat sulit aku laksanakan dengan teguh.

Pengalaman berbohong di masa kecil dulu ini rupanya tidak hilang begitu saja, setelah aku menjadi Katolik, bahkan menjadi Yesuit, dan kini menjadi imam dan dosen. Secara tidak sadar aku terbentuk dalam sikap tidak percaya kepada orang lain, seakan-akan ada suatu kecurigaan yang menempel dalam kalbu, bahwa orang lain yang menjadi teman sekerja dan sepelayanan tidak bisa dipercaya begitu saja. Dalam kenyataannya memang aku akui bahwa kecenderungan berbohong itu menjalar tidak hanya pada orang yang berada dalam keadaan terpojok dan termarjinalisasi. Tendensi dan potensi berbohong ternyata terjadi juga pada orang-orang yang kuhormati. (hal. 63 – 64)


***

Sepenggal kisah dalam buku tersebut yang diberi sub judul Nyanyian “Ndherek Dewi Marijah” yang Romantis, menunjukkan sisi kejujuran lain dari Romo Sarju. Saya berpendapat kalau hal ini tidak berpengaruh banyak dalam hidupnya, tentu tidak akan dimasukkannya ke dalam kisah hidup beliau. Cerita yang saya maksudkan adalah kisah ketertarikannya pada seorang anak putri ketika mengikuti pelajaran agama Katolik (katekumenat).

Waktu mengikuti pelajaran agama itu, aku hanya berdua saja dengan seorang anak putri. Aku sebut saja Kristiana (bukan nama sebenarnya). Setelah dibaptis aku tetap memanggil dia Kristiana. Karena selalu berduaan saat pelajaran agama, kami jadi saling menaruh simpati dan lama-kelamaan merasa saling jatuh cinta juga. (hal. 75)

Meski aku sendiri tak menikah karena memilih jalan imamat sebagai selabiter, namun rasa kehilangan seorang sahabat yang dekat, erat dan memikat tetap saja bisa kurasakan dan mudah kuingat kembali dengan segar. Rasa kehilangan semacam ini merupakan kepedihan emosional yang tak dapat digantikan dengan barang berharga lain apapun yang bisa melampui nilai perasahabatan itu sendiri. (hal. 77)


***

Dari ke dua kutipan tersebut saya belajar, bahwa kejujuran dan kesederhanaan untuk menuliskan apa yang menjadi kelemahan beliau dan apa yang beliau rasakan (peristiwa romantisme yang saya yakin dianggap aneh jika terjadi pada orang yang memilih hidup selibat) tidaklah menjadikan ke-imam-an beliau turun nilainya. Saya justru mengagumi beliau, karena kejujuran tersebut.

Banyak cerita menarik lain dalam buku setebal 152 halaman tersebut sebetulnya, tetapi saya memilih dua kutipan di atas karena saya sedang prihatin dengan degradasi level integritas dan kejujuran dalam masyarakat saat ini.
 
fz-280611

Who You Choose To Be - Kung Fu Panda 2


As expected the sequel of Kung Fu Panda 2 offers me a lot of fun filled, fast-paced action animation that I watched the movie twice last night and earlier today. And I thoroughly enjoyed it. There are heart-warming lessons to inspire both children, adults, and seminarians alike too.

At the start of Kung Fu Panda 2, Po was living his dream of fighting alongside the famous Furious Five, legendary kung fu masters. As the The Dragon Warrior, Po was protecting the Valley of Peace daily against the bad guys. But Po’s new life of awesomeness was threatened by the emergence of a new formidable villain, who planned to use a secret, unstoppable weapon to conquer China and destroy kung fu forever. Po must look to his past and uncover the secrets of his mysterious origins; only then would he be able to unlock the strength he needs to succeed. Ultimately, Po had to deal with his self-identity, and the person who he’d choose to be.

Beside the quotes of inner peace uttered several times, here’s the quote I really liked in the movie. At the depth of Po’s self-identity crisis, the Soothsayer gave him this inspiring advice to reflect upon: “Your story may not have such a happy beginning, but that doesn’t make you who you are, it is the rest of your story, who you choose to be… …So who are you, Panda?” Soothsayer. It’s not just how Po chooses to view the circumstances or people around him, but he had to choose how he sees himself, who he chooses to be, that defined his personal power and ultimate destiny. It’s at the level of his self-identity that had to be resolved, and then every awesomeness would flow from there. In the case of seminarians, some would admit how miserable their family were, but that wouldn’t be the whole story. What matters most is what they choose to be. Gratia supponit naturam, grace complements the nature.  

Sunday, June 26, 2011

Voyeurisme Media Kita

VOYEURISME adalah keingintahuan yang telah melorot menjadi obsesi ngintip dan nggosip, pada lingkup personal maupun sosial. Biasanya ini adalah asal-muasal sekaligus hasil kultus selebriti yang dirayakan massal. Voyeurisme itu konsumerisme visual. Selebriti adalah obyeknya. Media massa adalah pelatuknya.
Jajak pendapat Kompas (25/8/03) yang menyatakan 77 persen pemirsa menganggap televisi menekankan komersialisme, konsumerisme, kekerasan, dan eksploitasi erotisme, sekadar menegaskan keluasan voyeurisme yang dilecut media televisi kita. Seperti biasa, muncul kontroversi tentang statistik. Padahal, masalahnya bukan kausalitas statistik, tetapi psikoanalitik. Statistik tentu jendela kecil untuk mengenali gejala.
Keluasan gejala
Suatu hari, 14 Mei 2003, saya menyimak acara kuis di salah satu saluran televisi. Begini isinya. Pembawa acara bertanya kepada beberapa kelompok perempuan, "Rano Karno adalah mak comblang pasangan Lydia Kandau dan Jamal Mirdad, gosip atau fakta?" Lalu pembawa acara mendatangkan seorang bintang sinetron. Para pengikut kuis ditanya: "dia menikah di bawah usia 21 tahun, gosip atau fakta?" Kemudian, "sebelum terjun ke sinetron, artis ini adalah seorang model, gosip atau fakta?" Dan seterusnya.
Silakan kenali saluran televisi kita, akan ditemui kian banyak acara seperti itu. Gabunglah dengan riuh-rendah acara gosip lain, klenik, celebrity shows, dangdut pada prime time, kita akan dapati apa yang disebut Neil Postman Amusing Ourselves to Death (1985). Namun, lebih jauh, amusement itu telah melorot menjadi voyeurism, bukan lagi hiburan tetapi pengintipan. Mungkin kita menyusun statistik tentang gejala itu, tetapi masih perlu menjawab pertanyaan "mengapa". Soalnya bukan statistik, tetapi psikoanalitik.
Apa yang terjadi pada media televisi kita rupanya sejalan dengan ledakan gejala semacam pada media cetak. Sosoknya tampil dalam berbagai majalah, tabloid, dan koran hiburan. Wajahnya genit, isinya gosip. Seperti apa yang memberondong layar televisi, sekurangnya ada tiga unsur yang menandai voyeurisme massal ini.
Pertama, ia berisi kultus selebriti. Sosoknya disulap genit, kisahnya dibuat bagai dongeng. Isinya wajah-wajah yang sering muncul di sinetron atau panggung nyanyi. Kita merasa ekstase menonton atau dekat dengan mereka, juga bila hanya di lembar majalah atau layar kaca. Kita meniru cara dandan, cat rambut, gaya bicara, memburu gambar dan omongan mereka dari hari ke hari.
Kedua, klise massal itu berisi kultus gaya-hidup. Sosoknya dipasang sebagai ukuran prestise dan status. Kita bagai kawanan yang karena tidak sempat diam, dengan mudah digiring untuk memburunya. Itulah klise massal yang dipicu media pesolek, propaganda keyakinan bahwa hidup merupakan salinan iklan. Biasanya kultus gaya hidup ini terbentuk berkombinasi dengan kultus selebriti.
Ketiga, klise massal itu menyangkut pengeboran basic instinct hasrat dan sensualitas. Jutaan gambar, gosip, dan simulacra yang terpajang terlihat atau terdengar sebagai informasi. Namun, lebih mungkin sebagai informasi bagi voyeurisme. Atau, voyeurisme itu sendiri. Ia sebentuk narcisisme dengan gerak-gerik selebriti sebagai cermin mengaca.
Ada perbedaan antara hiburan dan voyeurisme, juga bila tidak mudah menetapkan pembatasnya. Melewati batas itu, media akan terpelanting, bukan lagi media hiburan, tetapi voyeurisme. Lewat proses ini biasanya media perlahan mundur dari misinya memberi informasi, mendidik, dan menghibur karena kemudian bergeser menjadi medium voyeurisme. Apa yang disebut Jay Rosen (1999) sebagai civic journalism perlahan pudar. Yang berkibar voyeuristic journalism.
Yang terbentuk dari gabungan ketiga klise massal itu adalah apa yang disebut Václav Havel the aesthetics of banality (estetika kedangkalan). Lagi, bisa saja kita kumpulkan statistik tentang gejala itu, tetapi kita masih perlu menembus pertanyaan "mengapa". Dan soalnya bukan statistik, melainkan psikoanalitik.
Kapan gejala itu akan mencapai titik jenuh? Bahkan, dari perhitungan optimistis, proses itu tidak akan mengalami titik jenuh. Mengapa? Di sinilah kita sampai pada soal yang jarang tersentuh dalam jajak pendapat, yaitu psikoanalisa dan ekonomi-politik.
Ekonomi-politik libido
Seperti sering ditunjuk, sistem rating menjadi kunci memahami duduk perkaranya. Tetapi, statistik rating akhirnya sekadar jendela bagi kita untuk menebak isi gejala. Karena itu, yang dibutuhkan adalah melewati angka dan menembus isi gejala.
Mulailah dari pertanyaan berikut, "mengapa program voyeuristik itu amat laku?" Alkisah, jawaban mainstream akan bilang, "Karena itulah permintaan (demand) khalayak!" Lalu tanyakan lebih lanjut, "Dari mana muasal permintaan itu?" Para penjual program mungkin akan bilang, "Dari selera pemirsa!" Mereka yang sedikit skeptik akan mengajukan pertanyaan mengejar, "Apakah selera pemirsa terbentuk dengan sendirinya?" Pada titik inilah persimpangan jawaban semakin tajam.
Bila pertanyaan terakhir itu dijawab "ya", kita akan tertawa tergelak karena kita tahu berondongan program voyeuristik yang makin intensif itu telah menjadi pasokan yang membentuk permintaan. Maka permintaan bukan terutama dibentuk oleh otonomi selera pemirsa, tetapi oleh pasokan program yang disajikan media. Dan proses inilah yang lalu membentuk gerak spiral selera pemirsa pada voyeurisme. Apa yang ditunjuk sistem rating hanya ujung sementara pada puncak spiral itu, sekian persen pemirsa suka program voyeuristik. Tentu, spiral itu akan bergerak kian menjulang.
Ada pertanyaan yang tetap memburu, apakah benar program-program voyeuristik itu disajikan untuk menghormati selera pemirsa? Inilah soal paling krusial yang amat jarang dijawab. Rupanya jawabannya tidak terletak pada kajian media, tetapi pada kaitan antara psikoanalisa dan ekonomi-politik. Isinya menyangkut urusan praktis yang bertalian erat dengan masalah konseptual.
Pertama, urusan praktis. Pemirsa bukanlah tujuan, tetapi tambang emas bagi media massa yang sedang bergeser menjadi bisnis media. Target utamanya bukan to inform, to educate, dan to entertain seperti yang dicita-citakan, tetapi bagaimana menciptakan tambang laba dari hasrat pemirsa/pembaca. Jalan pintasnya adalah masuk memainkan kawasan basic instinct manusia yang bersifat libidinal. Seperti ditemukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Annual Report 2000-2001, itulah mengapa pada periode lima tahun terakhir makin banyak kelompok bisnis berbondong masuk ke bisnis media.
Sebagaimana kita belajar dari psikoanalisa, tidak ada batas pada libido manusia. Ia laksana sumur tanpa dasar. Inilah kawasan sensous dan desirous kita yang terus-menerus digali serta dimainkan dalam proses komersialisasi. Seperti kita tahu, tentu saja proses itu terjalin melalui perkawinan tiga unsur: tayangan prime time, voyeurisme, iklan. Yang pertama menyangkut timing, yang kedua hasrat libidinal, dan ketiga tambang laba. Lugasnya, voyeurisme media adalah sebentuk "ekonomi libido".
Kedua, masalah konseptual yang terlibat dalam gejala itu mungkin bisa dimulai dari pertanyaan ini, "gagasan apa yang memungkinkan perluasan ekonomi libido itu?" Rupanya kuncinya terletak dalam sejarah perkembangan ilmu ekonomi sendiri.
Pergeseran-entah sebagai "kemajuan" atau "kemunduran"-dari ekonomi-politik klasik (Adam Smith, David Ricardo) ke ekonomi neo-klasik (Karl Menger, Léon Walras, William Jevons) salah satunya menyangkut pergeseran konsep "nilai ekonomi" (value). Nilai ekonomi tidak lagi diletakkan pada nilai-guna material (material use value), tetapi pada antisipasi kepuasan hasrat (desire).
Dengan itu, nilai-tukar ekonomi (exchange value) juga makin dilekatkan bukan pada materialitas kerja (labour), tetapi lebih pada penciptaan nilai tukar ranah psikologis yang terkait hasrat manusia (desire). Pergeseran ini punya implikasi amat luas, termasuk mundurnya ekonomi manufaktur dan berkibarnya ekonomi virtual.
Apa yang relevan bagi kita adalah proses berikut. Kawasan yang menyangkut hasrat manusia menjadi target penciptaan nilai-tukar ekonomi. Karena sesuatu punya nilai-tukar ekonomi hanya jika tercipta kelangkaan (scarcity), ekonomi produksi berhadapan dengan dua pilihan: mengurangi atau menaikkan kadar desire. Karena mengurangi sama dengan represi, intensifikasi hasrat manusia menjadi sasaran proses ekonomi produksi. Produksi menjadi urusan penciptaan desire. Maka nilai-surplus (surplus value) perlahan-lahan juga menjadi identik dengan penciptaan surplus hasrat (surplus desire) itu sendiri.
Itulah proses yang mengantar perebakan bisnis gaya hidup, hiburan, dan voyeurisme. Itu pula proses yang kemudian makin merekatkan dua bidang yang kelihatannya berbeda: psikologi dan ekonomi. Tatkala intensitas desire menjadi target ekonomi produksi, kawasan libidinal kita tentu saja juga terperangkap dalam pusaran kinerja sistem pasar. Salah satu wajahnya adalah perebakan voyeurisme dalam bisnis media.
Apa relevansi pokok-pokok itu dengan kondisi media kita, yang salah satunya terpotret dalam jajak-pendapat Kompas? Pertama, pendangkalan masyarakat tidak hanya dipicu oleh orgi kekerasan, tetapi juga oleh orgi seduksi. Mungkin inilah pokok mendesak yang perlu diajukan kepada banyak media kita.
Kedua, pengandaian bahwa media selalu mendorong proses demokrasi tampaknya merupakan asumsi yang terlalu mulia. Jika demokrasi ala pemilu mengandaikan khalayak well- informed, padahal semakin banyak media lebih sibuk dengan informasi voyeuristik, sebaiknya kita tidak perlu heran bila Pemilu 2004 justru akan mengantar para badut, koruptor, preman, dan jagal terpilih sebagai pejabat-pejabat Republik.
B Herry-Priyono Peneliti, Staf Pengajar Program Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta
Kompas, 1 Oktober 2003


Thursday, June 23, 2011

Tentang Panggilan Hidup Bhakti


YANG utama dan tak pernah boleh dilupakan, bahwa panggilan hidup bakti adalah karunia Tuhan Yesus sendiri yang memanggil kita semua. Sementara semua usaha promosi panggilan hidup bakti adalah usaha manusia dalam menyuburkan tanah yang menerima karunia panggilan hidup bakti itu agar dapat tumbuh dalam hidup orang yang terpanggil.
 
Saya menganalisis masalah panggilan hidup bakti akhir-akhir ini, seperti Gereja Katolik Indonesia menganalisis bahwa perlunya habitus baru. Karena ada kekuasaan di balik masyarakat ini yang sungguh dengan giat dan cerdas mengolah masyarakat sehingga mereka masuk dalam suatu habitus yang disetting mereka yaitu a.l. konsumerisme. Maklumlah dunia bisnis global itu didukung oleh orang-orang pandai dan juga modal besar dan kekuasaan. Dengan sendirinya pengaruhnya luar biasa sampai terjadi suatu habitus dalam masyarakat yang kalau tidak diikuti oleh seorang, ia justru merasa terpojok sendiri (ini penciptaan trend / mode dsb lewat komunikasi iklan / propaganda).

Gereja Katolik yang merupakan kekuatan organisasi yang kuat sejak dulu kala, sudah ditiru oleh organisasi bisnis global dengan sarat kepentingan bisnis. Sementara Gereja Katolik yang sebenarnya masih punya kekuatan luar biasa, terlebih dengan dukungan dari kemajuan tehnologi, belum cukup dimanfaatkan oleh umat beriman Katolik dengan baik, bahkan juga oleh para pimpinan Gereja Katolik (maaf, ini saya ungkapkan). Bahkan para pastor, bruder, suster yang sebenarnya punya akses internet dan punya kemampuan mengoperasikan internet, tidak juga memakainya dengan maksimal untuk memberikan pewartaan Injil. Memang bukan dengan model kotbah, tapi dengan hal-hal kontekstual. Malahan kaum awam, dan boleh jadi organisasi teroris lebih memanfaatkan internet ketimbang Gereja Katolik di Indonesia. Teroris yang sudah ditangkap di Rutan Nusakambangan saja, waktu itu masih bisa berinternet untuk kontak dengan jaringannya. Untunglah ketahuan penjaga.

Dengan adanya internet, Paus JP II sudah memberikan surat di hari Komsos tahun 2002 (kalau tak salah ingat), bahwa memang ada bahayanya (a.l. godaan pronografi, dan juga propaganda yang merubah pola pikir dan ini sudah sukses di masyarakat, juga bahaya propaganda konsumerisme, hedonisme yang kiranya bahaya), tapi banyak juga manfaatnya.

Di milis formatio yang sebenarnya kita bisa sharing banyak hal untuk saling belajar, karena tugas formatio itu agak jarang, beda dengan yang menjadi guru di sekolah, ada banyak pertemuan di sekolah dalam profesi yang sama, juga ada banyak buku dan terus up date informasinya. Sementara formator yang di dalam tarekat hanya satu atau dua orang saja sehingga jarang ada pertemuan untuk pengembangan formatio (hanya punya kesempatan beberapa kali kursus dan juga rapat / pertemuan formator), entah mengapa tidak juga aktif dalam milis. Padahal kita bisa bicara dan diskusi dalam satu bidang yang sama. Mereka mungkin masih kena sindrom bahaya internet. Padahal ini bisa dipakai juga untuk kemuliaan Tuhan.

Komunikasi adalah bagian dari kekuatan untuk membangun habitus baru sesuai hidup katolik.

Sekolah-sekolah katolik giat mengajarkan komputer-internet, tapi pewartaan Injil tidak signifikan rasanya dengan semua itu. Juga sekolah-sekolah Katolik lebih mementingkan prestasi akademis, sementara komunikasi iman katolik kurang utama lagi. Sehingga anak-anak katolik setelah pandai berinternet, juga tidak ada isi iman katoliknya yang perlu disebarkan lewat internet itu. Apalagi soal panggilan hidup bakti.

Padahal saya usul, kalau dari Komisi Seminari dan juga Koptari bisa menyebarkan virus ide panggilan hidup bakti kepada umat katolik dan masyarakat sehingga mereka selalu berkepentingan dengan panggilan hidup bakti, membicarakan di lingkungan-lingkungan, di dewan paroki, di rapat dewan pastoral, di tempat-tempat kerja, di sekolah-sekolah, bahkan di pasar para ibu bicara soal panggilan imam, bruder, suster anak-anak mereka atau anak di lingkungannya agar bisa tetap setia, wah ini komunikasi intensif.

Hidup bakti menjadi salah satu pusat perhatian umat katolik di manapun. Seperti cerdasnya para pebisnis dalam menjadikan masyarakat selalu mempunyai pusat perhatian untuk belanja, baik dengan daya tarik plaza/mall/ pusat perbelanjaan dsb. Meski mereka tidak dalam satu organisasi, karena ada banyak perusahaan, tetapi satu kepentingan menjadikan mereka bersinergi dengan segala simbol-simbolnya yang begitu kuat. Kalau anak-anak bisa pergi ke mall, tentu ia merasa lebih bangga ketimbang yang hanya pergi ke pasar tradisional. Bahkan ada anak remaja, yang pingsan kalau diajak ibunya ke pasar tradisional. Ini penolakan yang sudah psikosomatik. Begitu kuatnya semua strategi itu, dan itu jelas ada banyak dukungan para pakar untuk menjadikan semua itu.

Memang semua itu tak bisa dilawan, tapi yang perlu rasanya diusahakan, bahwa hidup bakti menjadi salah satu pusat perhatian dari umat Katolik dan menjadikan mereka tergerak seperti mereka tergerak untuk belanja dan belanja lagi.

Para Imam, bruder, suster, banyak diberi pendidikan rohani, tetapi bidang lain agak jarang. Maksudnya prosentasi mereka hanya sedikit yang mendalami pembentuk wajah masyarakat. Saya merasa diri saya seperti itu selama 35 tahun masuk kongregasi, tapi selama ini saya mencoba belajar sendiri, meski tak sampai mendalam, bahwa ada banyak hal yang ternyata diperlukan. Dan Gereja Katolik sebenarnya banyak punya umat yang pakar-pakar. Tetapi mereka juga dipakai oleh "tangan tersembunyi" yang terus melancarkan strategi dengan kepentingannya. Sementara kepentingan Gereja Katolik semakin tidak diperhatikan. Sampai ada umat yang bilang: Caleg katolik itu kebetulan beragama katolik, tapi itu bukan hasil kaderan Gereja Katolik. Makanya, caleg itu juga tak respek dengan Gereja dan kepentingannya. Semoga ada ahli-ahli yang kiranya dibutuhkan dapat memakai keahliannya untuk kepentingan pengembangan panggilan hidup bakti di Gereja Indonesia ini.Untuk usaha membincang dan mencari langkah bersama dalam menumbuhkan panggilan hidup bakti, kiranya diperlukan masukan dari :
1). Ahli marketing, tapi yang dapat diaplikasikan dalam urusan menumbuhkan panggilan itu. Ahli pemasaran adalah selalu menjadikan apa saja menarik dan laku dijual. Trik-triknya perlu menjadi bekal bagi promotor / komisi panggilan Indonesia.

2). Ahli sosiologi-komunikasi-budaya, karena pemahaman seputar ini akan membuka wawasan permasalahan seputar kaum muda dalam Gereja di indonesia. Trend adalah bagian yang mempengaruhi hidup juga. Trend yang sedang berlangsung perlu dipahami. Bahasa gaulnya: wah, trendy nih. Atau nggak trendy tuh, kuno.

3). Ahli teologi spiritual yg kontekstual, karena spiritualitas hidup bakti itu sungguh kosok bali dengan arus sekularisasi di masyarakat.

4). Ahli pendidikan iman katolik, karena dapat memberikan masukan bagaimana mendidik anak-anak mengikuti Yesus kepada guru agama katolik seluruh Indonesia.

Secara praktis, kalau dimungkinkan umat Katolik di manapun dan kapanpun mau bicara di antara umat tentang panggilan hidup bakti itu. Sebuah habitus baru dalam Gereja Indonesia. Ini tentu perlu diaktifkan dengan program-program keuskupan yang kontinyu memungkinkan itu, baik contoh-contoh kotbah setiap sebulan sekali yang menghidupkan umat tentang hal panggilan hidup bakti. Juga adanya bahan-bahan sarasehan di antara umat sendiri tentang hidup bakti dengan aneka dimensinya, seperti dimensi kerelaan keluarga, mendidik dan membangun semangat anak untuk hidup bakti.

Kalau imam, bruder, suster terus-menerus promosi panggilan, akan banyak waktu dihabiskan untuk itu, sementara pelayanan mereka dalam hidup bakti yang dilakukan dengan baik, itulah yang bisa menjadi daya tarik sehari-hari bagi umat yang dilayani. Dan kalau ide tentang pentingnya hidup bakti dalam gereja Katolik sudah menyebar di antara umat dan menggerakkan hati dan prilaku umat, ini yang rasanya sudah terjadi di gereja Eropa pada abad lalu dan saya rasa masih sebagian di NTT, tentu akan terus hidup. Ini akan sangat efisien dan efektif. Umat Katolik berpromosi panggilan semuanya. Dalam hal ini keteladanan, bersemangat sungguh-sungguh menghayati panggilan menjadi penting bagi para imam, bruder, suster, frater. Keraguan dan tidak komitmen pada panggilan memang menjadi masalah. Keikhlasan dan kebanggan keluarga / lingkungan / warga paroki bila ada anak-anak yang masuk seminari / kongregasi, perlu dikondisikan. Dan anak-anak juga bangga dengan cita-citanya untuk hidup bakti. Seperti waktu 40 - 50 tahun lalu, anak bisa berbangga karena cita-citanya jadi pastor, dan merasa lebih bangga dibandingkan bila jadi dokter saat itu.  Untuk semua itu, tentu para ahli dapat membantu. Selain itu memang masukan praktis dari berbagai fihak.

Br. Yoanes FC
Kamis, 5 Maret 2009
Sumber: http://www.seminarikwi.org/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=40

The Greatest Love

Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang
memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya..."

Pada suatu siang, sebuah peluru mortir mendarat di sebuah panti asuhan
di sebuah perkampungan kecil Vietnam. Seorang petani panti asuhan dan
dua orang anak langsung tewas, beberapa anak lainnya terluka, termasuk
seseorang gadis kecil yang berusia sekitar 8 tahun.
Orang-orang dari kampung tersebut segera meminta pertolongan medis dari
kota terdekat.
Akhirnya, seorang dokter Angkatan Laut Amerika dan seorang perawat dari
Perancis yang kebetulan berada di kota itu bersedia menolong. Dengan
nnembawa jeep yang berisi obat-obatan dan perlengkap-an medis mereka
berangkat menuju panti asuhan tersebut.
Setelah melihat keadaan gadis kecil itu, dokter menyimpulkan bahwa anak
tersebut sudah dalam keadaan yang sangat kritis. Tanpa tindakan cepat,
anak itu akab segera meninggal kehabisan darah. Transfusi darah adalah
jalan terbaik untuk keluar dari masa kritis ini.

Dokter dan perawat tersebut segera mengadakan pengujian singkat kepada
orang-orang di panti asuhan termasuk anak-anak, untuk menemukan golongan
darah yang cocok dengan gadis kecil itu. Dari pengujian tersebut
ditemukan beberapa orang anak yang memiliki kecocokan darah dengan gadis
kecil tersebut. Sang doker, yang tidak begitu lancar berbahasa Vietnam -
berusaha keras menerangkan pada anak-anak tersebut - bahwa gadis kecil
itu hanya bisa ditolong dengan menggunakan darah salah satu anak-anak
itu.
Kemudian, dengan berbagai bahasa isyarat, tim medis menanyakan apakah
ada di antara anak-anak itu yang bersedia menyumbangkan darahnya bagi si
gadis kecil yang terluka parah.

Permintaan itu ditanggapi dengan diam seribu bahasa. Setelah agak lama,
seorang anak mengacungkan tangannya perlahan-lahan, tetapi dalam
keraguan ia menurunkan tangannya lagi, walaupun sesaat kemudian ia
mengacungkan tangannya lagi.
"Oh, terima kasih" kata perawat itu terpatah-patah.
"Siapa namamu?"
"Heng," jawab anak itu.
Heng kemudian dibaringkan di tandu, lengannya diusap dengan alkohol, dan
kemudian sebatang jarum dimasukkan ke dalam pembuluh darahnya. Selama
proses ini, Heng terbaring kaku, tidak bergerak sama sekali.

Namun, beberapa saat kemudian ia menangis terisak-isak, dan dengan cepat
menutupi wajahnya dengan tangannya yang bebas.
"Apakah engkau kesakitan, Heng?" tanya dokter itu.
Heng menggelengkan kepalanya, tetapi tidak lama kemudian Heng menangis
lagi, kali ini lebih keras.
Sekali lagi dokter bertanya, apakah jarum yang menusuknya tersebut
membuatnya sakit, dan Heng menggelengkan kepalanya lagi.

Tetapi tangisan itu tidak juga berhenti, malah makin memilukan. Mata
Heng terpejam rapat, sedangkan tangannya berusaha menutup mulutnya untuk
menahan isakan tangis.
Tim medis itu menjadi khawatir, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Untunglah seorang perawat Vietnam segera datang. Melihat anak kecil itu
yang tampak tertekan - ia berbicara cepat dalam bahasa Vietnam.
Perawat Vietnam itu mendengatkan jawaban anak itu dengan pebuh
perhatian, dan kemudian perawat itu menjelaskan sesuatu pada Heng dengan
nada suara yang menghibur.

Anak itu mulai berhenti menangis - dan menatap lembut mata perawat
Vietnam itu beberapa saat. Ketika perawat Vietnam itu mengangguk -
tampak sinar kelegaan menyinari wajah Heng.
Sambil melihat ke atas, perawat itu berkata lirih kepada dokter Amerika
tersebut, "Ia mengira bahwa ia akan mati. Ia salah paham. Ia mengira
anda memintanya untuk memberikan seluruh darahnya agar gadis kecil itu
tetap hidup."
"Tetapi kenapa ia tetap mau melakukannya?" tanya sang perawat Perancis
dengan heran.
Perawat Vietnam itu kembali bertanya kepada Heng, dan Heng pun menjawab
dengan singkat:

"Ia sahabat saya"

(Seperti yang ditulis oleh Kolonel dr. John W. Mansur, - termuat dalam
buku "The Missileer", New York, 2004)

Wednesday, June 22, 2011

Hari Ketiga: Temu Seminaris Menengah Se-Jawa Bali III

22 Juni 2011
Kegiatan hari ini diisi dengan sharing kekhasan spiritualitas masing-masing seminari, spiritualitas pelindung atau pendiri. Para Seminaris diajak untuk belajar juga dari spiritualitas Petrus Kanisius selaku pelindung Seminari Mertoyudan. Bagaimana gaya dan semangat hidup Petrus Kanisius, apa yang bisa dipetik dan dihayati oleh orang-orang muda dewasa ini? Itulah mata rantai kegiatan hari ini.

Pada sore hari diadakan olah raga bersama. Mulai dari sepak bola, futsal, basket, voli, dan pingpong. Kegiatan yang dimaksudkan untuk memperbanyak kebersamaan dan persaudaraan.

Malam hari diisi dengan kegiatan pentas seni (pensi). Seminari Wacana Bhakti menegaskan dirinya sebagai kampiun orchestra; Seminari Bogor mengeluarkan drama dan box music; Seminari Mertoyudan menampilkan Sendratari Kisah Petrus Kanisius; Seminari Garum mempragakan puisi teatrikal; Seminari Marianum menyuguhkan drama Minakjinggo; dan Seminari Tuka mengeluarkan tari majejangeran. Keragaman dan kekhasan masing-masing daerah begitu menonjol sebagai buah kreativitas para seminaris. Kesatuan tergambar dari antusiasme para seminaris mengapresiasi penampilan teman-teman mereka dari seminari lain.

Tuesday, June 21, 2011

Hari Kedua: Temu Seminaris Menengah se-Jawa Bali III

21 Juni 2011
Hari kedua ini dipadati dengan kegiatan kunjungan ke Museum Misi dan ziarah ke Makam Kerkoff Muntilan.  Para seminaris tidak saja bersentuhan dengan sejarah masa lalu karya misi penting di tanah Jawa tapi juga belajar dari keuletan dan ketekunan para tokohnya. Sebut saja Rama Van Lith, Rama Sanjaya, dan tokoh-tokoh awam. Para seminaris diajak untuk mengenal dekat para misionaris dan semangatnya di keuskupannya masing-masing.

Selanjutnya para seminaris diantar ke desa Sumber, lereng Gunung Merapi. Rombongan diajak menyusuri sungai berbatu dan berpasir berbentuk jurang yang memanjang. Para Seminaris diantar untuk belajar dari ketangguhan masyarakat Sumber yang menjadi korban letusan Merapi pada Oktober dan November 2010 lalu. Kesaksian iman umat Kristiani di Gubuk Sela Merapi (GSM) bahwa bencana ini juga sebuah berkah bagi kebersamaan, solidaritas, dan persaudaraan di antara mereka dengan saudara-saudaranya yang non kristen. Di hadapan derita paksa alam, kita hanyalah makhluk kecil nan rapuh, dan di situ orang mudah menjadi saudara satu sama lain.

Bagian akhir dari kegiatan outing ini adalah kunjungan ke Candi Borobudur. Setelah kurang lebih 20 menit menyaksikan klip tentang sejarah penemuan dan pemugaran Candi Borobudur, rombongan dibagi menjadi tiga group ditemani oleh tiga pemandu. Kami diantar Pak Wandi untuk menyusuri satu demi satu relief-relief di dinding candi. Begitu mengesan sekali penjelasannya. Tour berakhir di Museum Karmawibhangga: museum kapal Pinisi. Pelajaran yang ingin ditekankan dalam kegiatan ini adalah bagaimana kita memaknai sejarah yang ada di sekitar kita. Kultur adiluhung, spiritualitas mondial, dan arsitektural yang mumpuni jadi warisan bangsa yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Kegiatan malam diisi dengan refleksi pribadi dan dinamika serta sharing kelompok. Sementara para formatores mengadakan pertemuan tersendiri. Pertemuan ini menetapkan Seminari Roh Kudus Tuka sebagai tuan rumah Temu Seminaris IV, Juni 2014. Welcome to Bali.

Hari Pertama: Temu Seminaris Menengah Se-Jawa Bali III


Kegiatan ini diadakan di Seminari St. Petrus Kanisius Mertoyudan tanggal 20-23 Juni 2011, bertepatan dengan peringatan 100 tahun Seminari Mertoyudan yang jatuh pada 2 Juni 2012. Kegiatan yang bertemakan: Satu Hati, Satu Tekad dan Satu Panggilan ini diikuti oleh 217 seminaris dan 45 pendamping dari 6 seminari menengah se-Jawa Bali. Keenam seminari menengah tersebut adalah: Seminari Wacana Bhakti Jakarta, Seminari Stella Maris Bogor, Seminari St. Petrus Kanisius Mertoyudan, Seminari St. Vincentius a Paulo Garum, Seminari Marianum Probolinggo, dan Seminari Roh Kudus Tuka Bali.

Hari pertama, 20 Juni 2011, dibuka dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. Domi Saku, Pr, Uskup Atambua selaku ketua Komisi Seminari KWI, didampingi oleh Rm. D.G.B. Kusumawanta, Pr, sekretaris Komisi Seminari KWI; Rm. I. Sumarya, SJ, Rektor Seminari Mertoyudan selaku tuan rumah kegiatan ini; Rm. Stef Cahyono, Pr, Rektor Seminari Garum selak kordinator Seminari Menengah se-Jawa Bali; dan Rm. A. Saptana Hadi, Pr selaku Ketua Panitia OC temu seminaris 2011 ini.

Mgr. Domi mengajak para seminaris (formandi) dan pendamping (formatores) sekalian untuk belajar dari sosok Abraham, yang setelah dicobai begitu rupa namun tetap setia kepada Tuhan. Panggilan Abraham adalah sebuah “panggilan terlambat” karena baru pada usia 76 tahun ia dipanggil Tuhan meninggalkan rumah, keluarga dan tanah airnya menuju suatu tempat yang ditentukan Tuhan. Namun tidak ada kata terlambat dalam kamus Tuhan. Ketika dipanggil Abraham hanya membawa tenda-nya (shekinah-Ibrani) yang mudah dibuka pasang. Sebuah symbol kerapuhan dan kesementaraan (impermanensi) hidup kita.  Kita semua perlu merenungkan kembali apa saja yang dibawa ketika masuk ke seminari pertama kali. Barang-barang apa saja yang kita nyatakan berharga dan perlu bagi hidup kita?

Bapak Uskup menekankan keprihatinan gereja local, nasional maupun universal akan mendesaknya kebutuhan imam. Para seminaris perlu terus menghidupi keprihatinan ini sehingga ketika saatnya tiba mereka boleh menjawabnya dengan menyediakan diri sebagai imam-imam Tuhan. Beliau menyebut tanah Papua dan Kalimantan sebagai wilayah yang saat ini perlu diperhatikan. Tanpa bantuan dari kita semua mustahil umat katolik di wilayah seluas itu mendampatkan pelayanan gereja.

Dalam malam keakraban, Rm. Saptana, Rm. Wanta, Rm. Cahyono dan Mgr. Domi menggaungkan kembali harapan gereja agar para Seminaris perlu menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk menjadi imam-imam harapan Gereja. Embrio kolegialitas di antara para imam dapat diusahakan sejak masih di bangku seminari menengah. Satu hati di dalam Yesus Kristus, Satu Tekad untuk Imamat yang mulia, dan Satu Panggilan untuk berkarya di kebun anggur Tuhan kiranya bukan sekedar slogan kosong, tetapi sesuatu yang perlu dikonkritkan dalam perjuangan selanjutnya.

Seminari Tuka & Facebook Profile












Rekan-rekan terkasih, berhubung ada limitasi jumlah teman dari Facebook, mohon maaf kami tidak bisa melakukan konfirmasi untuk friend request yang baru. 

Seluruh aktivitas & update informasi mengenai Seminari Tuka selanjutnya akan dilakukan melalui http://www.facebook.com/seminarituka, Twitter maupun blog. Bersamaan dengan itu aktivitas dalam Facebook profile Seminari Tuka ini akan dialihkan seluruhnya ke sana.


Jika rekan-rekan memiliki foto/informasi/update lain, silakan mem-postingnya pada wall Facebook Page kami.

Tetaplah menjadi rekan kami melalui Facebook Page Seminari Tuka. Mohon klik 
http://www.facebook.com/seminarituka, dan pilih klik tombol "like"-nya supaya tetap menerima update terbaru mengenai kami. Atau ikuti perkembangan kami melalui twitter: @seminarituka dan blog kami: http://seminaritukabali.blogspot.com/

Saturday, June 18, 2011

Ayat-ayat Cinta


Apakah lagi yang mau dikatakan tentang cinta?--demikian sindir Shakespeare. Namun toh kisah cinta tak pernah berhenti menyihir. Demikian pun film Ayat-ayat Cinta (AAC). Film ini mengisahkan Fahri bin Abdillah, pemuda Indonesia yang tengah menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo. Karakternya yang humanis, bersahaja, santun, pintar dan tampan membuat banyak wanita terpikat padanya. Ada Maria Girgis, jelita penganut Kristen Koptik; Nurul, teman kampus dan anak Kyai; Aisha, cantik berdarah Jerman; lantas ada Noura, gadis yang pernah diselamatkan Fahri dari kebengisan ayah tirinya. Tapi dari sanalah justru sumber petakanya. Gadis-gadis jelita itu menyimpan rasa yang tak berucap. Fahri yang memilih Aisha, akhirnya mendatangkan luka bagi gadis lainnya. Fahri masuk penjara karena dituduh memperkosa Noura dan terancam dihukum gantung. Dari sekedar romansa picisan, kemenangan film ini dalam menawarkan nilai, dan karena itu dibanjiri penonton.

AAC yang diangkat dari Novel Habiburrahman El Shirazy berkisah tentang keikhlasan dan kesabaran. Dua mantra yang kini banyak dikutip di pengajian dan renungan rohani. Berbeda dengan sebuah dakwah, film ini justru jauh dari kesan menggurui atau sinis.

Secara pribadi AAC mengingatkan saya pada "Ayat-ayat Cinta" yang lain. Ayat-ayat adalah rangkaian kata-kata yang menghadirkan Cinta. "Pada mulanya adalah Kata-kata (baca: Sabda), dan Kata-kata itu adalah Allah!" demikian Evangelist Yohanes mengawali Injilnya. Ayat-ayat itu sendiri adalah Allah. "Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah menganugerahkan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal." Ayat-ayat itu adalah ungkapan Cinta tertinggi Allah kepada kita. Dia yang jauh, yang selama ini hanya kita kenal lewat alam ciptaNya yang indah, para nabiNya, kini datang sendiri sebagai pribadi kepada kita. "Kata-kata itu telah menjadi daging (baca:manusia) dan tinggal di antara kita."

Ayat adalah kata. Hakekat kata adalah perbedaan fonem (bunyi) yang menciptakan makna. Kini Si "Ayat Cinta" mengosongkan diriNya agar menjadi sama seperti kita. "Ia sekalipun kaya, telah menjadi miskin karena kamu, supaya kamu menjadi kaya oleh kemiskinanNya," demikian Rasul Paulus, "Ia tidak menganggap kesataraanNya dengan Allah sebagai milik yang mesti dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."

Bila fonem (bunyi) harus mengosongkan dirinya berarti ia harus rela kehilangan bunyinya. Alias diam! Maka di situ letak kebesaran Sang "Ayat-ayat Cinta": diam, tidak berontak, ikhlas menerima nasibNya. Sebagai Sang Kata itu sendiri, Ia rela kehilangan diriNya. Ia rela tak terbaca dan tak terbunyikan, lantas disalahartikan. "Seperti seekor domba Ia dibawa ke pembantaian; dan seperti anak domba yang kelu di depan orang yang menggunting bulunya, demikianlah Ia tidak membuka mulutNya." Ketaatan dan keikhlasan menerima jalanNya itulah yang justru membuahkan kemuliaan: "Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepadaNya nama di atas segala nama.."

Seperti Fahri yang selama di penjara belajar artinya sabar dan ikhlas dari seorang narapidana gila, kita pun belajar dari seorang narapidana lain tentang makna ikhlas dan ketaatan, kesabaran menekuni panggilan hidup kita. Sang Kata yang membiarkan diriNya terperangkap dalam penjara "diam". Ia merelakan diriNya tak bersuara, meski dimilikiNya kuasa. Hanya saja tak seperti Fahri dalam AAC yang mendakwa Tuhan karena berlaku tak adil, Sang Ayat-ayat Cinta justru berubah menjadi nyanyian sunyi. Di titik itu Ia mau menemani mereka semua yang tengah menyusuri jalan sunyi hidupnya yang gelap. Keikhlasan lahir ketika kita dengan tulus menerima apa adanya, meski tak banyak pengertian kita dapati di dalamnya. Kecewa, amarah, iri dan dengki adalah tanda tiadanya tulus dan ikhlas dalam hidup.

Jauh dari hangatnya Kairo, lorong-lorong berpasir ke Pyramida, ukiran kaligrafi di bentangan kubah, sekelompok orang muda tengah merenda cinta, membangun keberanian, menjawabi tantangan. Ketulusan dan keikhlasan adalah dasar dari keberanian mereka menanggapi panggilan Tuhan. Apakah yang dicari seorang bocah belasan tahun meninggalkan hangatnya pangkuan dan nyamannya keluarga, jika bukan tersihir Ayat-ayat Cinta? Hidup sebagai orang yang terpanggil berarti dengan tulus menyediakan diri sebagai suara. Bila tidak "Ayat-ayat" itu hanyalah pahatan di loh-loh batu, huruf-huruf di halaman kertas tanpa bunyi.

Seorang rekan yang pernah 6 tahun di Botswana-Afrika menyarikan pengalamannya sebagai misionaris tak lain adalah pengalaman bergumul dengan Sang Ayat-ayat Cinta, Sang Kata, Sang Sabda, Firman, Kalitma'tullah. Sebab hanya karena sihir Sang Kata sajalah maka ia bisa memberi penjelasan tentang keberadaannya di negeri nan tadus itu. Selain kemiskinan, HIV tengah menggerogoti selangkangan negeri itu. Apakah yang dicarinya sehingga ia seperti terperangkap dalam sebuah penjara kemiskinan? 6 tahun dilakoninya dengan tulus. Hidup sebagai orang terpanggil berarti menyediakan diri dengan tulus untuk menjawabi panggilan Tuhan. Pernah setelah masa pelayanan itu usai, di bangku kuliahnya di Bristol-Inggris, ia mengirimiku puisinya.

Kau adalah kata-kata

Kau adalah kata-kata hari kemarin
Yang sudah berlalu bersama masa
Tapi masih nyaring di telinga
Dengan makna masih mendetakkan jantung
Pada setiap ketukan di pintu rumahku
Aku masih menanti lagi
Datangnya kata-kata
“Kau kukasihi!”

Kau adalah kata-kata hari ini
Yang terbang bersama sayap-sayap angin
Bersenandung dalam nyanyian harap
Akan suatu saat di sebelah sana
Menikmati air sukma
Dengan hasrat tak pernah sirna
Ketika kata-kata terus menguatkan
“Kau masih kukasihi!”

Kau adalah kata-kata hari esok
Yang masih dalam perjalanan
Sembari diliput rasa ingin mencari
Seakan tapak ini masih harus dilalui
Ketika esok datang memelukku
Kau bakal menepuk bahuku lagi
Dan rindu abadiku terjawab
“Kau tetap*  kukasihi!”

SW.

*aslinya "telah", atas saran seorang teman diganti "tetap".

Unconditional Love



This story is about a soldier who was finally coming home after having fought in Vietnam. He called his parents from San Francisco. "Mom and Dad, I'm coming home, but I've a favor to ask. I have a friend I'd like to bring home with me." "Sure," they replied, "We'd love to meet him." 

"There's something you should know the son continued, "He was hurt pretty badly in the fighting. He stepped on a land mind and lost an arm and a leg. He has nowhere else to go, and I want him to come live with us." 

"I'm sorry to hear that, son. Maybe we can help him find somewhere to live." 

"No, Mom and Dad, I want him to live with us." 

"Son," said the father, "You don't know what you're asking. Someone with such a handicap would be a terrible burden on us. We have our own lives to live, and we can't let something like this interfere with our lives. I think you should just come home and forget about this guy. He'll find a way to live on his own."

At that point, the son hung up the phone. The parents heard nothing more from him. A few days later, however, they received a call from the San Francisco police. Their son had died after falling from a building, they were told. The police believed it was suicide. 

The grief-stricken parents flew to San Francisco and were taken to the city morgue to identify the body of their son. They recognized him, but to their horror they also discovered something they didn't know, their son had only one arm and one leg.

The parents in this story are like many of us. We find it easy to love those who are good-looking or fun to have around, but we don't like people who inconvenience us or make us feel uncomfortable. We would rather stay away from people who aren't as healthy, beautiful, or smart as we are. 

Thankfully, there's someone who won't treat us that way. Someone who loves us with an unconditional love that welcomes us into the forever family, regardless of how messed up we are. 

Tonight, before you tuck yourself in for the night, say a little prayer that God will give you the strength you need to accept people as they are, and to help us all be more understanding of those who are different from us.

Friday, June 17, 2011

Ardeant Corda Spiritu Sancto Et Conditorum Memoria Inflammata

Biarlah Roh Kudus dan Ingatan akan Para Pendiri mengobarkan jiwa kita
semua yang tinggal di Seminari ini.













 

Alkisah Pinocchio si boneka kayu yang nakal dan suka berbohong. Setiap kali
berbohong hidungnya akan bertambah panjang. Namun berkat bimbingan Jiminy Cricket, jangkrik yang jadi sahabat setianya itu, Pinocchio akhirnya menjadi sadar. Seperti dinubuatkan oleh Peri biru, Pinocchio menjadi anak laki-laki pada umumnya karena berani, jujur, setia kawan, dan dapat membedakan yang benar dari yang jahat karena mendengarkan suara hatinya.

 
Peran Jiminy Cricket yang telah menjadi suara hati dalam kisah Pinocchio
mengingatkan saya akan Roh Kudus yang kita rayakan hari ini. Para pendiri
dan pendahulu Seminari ini telah dengan sadar memilih Roh Kudus sebagai
pelindung komunitas ini. Roh Kudus bukan saja telah menjadi inspirasi, tetapi
juga rekan seperjalanan lembaga pendidikan calon imam ini yang membimbing,
menuntun, mengingatkan, dan menghibur dalam seluruh perjalanan sejarahnya.
Kita mengusung tema perjalanan Seminari ini selama lima tahun terakhir
ini: Let the Fire Fall Again, Let the Spirit Come Again! Biarlah Api Roh Kudus
itu turun lagi untuk mengobarkan kita semua pada hari ini. Biarlah Roh Kudus
menyukakan hati kita semua. Apa yang terjadi pada peristiwa Pentekosta
sebagai peristiwa bahasa biarlah terjadi lagi di komunitas seminari ini. Bahasa
iman, pengharapan dan kasih terwujud di komunitas ini.

 
Kita berhutang kepada para penggagas dan pendiri kita: Almarhum Rm.
Norbert Shadeg, Rm. Joseph Flaska dan Mgr. Hubert Hermens. Juga kepada
para pendahulu Almarhum Rm. Pankratius Mariatma dan Almarhum Bpk.
Patriwirawan. Kita menaruh penghargaan kepada para mantan Rektor serta
Pembina di Seminari ini, para pengajar dan pendidik, serta alumni. Yang tak
kalah pentingnya tentu saja penghargaan kepada Bapak Uskup dan para Uskup
pendahulu Keuskupan Denpasar selaku pemilik lembaga pendidikan calon imam ini. Ardeant Corda Spritu Sancto et Conditorum Memoria Inflammata. Biarlah Roh Kudus dan Ingatan akan Para Pendiri mengobarkan jiwa kita semua yang tinggaldi Seminari ini.

 
Tahun ini di usianya yang ke-58 Seminari Tuka boleh menyelesaian gedung
fasilitas sekolah, asrama, dan fasilitas pendukungnya. Karena ini kita patut
bersyukur dan berterima kasih karena selesainya proyek pemugaran yang telah
berjalan selama 2 tahun ini. Karya ini dapat terselesaikan karena banyaknya
pihak yang telah terlibat di dalamnya. Patut kami sebutkan di sini para teman-
teman yang sejak awal menjadi penggagas dan kreatif design: Sdr. Ketut
Siandana, seorang arsitek, seorang Hindu yang sangat baik hati, Sdr. Made
Yudana, yang juga seorang arsitek Hindu yang begitu simpatik. Teman-teman di panitia pembangunan: Bpk Henry Dharmawan, Bpk. Soetiknyo, Bpk. Irawan, Bpk. Bondan Anggoro; Sdr. Relinata dan Bpk. Supriadi pelaksana proyek ini. Ibu Tutut Hendrokusumo bagian interior, Lintas Daya dan Bpk Julius bagian ME.
 

Tak kalah penting adalah para donatur dan penderma yang tak terbilang banyaknya. Herr Meinholf und Frau Gabi Ludenbach, Herr Panundiana und
Frau Christina Kuhn, Bapak Kardinal, dan Bapak Uskup Agung Jakarta, dan
Bapak Uskup Bandung, Bapak Uskup Bogor. Serikat Santo Petrus Roma (POSPA) melalui Duta Vatikan, Mgr. Leopoldo Girelli, dan para keluarga donatur di Jakarta, Bandung, Bogor dan Surabaya, Perth dan Sydney. Juga segenap umat di Keuskupan Denpasar, para pastor paroki, para rekan imam, secara khusus mantan Administrator Keuskupan kita, Rm. Josef Wora, dan Bapak Uskup Denpasar, Mgr. Sylvester San.

 
Terima kasih yang sedalamnya atas kehadiran para undangan sekalian yang
menunjukkan kecintaan dan penghormatan kalian kepada lembaga ini. Ucapan
terima kasih kami kepada Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung yang
diwakili oleh Kepala Kementrian Depertemen Agama Kabupaten Badung dan
para undangan dari instansi pemerintahan.
Seiring dengan perbaikan fasilitas yang ada semoga juga didukung oleh
peningkatan mutu dan kualitas system pendidikan dan pembinaan, bukan saja
mengedenpankan kuantitas, tetapi juga mutu lulusan. Semoga Seminari ini
semakin menjadi berkat bagi Indonesia dan juga dunia.


(Sambutan Rektor Seminari Menengah Roh Kudus Tuka, Romo Deni Mary, Pr, pada acara pemberkatan gedung baru 12 Juni 2011)

foto-foto lain bisa dilihat di www.facebook.com/seminarituka